Tak berapa lama mereka akhirnya sampai di sebuah restoran yang tak jauh dari kantor milik Alexi. Asia dan Alexi langsung memesan makanan untuk mereka santap.
Saat mereka sedang makan tanpa adanya suatu bahasan datanglah Adya. "Kalian ternyata ada di sini."
"Adya, mau makan juga?"
"Iya Tuan Alexi." balas Adya enteng.
"Baiklah, kau sudah memesan suatu." Sekali lagi Adya membalas namun dengan gumaman.
"Asia, tak apa-apa, kan kalau Adya makan di sini bersama kita?"
"Iya tak apa-apa kok." Asia kembali memasukkan makanan ke dalam sendok dengan lahap tanda dia benar-benar kelaparan.
"Asia, makanlah yang pelan bibirmu belempotan begitu." Sontak Asia hendak mengusap bibirnya namun kembali dicegat oleh suaminya.
"Biar aku saja." Alexi segera mengambil selembaran tisu yang sudah disediakan lalu mengelap lembut bibir milik sang istri.
Sederhana namun cukup mendebarkan sekaligus membuat orang di sekeliling kesal termasuk Adya. Dia cuma bisa menatap nanar kemudian membuang napas panjang.
Alexi tersenyum sementara Asia merona. Gadis itu lantas memalingkan kepalanya guna menyembunyikan wajahnya yang malu.
"Ekhem, aku tahu kalian sedang mesranya tapi lihatlah tempat dulu, ada banyak orang yang jomblo termasuk aku." Alexi menatap Adya sambil cengengesan.
"Makanya cari pacar atau istri." Kesal jelas sekali namun Adya cuma menampakkan wajah masam.
"Aku akan pergi ke toilet dulu." Alexi lalu bangkit meninggalkan mereka berdua dan baik Asia mau pun Adya, mereka memperhatikan Alexi hingga pria itu hilang dari pandangan.
Adya pun kembali menoleh ke depan, bertemu mata dengan Asia yang langsung memberikan mata melotot. "Aduh Nyonya bar-bar jangan memandangku seperti itu nanti kalau bola matamu keluar bagaimana?"
Tidak ada balasan dari Asia. Gadis itu lebih memilih melanjutkan makanannya dari pada menghadapi pria yang suka bikin emosinya naik. "Nyonya Asia?"
Panggilan dari Adya mengejutkan Asia. Bukan karena melamun melainkan Asia terkesima sebab Adya jarang memanggil Asia dengan nama.
"Tumben, kau memanggilku dengan nama. Tiba-tiba juga."
"Memangnya kenapa? Ada masalah?"
"Tidak." Adya diam sejenak. Seraya mengaduk makanan, dia membuang napas lalu berucap.
"Aku minta maaf."
"Minta maaf? Untuk apa?"
"Minta maaf karena sudah meremehkanmu dan tidak menyukaimu." Secara sembunyi-sembunyi, Asia mengepalkan tangannya dan memasang senyum palsu.
Sebenarnya Asia tahu kalau dia tak disukai oleh sekretaris suaminya itu dari awal pertama mereka bertemu. Asia pun tak suka pada Adya yang pada akhirnya mereka sering cekcok.
Namun entah kenapa pengakuan Adya menyakitkan juga. "Tapi ada alasannya ... dan alasannya itu adalah sepupuku, Faranisa."
"Faranisa?"
"Iya. Dia itu teman sepermainan kami dan Faranisa punya perasaan kepada Alexi. Aku tahu mereka saling menyukai semenjak SMP tapi sampai Faranisa pergi ke luar kota karena Ayahnya pindah mereka tak saling mengakui. Aku sangat berharap Alexi bersama Faranisa terlebih saat Alexi tak pernah serius dalam menjalani hubungan dengan seorang gadis jadi aku memutuskan aku akan tetap memantau Alexi sampai Faranisa kembali."
"Sayangnya, dia tertarik kepadamu dan menunjukkan bahwa dia sangat serius. Mulanya aku kesal sekali tetapi melihat Alexi bahagia denganmu, aku juga ikut senang. Ya meski kau judes sekali." Asia cuma bisa menahan kekesalan dalam dada dengan tetap memasang senyum palsu.
Ingin rasanya dia menampar pipi pria itu namun Asia mengingatkan diri agar jangan terbawa emosi.
"Terima kasih atas penjelasannya, aku benar-benar senang kau mengutarakan semuanya kepadaku." balas Asia. Tak lama tampaklah Alexi tersenyum ke arah mereka lalu duduk.
"Kalian terlihat gembira sekali."
"Oh dari tadi kami saling jujur jadi boleh dibilang kami mulai mengenal satu sama lain. Benar, kan Adya?" Sebagai jawaban Adya mengangguk.
"Alexi aku sudah selesai. Bisa kau antar aku pulang?"
"Baiklah, aku akan habiskan dulu makananku. Kau tak keberatan jika menunggu dulu?"
"Iya, aku akan tunggu kau diluar." Asia bergegas bangkit dan berjalan keluar dari restoran tersebut.
Disitulah Asia menggerutu kesal. "Dasar pria br*ngsek sialan! Aku muak sekali bertemu dengannya. Kalau dia bukan teman baik Alexi aku akan buat dia malu di depan umum! Dia pikir hanya karena dia jujur aku mulai menyukainya, tidak aku bahkan sangat membencinya!"
"Nyonya Denzel kok di sini?" Langkah Asia terhenti dan memandang pada Nandini yang tersenyum picik. Melihat muka Nandini, Asia membuang napas. Dia sangat berharap wanita yang di depannya sekarang tak memancing emosi. Sudah cukup tenaganya terkuras.
"Aku sudah selesai makan. Tinggal menunggu suamiku saja untuk mengantarku pulang."
"Oh begitu." Nandini melangkah mendekat. Dia lalu berjalan memutari Asia dengan pandangan meremehkan sementara yang ditatap sekali lagi membuang napas.
"Kenapa kau memandangku seperti itu?"
"Aku heran. Bagaimana gadis ingusan sepertimu disukai oleh Alexi, apa pria itu buta membedakan wanita dan seorang gadis remaja sepertimu? Kenapa juga sih Ibunya Alexi memilihmu? Kau itu nggak memiliki sesuatu yang spesial tahu!"
"Lihat aku, aku sudah dewasa, cantik dan seksi. Aku tahu bagaimana memperlakukan pria dewasa seperti Alexi dan jelas aku mengerti seleranya." kata Nandini dengan senyuman sementara Asia mendengus.
"Kalau kau memang tipe yang disukai Alexi lalu kenapa dia memilihku menjadikan aku istri bukan kau? Alexi sudah tak menyukaimu Nandini, tapi kau masih saja mengejar suamiku. Biar pun kau mencoba sampai seribu kali, tetap saja perasaannya tak akan berubah."
"Jangan sok menceramahiku anak kecil?! Tahu apa kau soal percintaan orang dewasa!" geram Nandini.
"Kau bukan orang dewasa kau itu kekanak-kanakan dan egois." balas Asia santai.
"Berhentilah bermimpi dan bangunlah." Nandini memasang pandangan tajam namun tiba-tiba dia tersenyum miring.
"Dari pada menasehatiku akan lebih baik kalau kau menikmati waktumu saja. Aku pasti akan membuat kau dijauhi olehnya."