Sungguh menyedihkan. Pernikahan yang digelar begitu mewah, tapi pengantin wanita tidak memiliki pendamping kecuali satu sahabatnya.
Sangat disayangkan jika harus menangis dan membuat make up yang menempel rusak. Guinnevere, gadis berusia 20 tahun yang menerima pernikahannya dengan Tuan muda dari Keluarga Grissham dengan perjanjian hitam diatas putih demi sebuah kebebasan.
"Eve, apa yang akan kau lihat, aku harap kau percaya kalau Gavin bisa melindungiku. Aku yakin kalau Ayah juga sedang menyiapkan kejutan buruk untukku," ucap Guin.
"Aku tidak mengerti," jawab Eve.
"Eve, aku tidak bisa menutupinya darimu. Lambat laun, cepat atau lambat, kau akan menyadarinya."
"Berterus teranglah. Jangan membuatku khawatir," ucap Eve.
"Gavin, dia..."
"Pengantin wanita harap untuk bersiap," salah satu pengiring menghampiri Guin.
Guin dan Eve sudah berada di dalam gedung yang mewah sejak Guin pulang dari kencan bersama Gavin. Gedung yang dijaga ketat, tapi entah siapa yang mengutusnya karena mereka semua hanya berjaga disekitar Guin.
Acara pernikahan akan segera dimulai. Guin mulai gemetaran tapi Eve terus menggenggam erat tangannya. Pernikahan yang dihadiri oleh orang-orang penting dan tidak ada satu pun orang yang dikenalnya kecuali Eve.
Seharusnya Guin bahagia tapi tetap saja, meskipun selama hidupnya tidak pernah diperlakukan dengan baik, Guin masih berharap seorang pria asing yang kemudian dipanggil dengan sebutan AYAH oleh Guin hadir.
'Aku terbuang tepat dihari pernikahanku. Harusnya aku sudah siap dengan semua ini tapi ternyata sesaknya tidak bisa diobati,' batin Guin.
Gaun mewah yang dibuat dengan waktu singkat. Gaun putih yang terbuat dari kain sutera dengan hiasan-hiasan sederhana, namun wajah Guin yang begitu cantik membuat gaun yang dipakainya memancarkan aura istimewa.
Seharusnya Guin menggandeng lengan Tuan Garmond dan berjalan di atas karpet merah dengan taburan bunga yang mengiringi. Seharusnya hanyalah sebuah kata 'seharusnya' karena pada kenyataannya, kata seharusnya menjadi kata kemustahilan.
Guin berjalan sendiri dengan bunga indah ditangannya. Eve berjalan tepat dibelakang Guin. Dari arah yang berlawanan, Gavin menjemput Guin sebagai pengantin wanitanya.
Suasana haru ketika Gavin mengulurkan tangannya dan Guin menerimanya. Gavin tampak begitu sempurna dengan jas putih yang menempel ditubuhnya.
"Guin jangan khawatir. Aku sudah latihan," bisik Gavin.
Kedua pengantin siap untuk mengucapkan janji suci. Janji suci dihadapan Tuhan dan para saksi. Pria yang bersikap seperti anak kecil bisa melaksanakan tugasnya dengan sempurna hanya karena latihan.
Akhirnya, setelah melewati proses yang panjang, acara mencapai puncaknya. Janji suci terucap, Guin maupun Gavin mengucapkannya seperti mereka adalah dua manusia yang saling jatuh cinta dan sudah Tuhan persatukan dalam ikatan pernikahan.
Semua tamu undangan menangis setelah sesi ucap janji selesai. Tangis haru karena pengantin wanitanya juga menangis. Cincin sudah melingkar dijari mereka dan mereka sudah resmi menjadi Suami Istri.
Puncak terakhir adalah pengantin pria harus mencium pengantin wanita. Jantung Guin berdebar ketika Gavin mendekatkan wajahnya. Siapa yang akan menyangka, Gavin mengecup lembut kening Guin.
Tepuk tangan begitu riuh dan ramai. Meskipun semua orang tahu kekurangan Gavin, tapi kali ini ikrar pernikahan berjalan sangat sempurna.
"Aku menyukai Guin!"
***
Dibalik kebahagian Gavin, ada orang lain yang tertekan. Emosi memuncak sampai membuat kepala hampir saja meledak.
Siapa lagi kalau bukan Nyonya kedua dan Putra kedua di kediaman Keluarga Grissham. Skor 1-0 karena Aland kalah 1 permainan yaitu pernikahan.
"Padahal hanya anak yang cacat tapi Ayah mengadakan pernikahan yang begitu mewah. Sedangkan aku, pertunanganku hanya sebagai kedok belaka," teriak Aland sembari memukul meja dengan tangannya yang terkepal.
"Aland, Ibu sudah menyelidiki. Ternyata gadis itu bukan Putri Tuan Garmond. Pantas saja tidak terlihat batang hidung mereka," ucap Nyonya Amber.
"Apa Ibu memiliki rencana?"
"Tentu saja!"
***
"Bagaimana? Apa semuanya sudah aman?" tanya Ralio pada penjaga yang dia tugaskan.
"Aman. Orang-orang yang berniat menggagalkan pernikahan sudah pergi, Tuan," jawabnya.
"Kau memang bisa aku andalkan," Ralio menepuk pundak Sheril.
"Apa Tuan muda mengetahui hal ini?"
"Kau hanya perlu menanyakan apa yang perlu kau tanyakan. Semakin banyak yang kau ketahui, nyawamu akan semakin pendek."
"Maafkan atas kelancangan saya, Tuan Ralio."
"Aku maafkan untuk kali ini tapi tidak untuk lain kali."
Sebenarnya siapa Ralio? Kenapa dia sangat disegani oleh siapapun? Bahkan seorang Jendral saja tunduk padanya. Apa hanya karena dia memiliki kemampuan bela diri yang hebat? Atau karena dia memiliki Tuan yang begitu berpengaruh?
Siapa Ralio, hanya Tuan Calista yang mengetahuinya karena Nyonya Calista yang menempatkan Ralio disisi Gavin.
"Nyonya, kenapa Nyonya di sini? Tuan muda Gavin bagaimana?" tanya Ralio.
"Ralio, terimakasih sudah selalu membantu," ucap Nyonya Calista yang sudah bernafas lega karena acara ikrar suci lancar dan terlewati dengan haru.
"Bibi, tidak ada lagi yang harus dikhawatirkan. Semuanya sudah aman."
***
"Guin mau minum?" Gavin memberikan segelas wine dengan kadar alkohol rendah.
"Gavin, aku tidak bisa minum alkohol."
"Aku ambilkan jus, ya," Gavin menawarkan jus untuk Guin.
"Gavin, kau minum wine?"
"Ini wine?" tanya Gavin bingung.
"Pelayan!" panggil Guin dan seorang pelayan menghampirinya.
Pelayan datang menemui Guin. Guin memberikan wine yang ada ditangan Gavin dan meminta Pelayan itu untuk memberikan Gavin jus yang sama dengannya.
"Gavin minum jus saja ya. Wine bisa membuat Gavin sakit," ucap Guin supaya Gavin tidak salah paham padanya.
"Kenapa harus 2 gelas?" tanya Gavin polos.
Guin termenung memikirkan jawaban apa yang akan di berikan pada Gavin. Pertanyaan dari Gavin terkadang adalah pertanyaan menjebak.
"Karena yang satu untukku dan yang satu untuk Gavin," jawab Guin senormal mungkin.
'Gavin masih seperti anak-anak. Aku saja yang terlalu agresif dalam berfikir. Mana mungkin Gavin bermaksud untuk satu gelas denganku,' batin Guin.
Gavin mengambil jus yang ada ditangan Guin. Jus itu sudah diminum setengahnya oleh Guin. Jus yang seharusnya untuk Gavin, dikembalikan ke pelayan.
Guin tidak mengerti kenapa Gavin bersikap seakan dia paham bahwa seseorang yang sudah menikah harus saling berbagi.
"Itu minumanku," ucap Guin sembari mengambil kembali gelasnya.
Bukannya mendapatkan gelas, Guin malah memegang tangan Gavin. Guin sadar lalu menarik kembali tangannya tapi sayang, Gavin tidak melepaskan tangan Guin.
"Guin, aku menyukai Guin," bisik Gavin.
"Iya, aku sudah mendengarnya. Jadi lepaskan tanganku," ucap Guin dengan wajah yang memerah.
"Kalau aku tidak mau? Aku mau memegang tangan Guin," jelas Gavin.
"Tapi..."
Glek... Glek...
Gavin meneguk sisa jus Guin sampai habis. Bahkan sampai tetes terakhir. Guin terbelalak melihat tindakan Gavin.
"Gavin, kenapa..."
"Hmmmmm... Manis," ucapan Gavin terdengar begitu menggoda dengan lidah yang menjilat bibirnya sendiri.
"HAH?"
Deg... Deg... Deg...