Sekian menit Xavier habiskan karena terpaku pandangannya pada Elena. Gadis itu akhirnya menyadari ada seseorang yang mengawasinya dari balkon atas. Elena menoleh, dan benar saja mata tajam Xavier memandangnya dengan berbagai arti yang tidak Elena mengerti.
Sepasang mata cokelat pria itu tidak menunjukan kemarahan tidak juga menunjukan kelembutan. Elena tidak mengerti maksud tatapan Xavier. Keduanya sama-sama tenggelam dalam pandangan satu sama lain.
Kontes menatap itu berakhir ketika Elena menundukkan wajahnya dan masuk ke dalam kamarnya, dibarengi Xavier yang turun dari lantai dua.
Ketika mereka bertemu di ruang tamu, ia berdehem melepaskan kecanggungan tadi saat saling berpandangan. Elena menggaruk tengkuknya lantas mengikuti langkah Xavier mendekati sofa.
"Mm… rumahmu benar-benar bagus, dari puncak bukit ini semuanya terlihat sangat indah," ujar Elena kaku.
"Benarkah?" Xavier menjangkau kunci mobil yang ada di atas meja.
"Kau mau kemana?" tanya Elena.
Xavier berbalik. "Aku harus menyelesaikan beberapa masalah."
"Aku sudah mengira kau pasti orang yang sangat sibuk dan giat bekerja," tutur Elena. Xavier ingin tertawa mendengar kata-kata polos gadis itu.
Pasti Elena sama sekali tidak menduga Xavier akan membunuh orang hari ini.
"Dari mana pemIkiran itu berasal?" tanya Xavier penasaran.
Elena menunjuk pada tubuh Xavier. "Rumahmu besar, penampilanmu bagus, mobilmu juga dan… kau orang baik."
"Baik seperti apa? Kau baru mengenalku dari sepiring pasta?"
Elena tertawa canggung. Ia menyelipkan rambutnya pada belakang telinga. Xavier masih mengawasi semua gerakannya.
"Apa yang lucu?" tanya Xavier, tapi tidak dengan nada ketus. Ia hanya sungguh penasaran kenapa Elena tertawa. Ia baru menyadari bahwa gadis ini terlihat sangat menawan saat sepasang bibirnya melengkung ke atas dalam senyuman dan tawa seperti ini, tidak kuatir dan ketakutan seperti kemarin.
"Uhm… apakah aku boleh ikut?" tanya Elena pelan, mengalihkan pembicaran.
"Kau mau kemana?" tanya Xavier
"Aku juga kerja, di toko kecil." Elena berlalu melewati Xavier. "Tempatnya tidak jauh dari pemakaman. Boleh?"
Xavier menatap Elena agak lama. Rasanya ia tidak ingin gadis itu pergi, entah kenapa. Namun ia sadar bahwa ia tidak ada hak untuk menahan gadis itu untuk tinggal di sini.
Astaga, kau pasti sudah gila, umpar Xavier kepada dirinya sendiri, Untuk apa yang menyimpan seorang gadis di sini? Ia sangat sibuk dan tidak punya waktu menjadi nanny.
Sebelum disadarinya, Xavier sudah mengangguk.
"Aku tunggu di mobil," katanya singkat. Ia lalu berbalik dan keluar rumah menuju garasi.
Elena segera kembali ke kamarnya dan mengambil sisa barangnya dari sana dan bergegas ke garasi agar dapat menebeng Xavier untuk turun ke kota.
Ketika ia masuk ke dalam garasi, Elena menemukan Xavier berdiri mematung di sebelah mobil hitamnya, menunggu Elena dengan sabar.
"Terima kasih sudah menungguku," kata Elena sambil tersenyum penuh terima kasih.
"Hm." Xavier tidak berkata apa-apa. Ia melemparkan kunci pada Elena lalu membuka pintu mobilnya dan masuk. Dengan sigap Elena menangkap kunci itu. Ia bertanya keheranan. "Kunci apa ini?"
"Aku tidak pulang malam ini," kata Xavier tenang. "Itu kunci rumah ini jika kau butuh tempat untuk bersembunyi."
Elena mengatupkan bibirnya. Ia tidak mengira pria ini akan memberikan kunci rumah ini kepadanya. Mengapa Xavier bisa begitu percaya kepadanya? Ia bertanya-tanya dalam hati.
Ah.. ia tidak boleh menolak tawaran yang sangat murah hati ini. Sungguh kebetulan yang luar biasa. Elena memang masih kebingungan harus tinggal di mana setelah ia pulang bekerja. Kalau bibinya sungguh sudah mengusirnya, tentu Elena tidak akan bisa kembali ke apartemen dan ia harus mencari tempat tinggal sendiri.
"Te-terima kasih…" kata Elena tergagap-gagap. Air matanya hampir saja mengalir lagi. Ia buru-buru mengusap matanya dan tersenyum lega. Xavier menunggu dengan sabar, dan gadis itu segera menyadari bahwa mereka harus berangkat. Elena membuka pintu di samping pengemudi dan duduk.
Mobil hitam itu melaju keluar dari garasi yang segera menutup otomatis. Pagi itu sangat cerah dan alam bermandikan cahaya matahari. Saat mereka bergerak ke timur, terik sang surya mulai menyilaukan mata Elena.
Xavier yang sudah menggunakan kaca mata hitam sejak tadi, mengambil kacamata hitam lain dari dashboard dan memberikannya kepada gadis itu.
"Tidak perlu, aku baik-baik saja," Elena menolak. Ia merasa kacamata mahal yang disodorkan Xavier ini tidak cocok untuk gadis miskin sepertinya. Tidak pantas ia kenakan.
"Anggap saja aku melindungi matamu!" Perintah Xavier tidak akan bisa terbantahkan. Elena meraih kacamata hitam itu lantas perlahan memakainya meski dalam kecanggungan.
Erangan kendaraan semakin melaju cepat. Atap mobil yang terbuka membuat para penumpang mobil dapat menikmati hembusan angin musim panas yang hangat. Elena sangat menyukai hangatnya sinar matahari di kulitnya, yang dibarengi oleh belaian angin.
Pelan-pelan, senyum kegembiraan melengkung di bibir gadis itu. Rasanya seperti bermimpi ia bisa naik mobil semewah ini dan menikmati perjalanan yang sangat menyenangkan?
"Boleh aku berdiri?" tanya Elena kepada Xavier. Wajahnya merona cantik dan ekspresinya dipenuhi sukacita, seolah ia telah melupakan perbuatan bibinya yang jahat dan tiga preman yang mengganggunya kemarin.
"Sebentar saja." Kata Xavier menyembunyikan tatapannya di balik kacamata hitam.
"Terima kasih…" Elena tersenyum semakin lebar. Perlahan-lahan ia berdiri dari kursinya, lalu merentangkan kedua tangannya lebar.
Elena sangat menikmati sapuan angin yang menerpa wajahnya, rambutnya berkibar, tanganya semakin merentang bebas dan sekarang senyumnya semakin indah.
Dari sudut matanya yang tertutup kacamata hitam, Xavier melihat kelakuan gadis itu dan ia memutar matanya, tetapi bibirnya melengkung dalam sebuah senyum geli.
Rasanya konyol membayangkan laki-laki seperti dia naik mobil dengan seorang gadis dalam adegan yang begini manis, sementara ia sedang dalam perjalanan untuk membunuh.