Cahaya lampu menyilaukan matanya, namun ia tidak peduli, ia tetap berdiri ditengah aspal tersebut hingga...
Ardo dengan sigap menarik Aarun menghindari mobil hitam tersebut "Orang itu sudah gila! Apa dia sengaja mau membunuhmu!" Kesal Ardo yang masih ngos-ngosan.
Mereka terbaring di rerumputan sambil mengatur napas, malam ini sungguh sangat melelahkan.
****
Pria itu menendang pintu cukup keras sehingga orang yang ada dalam rumah kaget akan aksinya, ia lebih marah lagi setelah melihat kakak perempuannya.
Arin tengah duduk bersama ayahnya di meja makan, bahkan tak jauh dari sana koper Arin masih tergeletak sembarangan menandakan ia baru saja pulang.
Mata mereka bertemu seolah ada sambaran petir yang kuat pada mata Aarun yang menyambar mata indah Arin. Bukan apanya, Aarun tentu marah besar setelah kakaknya itu berbohong padanya.
"Kakak baru datang?" Tanya Aarun dengan suara yang mulai serak. Ia tidak menyangka kakaknya membohonginya. Arin yang saat itu berjanji untuk pulang dalam 3 hari ke depan malah berbohong.
Arin menunduk "Maafkan kakak Aarun, aku tidak bermaksud membohongimu," ujarnya merendahkan suaranya.
Aarun membuang mukanya, belum lagi soal ibunya sekarang soal kakaknya ia muak akan semua ini "Kenapa kakak tidak tinggal saja disana selamanya."
"Urusanku banyak Aarun, kau harus mengerti," jawab Arin yang kini telah berdiri.
"Urusan apa, urusan untuk berjalan-jalan menghamburkan uang begitu?" Tanya Aarun kesal.
Ayahnya menghela napas lalu memukul meja cukup keras agar menghentikan pertengkaran anaknya "Sudahlah kalian jangan bertengkar terus, ayah ini sedang sangat pusing sekarang!" jelasnya.
Mereka seketika terdiam "cukup ibu kalian yang membuat ayah sakit jangan kalian juga." Ayah Aarun memegangi kepalanya yang mulai terasa berat.
Arin langsung menopang badan ayahnya dengan sigap setelah ayahnya hampir saja jatuh, ia kembali membantu mendudukkan ayahnya dikursi tempatnya semula.
Aarun memberikan ayahnya air minum dan ikut duduk disana, emosinya yang tadi menggebu-gebu hilang seketika setelah melihat ayahnya lemah.
Kini hanya suara napaslah yang terdengar ketika mereka salah satupun tidak ada yang ingin berbicara.
Hening, mereka asyik dengan pikiran kacau masing-masing.
"Aku akan menyuruh ibu pulang kembali," ucap Aarun memecah keheningan.
"Ya, jika ibu masih berpikir dengan jernih pasti dia lebih memilih keluarga dan anak-anaknya, iya kan, ayah?" Arin memegangi tangan ayahnya dengan lembut sembari menatap mata ayahnya.
Pria tua itu hanya membalas dengan senyuman kikuk, semoga saja harapan anaknya bisa terkabul, ia akan selalu mendoakan yang terbaik untuk keluarga kecilnya.
Aarun tidak tega untuk menceritakan kejadian tadi saat ia hampir ditabrak oleh selingkuhan ibunya dan juga ibunya yang ada dalam mobil itu, Aarun akan menyimpannya sendiri ia takut jika ayah dan kakaknya kehilangan harapan.
****
Masih berpakaian seragam sekolah Aarun dan Ardo menelusuri kota Sydney dengan berjalan kaki, mereka menemui semua orang yang berlalu lalang di kota besar tersebut dan bertanya apakah mereka melihat ibunya Aarun, Aarun memperlihatkan photo ibunya dan menjelaskan ciri-ciri terakhir yang Aarun ingat dari ibunya mulai dari gaya pakaian,warna dan juga model rambut.
Aarun mendatangi rumah teman ibunya yang ia tahu alamatnya namun sayang tidak satupun dari mereka yang tahu keberadaan ibunya, Arin dan ayahnya juga berusaha menelpon nomor keluarga pihak ibu namun hasilnya sama saja mereka tidak menemukan petunjuk apapun.
"Aarun istirahat dulu ayo," ajak Ardo yang telah kelelahan mencari dari sore sehabis pulang sekolah sampai malam begini.
"Baiklah, tapi tunggu disini jangan kemana-mana" tahan Aarun membiarkan Ardo duduk di kursi kayu untuk istirahat.
Pria polos itu mengelap keringatnya menggunakan punggung tangannya, ia benar-benar terlihat sangat lelah, belum lagi tugas yang belum ia kerjakan di rumah.
Meski begitu, Ardo tidak menyesali dirinya saat merengek ingin ikut mencari ibunya Aarun, ia merasa iba setelah Aarun menceritakan masalah keluarganya.
Tidak perlu menunggu cukup lama Aarun telah datang membawa minuman dingin di tangannya dan juga beberapa roti untuk mereka makan malam ini.
"Terima kasih," ucap Ardo menerima minuman tersebut.
Aarun ikut duduk disamping Ardo dan juga meminum minumannya "Aku tidak menyangka semua ini akan terjadi." Tiba-tiba saja Aarun membuka pembicaraan.
Ardo berbalik melihat Aarun "Aku turut prihatin dengan keluargamu." Ardo sangat menyayangkan kejadian itu pada keluarga Aarun. Ia tidak pernah menyangka akan kenyataan ini.
"Sosok ibuku yang kukenal baik hati itu ternyata palsu."
"Jangan bilang begitu, lihatlah dia telah merawatmu dengan baik sampai sebesar ini, aku yakin pasti ia akan kembali dan keluarga kalian bisa utuh lagi." Ardo mencoba menyabarkan Aarun dengan menepuk-nepuk bahunya.
Aarun benar-benar tidak yakin. Jika dilihat kondisi keluarganya sekarang begitu sangat memprihatinkan. Sebenarnya sebelum ibunya selingkuh pun orang tua Aarun sudah tidak terlalu harmonis lagi, dulu ayah Aarun, Harry Arjuna Cedric adalah seorang petani dan ibunya Riany Lewis hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa di kampung, namun setelah mereka punya dua anak dan tinggal di Sydney, mereka mencoba berusaha dan bekerja bersama-sama sebagai suami istri.
Usaha mereka adalah menjual bahan pokok sehari-hari yang diperoleh dari Port Hughes kampung halaman mereka, dari sana lah mereka bisa menyekolahkan Arin sampai perguruan tinggi dan juga menyekolahkan Aarun.
"Ya, aku juga berharap besar akan keajaiban itu, tapi apa mungkin pasti rasanya sudah berbeda," balas Aarun setelah memasukkan roti kedalam mulutnya.
"Tapi manusia harus saling memaafkan meskipun orang itu pernah melakukan kesalahan besar, kita juga pasti punya kesalahan kan," jelas Ardo.
Aarun tersenyum kecil, benar kata sahabatnya, mereka harus saling memaafkan apalagi tidak ada yang namanya mantan ibu atau mantan anak.
Setelah mereka selesai istirahat, Aarun dan Ardo pulang kerumah masing-masing dan memutuskan untuk melakukan pencarian mumpung besok adalah hari libur.
Aarun mendapati kakaknya yang masih sibuk menghubungi nomor ibunya yang tidak pernah aktif sedari kepergiannya, Aarun ikut duduk disofa merah tersebut "Kak Arin sudah makan?" tanyanya.
"Ya, kau bagaimana?" tanya Arin balik.
"Sudah tadi," singkatnya.
"Makan apa?" kini Arin menatap wajah adiknya yang tampak sangat kelelahan.
"Roti," jawab Aarun yang hanya dibalas senyum tipis Arin.
Wanita cantik itu menyenggol lengan Aarun "Pergilah makan, kakak sudah memasak tadi," ucapnya.
Aarun menghela napasya berat "Sebentar aku mau mandi dulu, gerah sekali nih." Kini pria muda itu beranjak masuk ke kamarnya.
Setelah selesai makan dan mandi, Aarun sudah berada ditempat tidur, ayahnya tidak ada dirumah karena tadi sore ia pulang ke Post Hugher untuk mencari ibunya barangkali ibunya pulang kampung, tapi itu hanyalah perkiraan.
Yang mereka takutkan jika ibunya menginap disebuah tempat bersama lelaki itu, tapi Aarun masih percaya dengan ibunya karena Aarun sangat mengenali ibunya yang memang adalah perempuan baik, entahlah Aarun hanya bisa berdoa semoga ibunya baik-baik saja.
Matanya mulai berat, dan akhirnya Aarun tertidur pulas ditempat tidurnya, ia sangat lelah dengan masalah ini, ia selalu berpikir apakah ia bisa melewati cobaan yang berat ini rasanya ia tidak sanggup memikulnya apalagi dia hanyalah anak laki-laki yang berusia 16 tahun yang seharusnya menikmati masa sekolah dengan baik. Tapi inilah Aarun bahkan sekolahnya pun tidak ia urus, ia lebih suka bermain dan merasakan kebebasan. Mungkin saja jika tidak ada Ardo ia akan selalu menjadi anak yang suka tidak memiliki masa depan.
Entahlah...