Siapa lagi jika bukan Arya, wajah Arya tampak memerah saat melihat Rivaldi. Selama ini, Arya sudah melarang keras agar Jovanca tidak berpacaran. Tapi ternyata anak gadis semata wayangnya itu melanggar perintahnya. Hal ini harus segera Arya selesaikan, dengan cara memberi hukuman kepada Jovanca. Mau tak mau, walau sebenarnya Arya tidak tega.
"Jovanca tidak ada di rumah, lebih baik kamu pulang." Belum sempat Rivaldi bertanya, Arya sudah lebih dulu memberikan penjelasan.
Rivaldi menatap Arya dari atas sampai bawah berulang kali. "Saya yakin pasti Vanca ada di dalam, boleh saya bertemu dengan anak om?" ijinnya.
Untung saja Arya masih bisa menahan emosinya dan tidak langsung memberikan satu bogeman di wajah tampan Rivaldi. Lagi pula, belum tentu juga anak lelaki remaja yang ada di depannya saat ini adalah kekasih Jovanca, Arya berusaha untuk tetap berpikiran positif.
"Sebelumnya saya mau tanya, kamu siapa Jovanca? Teman? Atau, pacar?" tanya Arya dengan keningnya yang berkerut.
"Saya pacar Jovanca, om." Lalu, Rivaldi mengulurkan tangannya. Tapi dengan cepat Arya menepisnya.
Kesal? Tentu saja. Rivaldi hanya manusia biasa, jika diperlakukan tidak baik seperti itu tentu dia emosi. Apa lagi Rivaldi masih bisa dibilang anak yang baru memasukki usia dewasa, emosinya terkadang masih labil.
"Sebaiknya kamu cepat akhiri hubunganmu dengan anak saya. Karena saya tidak pernah memberi ijin Jovanca untuk berpacaran, sebelum menginjak usia dua puluh dua tahun," perintah Arya.
Cinta tidak bisa dipaksakan untuk menghilang, itu adalah pepatah yang sering kita dengar. Seperti itulah yang dirasakan oleh Rivaldi, seenaknya saja Arya memerintahkan kepadanya agar segera mengakhiri hubungannya dengan Jovanca. Padahal, sudah mati-matian sejak awal Rivaldi sulit untuk mendapatkan cinta Jovanca.
Rivaldi melipat kedua tangannya di depan dada. "Saya gak akan pernah putusin anak om, memangnya om pikir Jovanca bahagia punya ayah seperti om? Enggak, Jovanca sering mengeluh kalau dia gak pernah bahagia ada di rumah macam neraka ini!" ucapnya dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya.
Arya menatap Rivaldi nyalang, kedua tangannya mulai terkepal kuat, secara perlahan Arya melayangkan tangannya ke udara hendak memberikan satu bogeman di wajah tampan Rivaldi. Tapi, untung saja Jovanca bisa menghentikan aksi Arya, sehingga wajah tampan Rivaldi tidak lebam.
"Yah, stop yah! Jangan gini, ini semua bukan salah Valdi, yah. Tapi salah aku!" bentak Jovanca.
Arya menurunkan tangannya. "Kamu, sudah berani melanggar perintah ayah?!" balas Arya dengan bentakannya pula.
Kepala Jovanca tertunduk dalam, lalu gadis itu berlutut tepat di bawah kedua kaki Arya. Sedangkan Rivaldi menyaksikan hal itu dengan perasaan emosi. Kalau Rivaldi bukan anak baik, mungkin sedari tadi dia sudah memberikan satu bogeman di wajah Arya.
"Vanca, jangan gini! Ini semua itu bukan salah kamu, tapi salah ayah kamu." Kemudian, Rivaldi menarik Jovanca agar tidak berlutut lagi.
"Maaf, yah. Tapi kan Vanca juga udah besar, Vanca pengen mengenal apa itu yang namanya cinta. Vanca ijin antar Valdi dulu ke depan yah," ucap Jovanca.
Lalu, Jovanca membawa Rivaldi menjauhi Arya. Keduanya berdiam diri terlebih dahulu, menunggu sampai Arya masuk rumah. Setelah lelaki berusia sekitar empat puluh tahun itu masuk, keduanya secara diam-diam meninggalkan pekarangan rumah mewah tersebut, Rivaldi membawa Jovanca menuju taman yang lokasinya tidak jauh dari kediaman Jovanca.
***
Sesampainya di taman, keheningan melanda Rivaldi dan Jovanca. Mereka berdua sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. Angin sore membelai wajah kedua remaja berbeda jenis kelamin itu. Matahari perlahan-lahan mulai turun, meninggalkan bumi. Tapi taman masih ramai, mulai dari orang tua sampai orang muda ada di sana.
Burung-burung beterbangan di langit sore, langit sudah mulai berwarna orange. Sebentar lagi hari akan malam, di taman ini dapat Jovanca rasakan kenyamanan. Berbeda jika berada di rumahnya, Arya selalu menekannya untuk selalu belajar. Hanya sekedar ke ruang makan untuk istirahat pun tidak boleh.
Jovanca mengembuskan napasnya kasar, menunggu Rivaldi membuka percakapan terlebih dahulu. Tapi, tidak ada tanda-tanda lelaki itu akan membuka percakapan. Rivaldi terus terdiam, menyiapkan mentalnya jika hubungannya dengan Jovanca terpaksa harus berakhir setelah dirinya berkata jujur.
"Valdi, balik yuk? Udah mau malam nih!" ajak Jovanca.
Rivaldi menatap Jovanca sebentar, kemudian mengalihkan pandangannya lagi ke arah lain. "Bentar, aku mau ngomong penting banget," tahannya.
Dengan penuh rasa sabar, Jovanca kembali menunggu Rivaldi untuk membuka suaranya. Tiga menit berlalu, keadaan di antara keduanya masih sama. Hening saja yang melanda mereka berdua. Sampai akhirnya, Jovanca memutuskan untuk berdiri dan mulai melangkahkan kedua kakinya secara perlahan, hendak meninggalkan Rivaldi.
Namun, ucapan dari Rivaldi berhasil menghentikan langkahnya. Ucapan yang benar-benar membuat Jovanca merasa bahwa hubungannya dengan Rivaldi hanyalah sia-sia dan tidak pantas jika keduanya harus tetap berhubungan sebagai sepasang kekasih. Karena tidak ada restu dari masing-masing orang tua.
"Aku dijodohin sama anaknya temen mamah, gimana?" Kemudian, Rivaldi berdiri dan kedua tangannya dilipat di depan dada.
Jovanca membalikkan tubuhnya, lalu menatap Rivaldi dari arah yang tidak terlalu jauh. "Terima aja dulu, kamu tahu kata pepatah 'kan? Kalau kita jodoh, pasti akan dipertemukan kembali," jelasnya.
"Kamu gak marah?" tanya Rivaldi dengan kening yang berkerut.
Amarah tidak akan dapat menyelesaikan semua masalah, itu nasihat yang selalu Jovanca ingat dari Sang Nenek. Maka dari itu, saat Jovanca mendengarkan perkataan jujur Rivaldi, gadis itu cepat-cepat meredam emosinya. Tidak ada cara lain lagi selain sabar dan mengikuti bagaimana takdir yang telah dirancang oleh Tuhan.
Perlahan-lahan, Jovanca melangkah kembali menghampiri Rivaldi. Lalu, kedua tangannya bergerak untuk menggenggam jemari Rivaldi. Keduanya saling bertatapan selama kurang lebih sepuluh detik, sampai akhirnya Jovanca memutuskan kontak mata itu lebih dulu.
"Buat apa marah? Memangnya kalau aku marah perjodohan kamu sama anak temen mamah kamu bisa batal gitu?" Jovanca malah bertanya balik kepada Rivaldi.
Rivaldi menggelengkan kepalanya pelan. "Y-ya enggak juga si," jawabnya sedikit terbata.
"Ya udah, maka dari itu aku gak marah. Berarti kalo gitu, mulai sekarang kita harus menjauh. Makasih ya buat semuanya, nanti barang-barang yang kamu kasih bakal aku kembaliin." Kemudian, Jovanca melepaskan genggamannya dari jemari Rivaldi, setelah itu benar-benar pergi meninggalkan taman.
Tidak ada yang dapat mereka berdua lakukan lagi selain pasrah, karena sekuat apapun Rivaldi menolak perjodohan itu, tetap saja keputusan Sang Mamah harus dirinya lakukan. Tapi, Rivaldi tidak akan tinggal diam. Segala cara akan dirinya lakukan agar bisa membatalkan perjodohan itu.
***
Di atas sebuah meja belajar, terdapat sebuah buku tebal matematika. Jovanca tengah membaca-baca buku tebal itu, karena dua hari lagi dirinya akan mengikuti olimpiade matematika di Jakarta. Arya selalu memperhatikan Jovanca ketika belajar, sehingga Jovanca tidak bisa melakukan hal lainnya. Untung saja gadis itu masih ingat jadwal makan obatnya.