Sampai di rumah kecil bercat putih yang memudar, gadis yang bernama Elda membuka pagar rumahnya yang terbuat dari bambu. Kebahagiaan sudah jelas terlihat dari bibirnya, matanya juga selalu berbinar-binar.
Belum sampai dia ke pekarangan rumah, suara gaduh dari dalam rumah menghentikan langkah Elda. Apa sekarang penagih hutang itu datang kembali? Elda mengambil uang yang diberikan Bu Rajendra saat dia mengantarkan roti. Untung saja dia mendapatkan rezeki hari ini.
Elda memasuki rumahnya, dia mengucapkan salam. Dia melihat Ibunya yang tengah menunduk sedih, dua orang rentenir berjenis kelamin laki-laki semakin menyudutkan Ibunya.
Melihat kedatangan Elda, dua laki-laki itu menjauh. Tatapannya seketika menilai Elda dari bawah sampai atas, mereka berdua menyeringai penuh nafsu. Tentu saja Elda bersiaga memasang kuda-kuda.
"Tolong jangan sakiti anak saya! Kalian lebih baik pergi dari sini!" usir Ibunya.
Kedua laki-laki itu tertawa. "Jangan harap kami pulang dengan tangan kosong, cepat bayar hutang-hutang kalian! Atau kami akan menyita rumah ini!"
Elda mengambil uang dua ratus ribu di saku bajunya, ia letakkan di atas meja. Ibunya melihat Elda dengan terkejut, selama ini dia tidak tahu kalau Elda bekerja, Elda juga menyembunyikannya dari sang Ibu. Cukup bagi Elda Ibunya bekerja mencari uang untuknya dan ketiga adiknya.
"Nah, gini dong!" Salah satu rentenir itu mengambil uang dengan tatapan berbinar.
"Ingat! Hutang lo masih ada sepuluh juta lagi! Dan waktu pelunasan hutangnya kita kasih waktu dua bulan lagi! Kalau nggak, bos gue bakalan menyita rumah kalian, camkan itu!"
Mereka berdua akhirnya pulang dari rumah Elda. Elda menghembuskan nafasnya lelah, uang yang ia kumpulkan selama bekerja sudah lumayan banyak. Apa dia rela memberikan uang itu pada rentenir? Elda cukup dibuat pusing selama ini. Sisa pengobatan ayahnya dulu malah berakhir begini.
Ayahnya memang kecelakaan, dan harus dirawat selama beberapa bulan. Mereka bukan orang yang mampu. Dan Ibunya sudah menggunakan kartu sehat, tapi tidak bisa untuk perawatan rumah sakit.
"Da ... kamu dapat uang dari mana?"
"Elda ... itu dari uang hasil olimpiade Bu. Aldi, Retno sama Vikram mana Bu?" tanyanya menyadari kalau adiknya tidak ada.
"Mereka lagi nonton tv di kamar. Ibu gak mau mereka lihat Ibu dimarahi rentenir."
Elda mengangguk, dia menghampiri Ibunya. Lalu mengambil satu box roti dari dalam tas, Ibu Haji Mia memberikan roti itu karena Elda lebih dari target mengantarkan roti pada pembeli.
"Ini dari Ibu guru Elda Bu. Dan ini dari temannya Elda, adik-adik pasti laper, Elda masuk ke kamar dulu ya Bu," ucap Elda, senyuman tak bisa terbit dari bibirnya. Ia terlalu lelah untuk bersikap baik-baik saja di depan Ibunya.
___________
Celengan ayam milik Elda sudah berat. Dia tatap sedih celengan itu, sudah lama dia simpan di atas lemari, setiap hari ia akan mengisi celengan, entah itu dari hasil lomba olimpiade, dari gajinya bekerja. Atau dari hasil uang bayaran teman-temannya kalau memfotokopi. Elda memang sering memfotokopi soal yang diberikan guru, dan sisa uang teman-temannya ia sisihkan sesuai yang teman-temannya bilang, mereka memberikannya pada Elda sebagai upah. Lagian, teman-teman Elda orang punya semua, mana mungkin uang seribu ditanya.
Tangannya mengusap celengan itu dengan sayang. "Maaf ya ayam, bukannya Elda tega sama kamu karena Elda bakalan belah kamu, tapi Elda kasian sama Ibu." Sekali lagi, tangannya mengusap kembali celengan berwarna biru tua itu.
Elda mengambil gunting di lemarinya, tangannya menggunting celengan dengan hati-hati, takut uangnya malah sobek.
Beberapa uang lima puluh ribuan berserakan di kasur lusuhnya. Elda menghitungnya dengan teliti. Berharap kalau uang yang ia kumpulkan bisa melunasi hutang-hutang Ibunya.
"Yahhh, uangnya kurang lima juta dua ratus ribu lagi. Kalau gini, sudah pasti rentenir itu bakalan datang lagi. Aku harus nyari uang kemana lagi dong? Dua bulan kerja di toko roti gak bakalan hasilin uang sebanyak itu," keluhnya.
Elda mengambil amplop di meja belajar, lalu memasukkan uang itu kedalam amplop. Dia harus mencari uangnya itu dalam dua bulan. Ibunya bekerja sebagai buruh cuci, tidak mungkin juga dalam dua bulan bisa menghasilkan uang lima juta.
"Kak Elda!" seru adiknya Vikram. Dia langsung naik ke kasur lantai Elda yang berwarna biru, warnanya saja sudah pudar. Tak ada uang untuk membeli kasur baru, untuk membeli sepatunya yang sudah rusak saja Elda belum kesampaian.
"Iya sayang, kenapa?"
"Kak, roti yang kakak bawa enak banget, Iklam sukaaaaaaa, apalagi selainya. Nanti kakak minta sama gulu kakak lagi yaa," celetuk Vikram. Elda terkekeh geli.
Dia menyimpan amplop itu dengan rapi di buku tulis, Elda ikut duduk di samping adiknya. Mengelus kepala sang adik, bahagia menderanya begitu saja, ada beban yang hilang saat Vikram berceloteh.
Vikram melihat celengan Elda yang sudah robek. "Celengan? Kak Elda ngapain bunuh celengannya?"
"Kak Elda gak bunuh kok. Emang celengan itu udah gak kakak gunain lagi Vik," kata Elda, Vikram tentu saja mengangguk paham, mungkin IQ yang dimiliki Vikram juga sama seperti Elda. Itulah mengapa bocah dua tahun lima bulan sudah paham apa yang dia katakan.
Vikram merebahkan tubuhnya, dia memeluk boneka beruang berwarna biru. Kebiasaan kalau ke kamar Elda, dia akan ikut berbaring dan memeluk boneka beruang itu.
"Kak. Boneka ini buat Iklam aja ya? Iklam seneng kalo peluk bonekanya, Iklam kangen sama kak Bayu. Kenapa gak ke rumah lagi kak?" tanya Vikram. Bayu adalah teman sekaligus sahabat dekat Elda saat dia SMP. Masuk SMA, dia tidak pernah lagi berhubungan dengan Bayu karena dia pindah ke kota Bandung.
"Kak Bayu pindah sekolah dek."
"Ooh gitu ya kak."
Handphone di dalam tas Elda berdering nyaring, Elda mendapatkan pesan dari dokter Aji.
Dokter Aji:
Besok bisa makan siang bareng gak? Keluargaku mau ke rumah sakit, sekalian kita kumpul makan-makan bareng Da.
Elda mengigit bibir bawahnya, dia hanya menganggap dokter Aji seperti kakaknya sendiri. Kedekatannya selama ini hanya sebatas adik dan kakak. Apa Elda salah kalau dia sering perhatian pada dokter Aji?
Maaf kak, Elda besok ada kerja kelompok, maaf ya kak
Elda melayangkan pesan itu pada dokter Aji. Berharap kalau dokter Aji bisa percaya dengan apa yang dia jawab. Gadis lima belas tahun seperti dirinya belum cukup umur kalau berhubungan dengan dokter mapan seperti dokter Aji. Elda tidak boleh berharap juga padanya, di rumah sakit banyak sekali dokter muda cantik, perawat cantik yang selalu memperlihatkan kecantikannya pada dokter Aji. Hanya saja dokter Aji yang belum memahami keadaan sekitarnya.
_________
Uyu Nuraeni
IG: Nuraeniyuu784