Saat Paula pulang ke rumah, dia mendapati William yang setengah waras. "Will, kamu minum dari tadi?"
Hanya dari tatapan mata William, Paula tahu bahwa William sedang ada masalah. Padahal, Paula sebenarnya ingin membicarakan masalah bayi di rahimnya dan masa depannya dengan cara orang dewasa. Namun, sepertinya, saat ini William tak mungkin bisa diajak berpikir dengan jernih.
"Will?" Paula hendak menyentuh bahu William. Namun, William dengan kasar menyingkirkan tangannya hingga menyakiti Paula.
"Perempuan egois! Ini semua salah kamu! Ini semua karena ide gila kamu!" racau William tak jelas. Matanya mendekat ke arah Paula dengan tatapan bengis.
Bau alkohol menyerbu tajam dari mulut William, membuat Paula yang sedang hamil ingin muntah. Kemudian, William melakukan hal yang tak pernah sama sekali dia lakukan terhadap Paula. Kasar dan sangat menyakitkan bagi Paula.
"William, hentikan!"
"Kamu suka ini, 'kan? Kamu yang minta, 'kan?" Tanpa mempedulikan Paula, William meneruskan hasratnya dan mencari kepuasannya sendiri.
Air mata mengalir deras di pipi Paula. Saat ini, yang Paula khawatirkan bukanlah dirinya yang merasa sangat tersiksa. Wanita itu mencemaskan janin yang dia kandung.
"Jangan kasar, Will! Aku hamil!" jerit Paula memohon.
"Tipuan macam apa lagi, hah? Dengan cara apa lagi kau mau menjeratku?" William tak peduli. Dia melakukannya beberapa kali hingga tak bertenaga lagi. Dia pun tertidur dalam keadaan penuh amarah. Merasa harus menghukum Paula dengan cara yang lebih buruk lagi.
Sementara Paula menangis dan merintih kesakitan. Seperti angsa yang terluka, dia mencoba berdiri dan mengumpulkan sisa-sisa kekuatan. William benar-benar marah padanya. Mungkinkah terjadi sesuatu antara William dan Lea?
Malam ini, sambil menahan rasa sakitnya, Paula segera membersihkan diri. Memar-memar di bagian tubuhnya akibat perbuatan suaminya yang kasar, akan menjadi hal menyakitkan yang tak akan terlupakan sekalipun nanti sudah hilang bekasnya.
Selesai mandi, Paula pun mengemasi semua barang-barangnya. Dia tak akan memperpanjang kisahnya bersama William. Dia bertekad untuk menyelesaikan ini semua secepat mungkin dan tentunya dia akan secepatnya pergi dari rumah William.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Paula menemui Lea di kantornya. Dia telah membuat janji dengan Dave yang kebetulan dia kenal walaupun tidak dekat. Dia meminta izin untuk membicarakan urusan pribadi dengan Lea.
"Anda ...." kening Lea mengernyit tak yakin akan wanita yang datang menemuinya. Samar, dia ingat bahwa wanita di hadapannya adalah Paula–istri William.
"Selamat Pagi, Lea! Saya Paula," sapa Paula sambil mengulurkan tangannya dengan ramah dan profesional.
"Kamu mau melabrak saya? Maaf, saya sudah putus dengan William. Jadi, Anda tak perlu khawatir lagi karen—"
"Putus?" Paula memotong perkataan Lea karena terkejut. Ternyata dugaannya benar.
Lea tersenyum sinis. Mulutnya hendak mengatakan sesuatu, tapi lagi-lagi Paula mencegahnya.
"Mengapa kalian putus? Bukankah selama ini kalian saling mencintai?" tanya Paula yang masih tak mengerti alasan putusnya hubungan Lea dan William.
Lea membuang muka. Bibirnya menipis. Dia lalu menjelaskan singkat alasan putusnya dengan William. "Apa Anda pikir, saya harus meneruskan hubungan ini dengan William? Pria pembohong seperti dia?"
Mata Lea menatap tajam dan menantang. Sementara Paula tersenyum masam. Ternyata, hal itulah yang membuat William marah dan menyiksanya kemarin. Paula menjadi merasa bersalah atas semua yang telah terjadi. Dia merasa semua sudah sangat keluar jalur.
"Lea, William mencintai kamu. Akulah yang mengajak dia untuk melakukan ini semua secara sembunyi-sembunyi dari kamu," jelas Paula sambil merasa tak enak.
"Rasanya bodoh sekali. Mengapa istri sah harus merasa bersalah karena telah melakukan hubungan suami-istri dengan suaminya dan meminta maaf kepada kekasih suaminya?" Lea tertawa sinis, lalu menatap Paula dengan wajah mencemooh. "Kamu wanita napsuan, ya?"
"...." Perkataan Lea begitu melukai harga diri Paula. "Maksud kamu apa?"
"Kalau nggak, ngapain kamu ngajakin pria yang nggak cinta ke kamu buat gituan?" Pandangan mata Lea kini tajam menusuk. Sejujurnya, dia sangat ingin melampiaskan kemarahannya ke Paula yang telah merebut William darinya.
"Mungkin aku memang napsuan. Tapi aku bisa menjaga diri dan melakukan hal itu setelah menikah," jawab Paula setelah berusaha keras meredam emosi. "Aku melakukannya dengan pasangan yang sah. Aku orang timur. Aku bangga mempertahankan hal seperti itu."
Paula kemudian berdiri dari sofa lobi kantor Amazing Furniture. "William juga nggak salah. Dia terjaga. Bukan pria hidung belang atau pria liar! Bodoh sekali kalau kamu menolak William hanya karena masalah seperti ini. Itu nggak adil buat dia, Le!"
"Kamu tahu apa tentang aku? Dasar sok tahu! Wanita dingin semacam kamu nggak berhak komentar tentang kehidupan cinta orang lain!" Lea yang meradang, semakin terbawa emosi. Dia pun berdiri kasar dari tempatnya duduk sehingga tasnya terjatuh.
Spontan, Paula membantu membereskan tas Lea. Namun, betapa terkejutnya dia saat menemukan buku pemeriksaan kehamilan beserta lembar sonogram bertuliskan tanggal tiga hari lalu beserta nama ibu janin itu.
Lebih parah lagi, Paula menemukan sebuah tiket pesawat ke Surabaya bertanggalkan esok hari atas nama wanita di hadapannya. Apakah Lea merencanakan sesuatu?
Wajah Paula tercengang menatap wajah pucat Lea. Lea pun segera menarik semua lembar yang dipegang Paula dan segera menyingkir dari lobi, meninggalkan Paula yang membeku. Pikiran Paula sibuk mencerna hal yang baru saja dia lihat.
Tak lama, Dave pun sampai di kantornya dan menyapa Paula yang tampak masih bingung. "Paula! Apa kabar? Sudah selesai urusan dengan Lea?"
Paula yang gugup pun memaksakan tersenyum dan mengangguk. "Kamu, ada urusan bisnis ke Surabaya besok, ya?"
"Nggak, kok? Kenapa? Kamu mau titip makanan?" tanya Dave dengan senyuman jenaka yang khas. Kacamata yang dia kenakan pun berkilat senada dengan senyumannya yang sangat ramah.
"Bisa aja kamu, Dave! Tahu banget aku suka kue lapis yang bikin gendut itu. Lalu, apa kamu menugaskan Lea ke Surabaya besok?"
"Nggak! Kami sibuk di sini aja pekan ini. Kenapa?"
Paula menggeleng. Dia lalu segera berpamitan ke Dave dan kembali ke kantor.
Sambil berjalan ke tempat parkir, air mata Paula pun menetes. Dia tahu saat ini Lea hamil dan berencana kabur ke Surabaya. Paula merasa sangat bersalah akan hal ini.
Paula berpikir bahwa bayi yang ada di kandungan Lea pastilah bayi William. Dia mengira, Lea pasti tak ingin merusak pernikahannya dengan William, lalu berniat sembunyi. Lagi pula, orang tua William tidak menyetujui hubungan Lea dengan putra mereka. Memang, hubungan William dan Lea sepertinya tak ada harapan.
Sementara itu, Paula sendiri pun hamil karena sebuah kesalahan. Namun, William tak merespons dengan baik saat dia mengabarkan kehamilannya. Paula bimbang antara harus meyakinkan William atau tidak.
Wanita berambut hitam panjang itu memejamkan mata, menengadah ke atas dengan tak berdaya. "Ya, Tuhan .... Apa yang harus aku lakukan?"