Seperti halnya pelari yang membutuhkan sepasang kaki untuk berlari. Begitupun dengan Maria yang membutuhkan kedua tangan untuk memanen buah anggur dan membawa keranjang-keranjang tersebut hingga sampai pada para pembeli anggur.
Namun sayang, tangan kanan Maria cacat. Bukan cacat sejak lahir. Ia mengalami kecelakaan saat mengantar keranjang-keranjang anggur hasil panen kebunnya pada pembeli ke kota. Setidaknya itulah yang ada diingatan terakhirnya.
Maria beruntung, hanya tangan kanan yang tak selamat akibat kecelakaan mobil lima tahun lalu. Tangan kanannya patah dan tak berfungsi dengan baik. Sedangkan seluruh tubuhnya baik-baik saja.
Maria membelalakkan mata. Mimpi buruk tentang kecelakaan lima tahun silam masih saja menghantui tidurnya. Ia menoleh ke samping. Kosong. Jay tak tidur di sampingnya meski semalam, jelas-jelas ia tengah memeluk tangan kekar Jay. Tempat ternyaman yang tak pernah ia rasakan sepanjang tinggal di rumah pamannya.
"Di mana kak Jay? Apakah ia berubah pikiran lalu meninggalkanku?" gumam Maria.
Malam tadi, Jay sudah menceritakan dengan sangat sabar tentang siapa dirinya pada Maria. Awalnya Maria bingung dan tak percaya. Ia menganggap Jay hanya membual dan ingin menipunya. Tapi kemudian ia dibuat percaya karena Jay mengutarakan penglihatannya tentang masa lalu Maria. Semua yang Jay katakan itu benar!
Ajakan Jay semalam yang ingin membawanya pergi dari kota Lyon terngiang di benaknya. Maria belum menjawab setuju. Ia harus bertanya terlebih dahulu pada paman yang selama ini memberikan tempat tinggal untuknya.
Jay mengatakan pada Maria bahwa ia ingin mengangkat Maria sebagai adik angkatnya, mengingat Maria berasal dari panti asuhan yang sama. Awalnya Maria kecewa, tetapi kemudian ia akhirnya bersedia. Kenyamanan membuatnya ingin terus dekat dengan Jay.
Maria beringsut dari ranjang dan hendak mencari keberadaan Jay. Hatinya mendadak mencelos jika benar Jay meninggalkannya pagi ini.
"Kamu sudah bangun?"
Suara lembut menghentikan pergerakan Maria yang ingin bangkit dari ranjang. Maria menoleh ke sisi kirinya. Ia melihat Jay keluar dari kamar mandi hanya dengan berbalutkan handuk di pinggang. Pemandangan menakjubkan bagi kaum hawa!
Jay mendekati Maria dan duduk di samping Maria. Aroma sampo dari rambut basah milik Jay langsung menguar dan menggoda penciuman Maria. Seandainya saja, Jay tak menganggapnya adik, tentu saja Maria akan langsung menyambar bibir Jay.
"Ada apa? Wajahmu terlihat tegang. Apakah kamu mimpi buruk?"
Tebakan Jay lagi-lagi benar.
Maria mengangguk pelan.
Tanpa aba-aba, Jay langsung meraih tubuh Maria dan membawanya dalam dekapan dada bidangnya yang telanjang.
"Kamu bisa bersandar padaku mulai sekarang," ujar Jay berusaha menenangkan hati adik angkatnya itu.
"Jay ... kenapa kamu menginginkanku menjadi adikmu? Apakah aku tidak masuk kriteriamu sebagai teman tidurmu?"
Pertanyaan yang selalu berulang dalam benak Maria. Ia ingin sekali merasakan senjata Jay. Ia benar-benar tergila-gila pada Jay. Otaknya bahkan membayangkan betapa gagahnya milik Jay di balik handuk putih itu. Maria ternyata tak sepolos itu!
Jay perlahan melepas pelukannya. Ia menatap netra hijau Maria. Ia tersenyum lembut.
"Bukankah semalam kita tidur bersama? Kamu boleh tidur denganku kapanpun kamu mau," jawab Jay lembut.
"Kamu tahu maksudku bukan teman tidur yang seperti itu," tukas Maria setengah kesal.
Jay mengacak pucuk kepala Maria.
"Mandilah, aku akan menyiapkan sarapan untukmu."
Jay bangkit dan hendak meninggalkan Maria tanpa menjawab secara gamblang keresahan Maria.
Maria mencekal tangan Jay.
"Bolehkah aku menciummu untuk terakhir kali?"
Jay menoleh. Ia melihat sinar kekecewaan dari netra hijau itu.
"Tentu saja kamu boleh. Aku tidak melarangmu meminta itu meski kali ini bukan kali terakhirmu. Kapanpun kamu mau," sahut Jay santai.
Hanya itu yang menjadi kemurahan hati Jay pada Maria. Ia tidak bisa memberikan lebih dari itu karena ada hal yang ia pegang teguh terkait kemampuan penglihatannya di masa lalu.
Jay lantas duduk menghadap Maria. Ia bergeming.
"Ayo ... tunggu apa lagi? Kamu bilang akan menc ... hmph!"
Maria tanpa menunggu lama lagi menyambar bibir tebal milik Jay. Ia tanpa ampun mengeksplore permukaan kulit yang kenyal itu. Jay tak merespon. Ia hanya diam dan menyelami perasaan Maria yang seolah marah akan keputusannya menganggap dirinya sebagai adik.
Maria begitu rakus menjelajahi dari sudut ke sudut hingga memaksa menerobos masuk ke rongga mulut Jay. Membelit dan menarik kasar. Ciuman yang penuh amarah.
Setelah sekian ratus detik barulah ciuman itu melembut dan berakhir. Maria melepas pagutannya.
"Sudah puas?"
Wajah Maria memerah. Antara kesal dan malu.
Jay mendekat lalu mengecup kening Maria lembut.
"Kapanpun kamu ingin menciumku, katakan saja," ucap Jay lembut.
***
Palomas adalah salah satu toko coklat yang terkenal di kota Lyon. Setelah berkeliling tempat-tempat yang menyenangkan di kota Lyon --sesuai janji Maria-- mereka berhenti di toko cokelat tersebut.
Toko dengan semua jenis dan bentuk cokelat tersedia di toko itu. Maria menatap cokelat-cokelat tersebut dengan mata yang berbinar.
"Kalau kamu mau, kamu bisa memilih semua yang kamu tunjuk."
Maria menoleh ke arah Jay. Matanya membulat indah seolah tidak percaya dengan ucapan Jay barusan.
"Pilihlah yang kamu suka. Aku akan menunggumu di sudut sana," ujar Jay sambil menunjuk salah satu sudut toko cokelat tersebut.
Maria mengangguk. Ia lantas fokus dengan kegiatannya yang memilih beberapa cokelat yang etrsedia di dalam display kue. Sedangkan Jay berjalan menuju sudut toko sambil memindai isi display cokelat yang lain.
Tanpa senagaja tubuhnya bersentuhan dengan seseorang.
"I'm sorry!"
Jay menoleh. Seorang wanita dengan rambut coklat sebahu menyentuh lengannya. Jay menatap netra coklat dengan alis rapi dan hidung bangir khas wanita timur tengah.
"Ah, salah saya juga karena tidak melihat anda tengah memilih cokelat juga."
Jay mengulas senyum mautnya. Sekilas tadi ia melihat masa depan dari wanita tersebut.
Dia membalas senyum Jay sambil mengulurkan tangannya.
"Aku Sonya, from New Delhi," sahutnya.
"Ah, i see. Aku Jay. Aku dari daerah sini," jawab Jay sambil mengibas tangannya ke udara.
Beberapa detik berlalu dengan perasaan canggung. Hingga akhirnya tangan Jay ditarik oleh Maria.
"Ah, maafkan saya. Saya pasti telah berbuat salah. Saya tidak bermaksud untuk merebut pacar anda," ujar Sonya merasa bersalah.
Jay terkekeh kecil.
"Kamu tidak bersalah. Tenang saja. Dia adalah adikku yang posesif, namanya Maria."
Jay memperkenalkan Maria pada Sonya.
"Ah, senang berkenalan denganmu."
Maria menyambut tangan kanan Sonya dengan tangan kiri. Sonya sedetik sebelumnya terheran kemudian mengganti tangannya lalu menjabat tangan kiri Maria.
"Jadi, apa yang membuatmu datang ke toko cokelat ini? Apakah kamu juga penggemar cokelat?"
Jay menyeringai.
"Yeah ... aku tidak terlalu suka dengan makanan manis, tapi jika ada seseorang yang rela membuatku jatuh cinta pada cokelat, aku akan sangat berterima kasih."
Sonya tersipu.