webnovel

Feeling Bunda

Part 16.

Hatiku masih kesal dengan ucapan Kak Mona. Dengan santai ia bicara kalau menyukai CEO incaranku. Sebenarnya aku tak boleh marah, itu haknya. Ingin suka dengan siapa saja. Lagi pula CEO itu bukan kekasihku.

Kalau ingin dapatkan perhatian CEO, kami harus bersaing secara sehat. Nampaknya eluangku lebih besar, karena sebentar lagi akan magang di kantornya.

"Loh, Za, kenapa belum tidur?" tanya Bunda.

"Sebentar lagi, Bund, Za belum mengantuk," sahutku sambil membalik lembaran buku novel.

"Bunda tau kok, kalau kamu suka nungguin CEO itu pulang kerja!?" Aku diam saja, pura-pura tak mendengar ucapannya.

"Ya-sudah, Bunda masuk duluan ya" ucap Bunda sambil berlalu.

"Iya, Bund!"

Setelah Bunda masuk ke kamar, ku letakkan lagi buku novel di atas meja balkon. Mataku tertuju ke teras rumah CEO itu. Bak gayung bersambut, orang yang ku tunggu baru saja keluar. Ia dan adiknya duduk di teras rumah sambil bercanda.

Aku duduk merapat ke dinding balkon, malu juga kalau ketauan mengintip dari atas. Apalagi ketauan sedang menunggunya keluar. Melihat CEO duduk di teras, rasanya dada ini berdetak kencang. Tubuh terasa panas dingin seperti hendak terserang demam.

Apakah ini yang di namakan jatuh cinta, ya? Tapi aku kok yakin benar kalau CEO itu sudah berpisah dari kekasihnya. Bisa saja mereka kembali jalin hubungan lagi. Aku tak boleh terlalu percaya diri. Tiba-tiba saja hati ini jadi berkecamuk.

Sementara itu aku masih curi pandang melihat CEO dan adiknya. Tak lama terdengar suara hapeku berbunyi. CEO mencari asal suara lalu melihat ke atas balkon, aku pura-pura tak nampak karena sedang perhatikan telfon.

Siapa sih malam begini menelfon, kurang kerjaan saja. Sudah dua kali nomor tak di kenal ini misscal ke hapeku. Karena ku abaikan, nomor itu malah sms ke nomorku.

"Tidurlah, tak baik anak gadis begadang di teras rumah," tulis penelfon itu.

Ku edarkan pandangan ke sekeliling teras. Kok bisa tau kalau aku duduk di teras sampai larut malam. Ku lihat ke bawah, CEO itu sedang berbicara serius dengan adiknya. Jadi siapa yang kirim pesan untukku?

Apa ini kerjaan si Rendy teman kampusku? Sepertinya semua nomor hape sudah ku blokir, apa dia pakai nomor baru lagi, ya, aku jadi bingung sendiri ini.

*******

Sejak malam itu, aku dan CEO tetangga itu punya kebiasaan yang sama. Yaitu sebelum tidur selalu duduk di teras rumah sambil membaca novel. Sedangkan CEO itu duduk sambil bermain hape di temani oleh adiknya.

Akan tetapi aku masih ragu dengan status CEO tersebut. Aku sering melihatnya telfonan dalam waktu lama. Kalau bicara dengan teman tak mungkin sampai setengah jam lebih. Cowok seganteng CEO itu, pasti banyak cewek yang mengejar cintanya.

Beliau pasti tak mau menjomblo lama-lama, apalagi hidupnya sudah mapan. Tinggal cari pendamping hidup saja. Aku takut kecewa, seperti cinta Rara pada Rendy. Sedang cinta dan sayangnya, eeh, si Rendy malah putuskan cinta si Rara.

Esok harinya ketika sarapan Pagi, Bunda bertanya pada Papa.

"Pah, kapan undangan itu di penuhi oleh tetangga depan rumah kita?" tanya Bunda.

"Katanya nanti malam beliau punya waktu untuk penuhi undangan kita," jelas Papa.

"Berarti bawa adiknya, ya?" tanya Kak Mona.

"Iyalah, pasti datangnya berdua," kata Papa.

Pembicaraan di meja makan mulai menghangat

Kalau sudah membahas tentang ini, semangat menjalani aktifitas. Kak Mona lebih banyak bertanya pada Papa. Sedangkan aku hanya menyimak sambil senyum sendiri.

Ternyata diam-diam Bunda melihat ekspresi wajahku. Ia menyela ucapan Papa dan berkata.

"Nanti malam kalian dandan yang rapi dong, karena kedatangan dua tamu," celetuk Bunda.

"Hm, jangan terlalu berlebihan, biasa aja! Yang penting berpakaian yang sopan," sahut Papa.

"Halahh, ngapain sih pakai acara dandan segala, memangnya kalian naksir cowok tetangga itu?" ledek Bang Rey.

"Helloo ... namanya usaha! Siapa tau CEO itu naksir antara kami berdua," balas Kak Mona.

"Sudah, tak boleh berisik di depan makanan," lerai Bunda.

"Kalau Rey, kapan kenalin kekasihnya pada Bunda dan Papa?" tanya Bunda.

"Oh-gampang itu Bund, tunggu sajalah! Kalau sudah waktunya, pasti akan Rey kenalkan!"

"Memangnya Bang Rey sudah punya kekasih, ya?" tanyaku penasaran.

"Haa-haa, belumm!" jawabnya sambil tertawa.

"Aihh, pantesan kepo, melihat kami ingin tebar Pesona di depan CEO ganteng!" ejek Kak Mona

"Ya-sudah, cepat habiskan makanan kalian, nanti telat berangkat ke kantor!" ingat Papa.

"Zahra, kok belum siap-siap? Gak kuliah hari ini?" tanya Papa.

"Za, kuliahnya masuk siang, Pah!" jawabku.

Selesai sarapan Papa dan dua Kakakku berpamitan pada aku dan Bunda. Kalau Papa nyetir mobil sendiri, sedangkan Bang Rey dan Kak Mona berangkat sama-sama. Karena mereka bekerja di kantor yang sama.

******

Setelah mereka berangkat kerja, aku dan Bunda melanjutkan obrolan tadi. Tapi Bunda kok belum siap-siap pergi ke butik. Biasanya pukul delapan pagi, Bunda sudah berpakaian rapi hendak pergi bekerja.

"Bund, pukul berapa pergi ke butik?"

"Bunda berangkat ke butik, dengan kamu saja."

"Oh-gitu," Jawabku.

"Zahra ...!" panggil Bunda.

"Iya, Bund, ada apa?"

"Sepertinya kamu menyukai CEO itu, kan?"

Pertanyaan Bunda membuat pipiku memerah.

"Ahh, Bunda sok tau deh," jawabku.

"Feeling Bunda mengatakan seperti itu, Za! Kamu sering menunggu di teras, sekedar melihat CEO itu pergi atau pulang dari bekerja." jelas Bunda panjang lebar.

Feeling seorang Ibu memang benar, diam-diam

beliau sering perhatikan aku. Aku jadi malu nih, ketauan memendam suka pada seseorang. Sepertinya aku harus bersaing dengan Kak Mona untuk mendapatkan hati seorang CEO ganteng.

Kakakku sudah punya modal, ia sudah bekerja, penampilannya menarik memang wajahnya tak secantik aku. Tapi dia punya karir yang bagus di kantor. Maklumlah anak seorang CEO terkenal alias Sultan di kota ini.

Sedangkan aku seorang mahasiswi belum selesai kuliah. Masa depan sebenarnya sudah kelihatan, karena tinggal bekerja saja di kantor Papa, tapi aku tak mau memanfaatkan fasilitas itu. Inginnya bekerja di tempat lain, agar bisa belajar mandiri.

"Jadi menurut Bunda, Za harus bagaimana kalau bertemu CEO ganteng itu?" tanyaku.

"Tampillah apa adanya jangan berlebihan. Bicara yang sopan, jangan kelihatan sekali kalau kamu itu suka padanya. Jual mahal sedikitlah!" jawab Bunda.

"Selesai makan malam, tanyakan kepentingan kamu untuk magang di kantornya. Apa saja persyaratannya jadi pembicaraan tak kaku!" jelas Bunda panjang lebar.

"Pasti Za gugup, karena baru pertama kali bertemu dengan CEO itu," ucapku.

"Hm, tak usah khawatir! Kan ada Bunda, Papa serta Kakakmu," kata Bunda.

"Memangnya CEO itu kok bisa kerjasama dengan perusahaan Papa, Bund!" tanyaku penasaran.

"Kata Papa, si Wendy itu anak teman lamanya. Tak sengaja bertemu saat ada kunjungan kerja di luar kota tiga tahun yang lalu! Nah, sejak itulah mereka terikat kerjasama. Papa memakai jasanya sebagai penasihat perusahaan!" jelas Bunda panjang lebar.

Bersambung ....