webnovel

Kabar Buruk Lagi

Di meja makan, Jovanca bersama keluarga kecilnya sedang melaksanakan makan malam bersama. Dalam keadaan hening, tidak ada yang membuka suara satupun di antara mereka. Sebenarnya, Arya ingin menyampaikan satu kabar duka kepada Anak gadisnya itu. Yaitu kabar tentang ditangkapnya Caesa oleh polisi karena melakukan suatu kesalahan fatal, membunuh mantan Istri dari Suami barunya saat ini.

Jika tidak diungkapkan, benar-benar mengganjal hati Arya. Sebaiknya dia menyampaikan berita buruk tersebut setelah selesai makan malam, agar keluarga kecilnya yang mendengar tidak begitu kaget. Apa lagi Jovanca, Arya takut jika nantinya gadis itu akan histeris dan meminta untuk bertemu dengan Ibu kandungnya, karena bagaimanapun juga Caesa adalah Ibu yang sudah melahirkan Jovanca.

Delapan belas menit berlalu, akhirnya acara makan malam keluarga kecil Arya selesai. Seperti biasa, mereka setelah makan malam akan langsung memasuki ruang keluarga untuk berbincang-bincang santai, saling bertukar cerita antara satu sama lain. Keempatnya duduk di sofa berwarna hitam yang ada di ruang keluarga.

"Ekhm, ayah mau kasih berita buruk. Tapi tolong kalian jangan kaget," pesan Arya.

Sarah menatap Arya dengan tatapan serius. "Berita buruk apa, mas? Jangan buat kita panik dong," tanyanya dengan kening berkerut.

"Caesa ditangkap polisi karena ketahuan sudah membunuh mantan istri dari suami barunya saat ini," jawab Arya.

Sifat seseorang memang bisa berubah, entah itu karena masalah hidupnya atau bisa juga karena perubahan sifat orang-orang sekitarnya. Seperti halnya Caesa, memang Jovanca tidak tahu apa penyebabnya sampai-sampai Caesa bisa melakukan hal berdosa seperti itu. Tapi Jovanca yakin, Caesa melakukan hal seperti itu karena terpaksa.

"Bunda ditangkap polisi? Besok aku boleh jenguk bunda, yah?" Jovanca menatap Arya lekat.

Arya menganggukkan kepalanya, kemudian menjawab, "Boleh sayang, besok ayah antar ya."

Seburuk apapun sifat orang tua kita, mereka tetap orang yang sudah membesarkan kita sampai dewasa. Tanpa mereka, kita tidak akan bisa bertahan hidup. Orang tua bagaikan malaikat di dunia, kita harus bisa menerima bagaimanapun sifat orang tua kita.

"Kenapa tante Caesa berubah? Aku gak yakin deh itu murni kesalahan tante Caesa, siapa tahu aja ada orang yang fitnah. Bisa kan om?" ungkap Gavin.

Sarah mengembuskan napasnya secara kasar. "Sama Vin, tante juga gak yakin. Secara kan kelihatannya Caesa itu baik, lembut lagi. Tapi ya kita gak tahu sifat asli seseorang sebelum benar-benar dekat," jawabnya, setuju dengan apa yang dirasakan Gavin.

Saat tahu kabar tentang Caesa, tubuh Jovanca mendadak lemas. Ekspresi wajahnya tidak seperti tadi sore, tampak lesu. Ada sedikit rasa kecewa kepada Caesa, sosok malaikat tak bersayap yang selama ini sudah Jovanca banggakan, ternyata seorang pembunuh.

Berita buruk tersebut bisa-bisa diketahui oleh teman-teman Jovanca di sekolah, karena sudah dapat dipastikan berita tersebut masuk ke televisi. Rasanya jadi malas untuk datang ke sekolah, Jovanca takut jika nantinya dia akan dibully seperti Jessica waktu itu.

"Ayah, kalau kabar ini sampai ke telinga teman-teman aku gimana? Aku takut kalau nantinya aku dibully kayak Jessica," tanya Jovanca dengan perasaan tak karuan. "Aku gak mau kayak Jessica, mental setiap orang beda-beda," lanjutnya.

Arya mengembuskan napasnya secara kasar. "Tenang ya sayang, nanti ayah akan lakukan sesuatu. Ayah akan menjamin kamu gak akan dibully," jawab Arya dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya.

Perasaan Jovanca benar-benar tidak tenang, tapi dia akan berusaha untuk berpikiran jernih akan kesehatannya tidak menurun. Sarah yang berada tepat di samping kanannya setia mengusap kepala Jovanca dengan lembut.

Sementara Gavin, lagi dan lagi tidak bisa melakukan hal apapun selain diam, dan berdoa. Gavin seringkali merasa tidak berguna sebagai sepupu, hanya bisa diam, tidak bisa melakukan hal yang dapat membuat Jovanca tenang.

Gavin memukuli kepalanya beberapa kali, Jovanca yang menyaksikan itu segera menghentikan pergerakan Gavin. "Kamu apa-apaan sih? Jangan gitu!" bentak Jovanca.

"Aku ngerasa bodoh banget jadi sepupu, gak bisa ngelakuin apapun. Cuma bisa diam," papar Gavin.

"Jangan ngomong gitu, kamu udah baik banget kok bagi aku. Udah ya, tenang aja aku gapapa kok," nasihatnya dan dibalas anggukan kepala oleh Gavin.

***

Hari Minggu pagi, Jovanca telah siap dengan pakaian sederhananya. Dia akan pergi ke kantor polisi bersama Arya saja. Sebab Gavin sedang ada tugas kelompok bersama teman kampusnya, sementara Sarah tidak enak badan. Alhasil, kini Jovanca dan Arya pergi ke kantor polisi hanya berdua saja.

Arya mengendarai mobil berwarna putihnya dengan santai. Jalanan begitu lenggang pagi ini, matahari sudah memancarkan cahayanya cukup terik. Selama perjalanan hanya ada keheningan saja, hanya lagu yang terputar di mobil saja yang menjadi pemecah keheningan.

Tanpa terasa, perjalanan yang ditempuh selama kurang lebih lima belas menit akhirnya selesai juga. Mobil yang dikendarai Arya telah sampai tepat di depan sebuah kantor polisi yang cukup besar di Kota Jakarta. Jovanca langsung turun dari mobil lalu menuju ke ruangan khusus bertemu dengan narapidana.

"Bunda!" Jovanca menghampiri Caesa dan langsung memeluk tubuh Caesa. Saat manik matanya melihat sosok wanita lembut itu sedang duduk menunggunya.

Caesa membalas pelukan Jovanca dengan air mata yang mulai berjatuhan dari kedua pelupuk matanya. "Sayang, maaf ya bunda udah buat kamu kecewa. Bunda melakukan hal ini karena benar-benar pusing, dan bunda juga gak nyangka bisa melakukan hal senekat itu," jelasnya dengan suara serak khas orang menangis.

Apapun status Caesa, tidak akan pernah Jovanca permasalahkan. Narapidana juga sama seperti kita, masih manusia dan sama-sama memakan nasi. Walaupun sempat merasa kecewa, tapi itu hanya sementara. Semalam Jovanca memikirkan kembali hal ini, dia tetap akan menyayangi Caesa dan rajin menjenguknya ke kantor polisi.

"Bunda, gapapa kok. Aku akan tetap sayang sama bunda apapun status bunda. Aku gak akan pernah malu kok punya bunda narapidana," jawab Jovanca dengan suara lembutnya.

"Yang sabar ya, Caesa. Aku yakin kamu bisa menghadapi semua masalah ini dengan kuat," pesan Arya.

Melihat dua orang yang sangat disayanginya, Caesa jadi menyesal telah mengakhiri hubungan rumah tangganya dengan Arya. Ini semua memang benar kesalahannya, Caesa terlalu gila akan harta dan lelaki tampan. Alhasil, sekarang kehidupannya hancur seperti ini.

Caesa menatap Jovanca lekat, lalu melepaskan pelukannya secara perlahan, setelah itu bertanya, "Gimana kondisi kamu? Apa kamu udah melanjutkan kemoterapi?" tanyanya, terdengar begitu khawatir.

"Tenang bun, aku lusa mau lanjut kemoterapi. Do'ain ya bunda semoga aku bisa cepat sembuh," jawab Jovanca.

"Aamiin, bunda pengen banget lihat kamu sehat kayak dulu lagi. Jangan pernah menyerah sayang, doa bunda selalu menyertai kamu," harap Caesa.

Jika boleh, Caesa ingin sekali menemani kemoterapi Jovanca esok lusa. Tapi sayangnya saat ini dia sedang dipenjara, hanya doa saja yang bisa dia panjatkan kepada Sang Pencipta untuk meminta kesembuhan Jovanca, Anak gadis semata wayangnya.

"Makasih bunda, aku sayang bunda." Jovanca kembali memeluk tubuh Caesa erat.