webnovel

Part 1

Namaku Wensy Jeremiah, aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara.

Aku memiliki kakak dan adik laki - laki, itu artinya aku adalah satu - satunya anak perempuan yang dimiliki oleh kedua orangtuaku.

Jujur saja, aku termasuk gadis yang cukup manja dan keluargaku pun tak pernah mempermasalahkan hal tersebut.

Saat ini, usiaku 23 tahun dan sebentar lagi aku akan berusia 24 tahun. Aku bekerja sebagai seorang manager di sebuah pabrik kertas selama hampir setengah tahun.

4 bulan pertama bekerja, aku adalah seorang asisten manager..

Namun karena seniorku, atau bisa di bilang manager yang sebelumnya membuat masalah, akhirnya aku di angkat untuk menggantikan posisinya. Yang ku tahu sekarang seniorku itu di pindahkan ke divisi yang lain.

Minggu pertama sejak aku naik jabatan, tidak begitu sulit untuk aku lalui, namun di minggu berikutnya, dan bulan - bulan berikutnya, pekerjaanku mulai menumpuk dan aku pun mengeluh akan hal itu.

"Ah ! Mati aku !" gumamku sambil menelungkupkan kepalaku di atas meja.

"Jangan terlalu banyak mengeluh.. Nikmati saja," ujar Ivory - sahabatku.

Saat ini aku dan Ivory sedang berada di sebuah cafe mungil yang letaknya tidak terlalu jauh dari kantor kami berdua.

Ah iya ! Aku lupa memberitahu kalian,.. Aku dan Ivory bekerja di perusahaan yang sama, Ivory bekerja sebagai sekretaris direktur, kalau di pikir - pikir, rupanya kami berdua sudah bekerja di perusahaan yang sama selama 10 bulan.

Asal kalian tahu saja aku dan Ivory sudah bersahabat selama 13 tahun, karena itulah Ivory sudah seperti menjadi bagian dari keluargaku, begitu juga sebaliknya.

"Mudah saja bagimu untuk mengatakan hal itu," omelku, "Kau tidak perlu memutuskan hal - hal yang rumit juga beresiko tinggi,"

"Hei ! Menjadi sekretaris direktur itu tidak semudah yang kau bayangkan !" Ivory membela diri, "Itu lebih rumit dari yang kau kira, tahu !"

Aku berdecak, "Tetap saja pekerjaanku lebih rumit ketimbang pekerjaanmu,"

Ivory menatapku tidak percaya, "Wah ! Lihat dirimu sekarang.." ucapnya sambil menggeleng - gelengkan kepalanya, "Apa benar kau ini seorang manager ?"

Aku melirik sinis Ivory, "Memangnya aku kenapa ?"

"Seorang manager tidak akan memiliki mental lembek seperti dirimu, tahu !" ujar Ivory.

Aku berdecak sambil menatap Ivory sebal, "Memangnya mengeluh sedikit tidak boleh ?!"

"Aish ! Dasar anak manja !" ejek Ivory sambil memasukkan sepotong muffin coklat ke dalam mulutnya.

Aku mendengus kesal, "Lagi pula, aku hanya mengeluh di luar kantor dan tidak pernah mengeluh di depan anak buahku,"

"Ya.. Ya.. Ya.. Bagus sekali," ucap Ivory jengah.

"Aku hanya akan mengeluh di depanmu dan juga keluargaku," ucapku.

"Wah.. Aku merasa tersanjung.." ucap Ivory dengan nada dan ekspresi wajah yang datar.

Aku berdecak, "Kau ini benar - benar tidak bisa menghiburku sedikit pun, ya ?!"

Ivory tertawa renyah, "Sepertinya tidak,"

"Kau ini sahabatku atau bukan sih ?!" protesku dengan nada kesal.

"Aku ? Ah, aku kan buku harianmu," ucap Ivory santai.

Aku terkekeh kali ini, "Yah.. Aku tidak bisa menyangkalnya,"

"Aku ini tahu semua ceritamu, rahasiamu, dan bahkan semua sikap serta sifatmu yang terkadang menjengkelkan," ujar Ivory sambil terkekeh.

Aku tersenyum lebar, "Kau memang yang terbaik !!"

Ivory memangku dagunya dengan tangan kirinya, "Mungkin awalnya memang berat karena ini pertama kalinya kau bekerja tanpa bergantung pada orang lain.. Tapi seiring berjalannya waktu, kau pasti akan terbiasa.."

Aku tersenyum manis mendengar ucapan Ivory,

Ivory tiba - tiba bergidik, "Singkirkan senyumanmu itu ! Membuatku merinding saja !"

Aku langsung menatap Ivory tajam, "Cari mati, ya ?!"

Ivory terbahak sambil menjulurkan lidahnya untuk mengejekku, "Tidak tuh !"

Aku hanya berdecak sebal sambil menghabiskan vanilla latte yang ada di hadapanku.

Begitulah aku dan Ivory, selalu penuh dengan perdebatan juga tawa.

Yah mungkin yang dikatakan oleh Ivory benar.. Seiring berjalannya waktu, aku pasti bisa terbiasa dan menjadi gadis yang mandiri.

~

Aku merebahkan diri diatas kasur, sungguh hari yang sangat melelahkan !

Tak terasa sudah genap 1 tahun aku bekerja dan akhir - akhir ini aku sering pulang larut malam karena lembur...

Di tambah lagi, asistenku mengundurkan diri bulan lalu karena dia memutuskan untuk menikah dan pindah ke luar kota, alhasil pekerjaanku menjadi 2 kali lipat lebih banyak dari sebelumnya.

"UAKH !!" teriakku sambil menendang - nendangkan kaki ke udara, "Sampai kapan aku harus mengurus semua ini tanpa bantuan asisten ?!"

"Kak.. Kau mulai gila rupanya ?" tiba - tiba saja adik laki - lakiku membuka pintu kamarku tanpa permisi.

Aku menoleh sebal ke arah Leo - adikku yang berdiri di ambang pintu, "Hei bocah ! Kenapa tidak mengetuk pintu ?! Seenaknya saja tiba - tiba masuk ke kamarku !"

Leo terlihat membuang nafas kesal, "Aku sudah mengetuk pintu sejak 10 menit yang lalu, tapi kakak tidak menjawab.."

Aku berdecak, "Memangnya ada apa ?"

"Mama bertanya apa kakak sudah makan," ujar Leo, "Karena masih ada sisa seafood paella di atas kompor.."

Aku melirik jam dinding yang ada di kamarku, "Kau sengaja ingin membuat kakakmu tertimbun lemak, ya ?!"

Leo mengerutkan dahinya, "Apa hubungan antara seafood paella dan juga timbunan lemak ?"

Aku berdecak kembali, "Jam berapa sekarang ?!"

Leo menoleh ke arah jam dinding bulat di kamarku, "Jam 11.30 malam.. Lantas kenapa ?"

Aku langsung melempar bantalku ke arah Leo dan tentu saja lemparanku itu meleset - tak mengenai adikku, "Bicara denganmu hanya akan membuat otakku kram !"

"Jadi apakah kakak akan makan malam ?" tanya Leo dengan wajah datar.

Aku menepuk dahiku, "Tentu saja jawabannya adalah TIDAK, Leonard !!"

"Baiklah.." ucap Leo dengan nada tak bersalah sembari menutup pintu kamarku.

Aku berjalan ke arah pintu dan mengambil bantalku yang terjatuh di atas lantai, "Dasar Leo ! Mmebuat otakku semakin ber-asap saja !!"

Aku kembali merebahkan diri di atas kasur dan baru saja aku akan memejamkan mata, tiba - tiba saja handphoneku yang terletak di atas meja riasku berdering cukup keras.. Dengan malas aku beranjak dari kasur dan mengambil handphoneku,

Aku melihat jelas bahwa Ivory menelponku,

"Selamat malam, Sekretaris Ivory.. Ada yang bisa saya bantu ?"

"Selamat malam,.. Bisakah saya memesan satu loyang besar pizza jamur dan daging dengan taburan keju mozzarella yang meleleh saat di panggang ?" ujar Ivory.

"Sekretaris Ivory, apa anda ingin di pukul menggunakan loyang pizza ??!" ucapku sebal.

Ivory terbahak puas mendengar ucapanku, "Maafkan saya, Manager Wensy.. Sebenarnya tujuan saya menelpon anda adalah karena saya ingin bertanya, apakah anda sedang mengeluh sekarang ??"

Aku menarik nafas dalam - dalam dan menghembuskannya dengan kasar, "Apakah anda menghubungi saya selarut ini hanya untuk menanyakan hal tidak berfaedah seperti itu ??"

"Wah, Nona Manager.. Sepertinya anda sedang kesal ya ?" ujar Ivory lagi.

"Tepat sekali , Sekretaris Ivory ! Dan rasanya saat ini saya ingin sekali memukul anda dengan loyang pizza !" ucapku kesal.

Lagi - lagi Ivory terbahak puas mendengar celotehanku itu, "Nona Manager.. Apakah anda menjadi sensitif seperti ini karena bekerja tanpa asisten selama 1 bulan ini ?"

"Sekretaris Ivory.. Tanpa bertanya pun, seharusnya anda sangat mengerti betapa menderitanya saya bekerja tanpa bantuan asisten !"

"Sayang sekali, Manager Wensy.. Saya kurang paham bagaimana penderitaan anda saat ini,"

Aku berdecak sebal, " Hei !! Kau menelponku hanya untuk mengejekku , ya ?!"

Ivory terkekeh, "Kau peka juga ya,"

"Ah sudahlah ! Aku ingin tidur sekarang !" ucapku.

"Hei.. Hei.. Aku hanya bercanda," ujar Ivory sambil sesekali masih tertawa, "Dasar Manager manja !" ejek Ivory.

"IVORY !!" protesku.

"Baiklah.. Baiklah.." ucap Ivory sambil terkekeh, "Lucu sekali menggodamu seperti ini.. Benar - benar seperti anak kecil yang sedang marah,"

"Kau ingin ku hajar , ya ?!"

Terdengar Ivory tertawa geli mendengar ucapanku, "Maafkan aku.. Tapi ini menyenangkan dan menjadi hiburan tersendiri untukku,"

Aku mendengus kesal, "Kalau tidak ada hal penting yang ingin kau bicarakan, aku akan mematikan telepon dan tidur sekarang !"

"Aku ada kabar baik !" seru Ivory cepat - cepat sebelumaku mematikan telepon.

"Ada apa ?" tanyaku.

"Aku dengar dari Rayla, besok akan ada wawancara kerja untuk beberapa kandidat asisten manager yang baru," jawab Ivory.

"Rayla ? Siapa dia ?" tanyaku.

"Ketua HRD, bodoh !!" ucap Ivory gemas.

"Ah iya.. Maaf aku lupa.." ucapku tanpa nada bersalah, "Memangnya ada berapa kandidat ?"

"Kalau tidak salah, ada tiga orang," jawab Ivory, "Oh iya.. Sepertinya besok siang kau bisa ikut saat Rayla akan mewancarai para kandidat, kau bisa menilai dan menentukan sendiri calon asisten barumu.."

"Sayang sekali besok aku tidak akan datang ke kantor," ujarku, "Aku rasa Rayla bisa di andalkan untuk menentukan asisten baruku.."

"Loh kenapa ?" tanya Ivory.

"Aku harus pergi untuk bertemu beberapa klien," ujarku, "Kau tahu kan kalau besok direktur memiliki banyak rapat penting,"

"Ah iya, benar.. Aku hampir saja lupa kalau kau yang menggantikan direktur untuk bertemu klien besok," ujar Ivory, "Ya sudah.. Hanya itu yang ingin aku sampaikan,.. Sekarang kau bisa istirahat, maaf ya aku mengganggu waktu istirahatmu,"

"Terimakasih sudah memberitahuku tentang hal ini.." ujarku, "Dan aku sudah terbiasa dengan sikap menyebalkanmu yang satu ini,.. Baiklah, selamat malam.."

Ivory terkekeh, "Selamat tidur anak manja," buru - buru Ivory mematikan teleponnya sebelum aku mulai memarahinya lagi.

~

Aku melangkah keluar dari sebuah restoran seraya melirik jam tangan mungil berwarna peach yang melingkar di tangan kiriku, "Sudah pukul 4 sore.. Hari berlalu dengan cepat rupanya," gumamku.

Aku menatap langit sambil menghela nafas, rasanya cukup melelahkan setelah bertemu dengan beberapa klien hari ini. Mulutku terasa pegal karena harus terus tersenyum saat mengobrol dengan klien.

"Hei ! Hati - hati kalau berjalan !" terdengar suara seorang pria berteriak.

Aku melihat ke sekeliling untuk mencari darimana sumber suara teriakan tersebut, dan akhirnya aku pun menemukannya,

"Maafkan saya,.. Sungguh, maafkan saya.." ucap seorang anak laki - laki dengan seragam sekolah yang sedang membawa sebuah gelas plastik berisi coklat dingin, anak laki - laki itu membungkukkan badannya di hadapan seorang pemuda yang sedang berteriak marah.

"Ini jas yang baru aku beli kemarin, dan sekarang lihat akibat perbuatanmu !" bentak pemuda tersebut dengan marah.

"Maafkan saya.." ucap anak laki - laki tersebut, "Saya benar - benar tidak sengaja melakukannya,"

"Sial !! Kau pikir dengan meminta maaf, jasku akan kembali bersih ?!"

Aku berjalan mendekat ke arah pemuda serta anak laki - laki tersebut,..

Aku tahu.. Tidak baik bila ikut campur dalam urusan orang lain, apalagi orang yang belum ku kenal.. Tapi, rasanya aku merasa kasihan melihat anak laki - laki tersebut dan aku merasa ingin membantunya,

Namun tiba - tiba seseorang menahan tanganku, aku menoleh ke belakang,

"Jhion ?? Kenapa kau ada disini ? " pekikku kaget saat melihat Jhion - sahabat masa kecilku sekaligus tetanggaku ada di belakangku.

"Kau jangan ikut campur.." ujar Jhion yang sepertinya tahu maksud dan tujuanku.

"Tapi,-"

Jhion menatapku dengan wajah serius, "Tunggu di sini, biar aku yang membantu anak laki - laki tersebut.."

"Aku ikut.." ujarku.

"Tidak !" Jhion melarangku, kemudian dia memakaikan topi hitam yang semula dia pakai ke atas kepalaku.

Aku mengerutkan dahiku, "Apa-apaan kau ?" protesku sambil berusaha melepas topi hitam tersebut dari kepalaku.

"Pakai ini dan tunggu aku di sini !" Jhion menahan tanganku dan lagi - lagi dia menatapku dengan serius, "Jangan mendekat ke sana, apa kau mengerti ?"

Aku menatap Jhion aneh, "Ada apa sih ?"

"Aku akan jelaskan nanti," ucapnya sambil menatap manik mataku yang berwarna hazel dengan manik matanya yang berwarna abu - abu.

Aku pun menghela nafas, "Baiklah.. Aku akan menunggumu di sini,"

Jhion mengusap kepalaku dengan lembut, "Aku akan segera kembali.."

Aku hanya mengangguk dan setelah itu Jhion pergi menemui pemuda yang masih terdengar marah karena perkara jas barunya yang kotor karena anak laki - laki yang tak sengaja menabraknya dan menumpahkan coklat dingin ke atas jasnya.

Aku bersandar pada sebuah dinding sambil memperhatikan Jhion yang berusaha berbicara dengan baik kepada pemuda tersebut, sedangkan anak laki - laki tersebut tampaknya sedikit lega karena ada Jhion yang membantunya,

"Minggir kau ! Tak perlu ikut campur !" teriak pemuda tersebut pada Jhion.

"Tenanglah dahulu," ucap Jhion dengan nada tenang, "Saya hanya ingin membantu.. Mungkin saya bisa membayar biaya laundry untuk jas anda ?"

Pemuda itu tertawa sinis, "Memangnya kau kakaknya ? Atau kau ayahnya ?"

Jhion tetap terlihat tenang, "Saya memang tidak mengenal anak ini, tapi saya hanya ingin membantunya karena dia terlihat butuh bantuan dari orang yang lebih dewasa.."

"Cih ! Apa kau pikir dengan mencucinya di laundry akan membuat jas ini bersih kembali ?! Ini akan meninggalkan noda, apa kau tahu itu ?!" teriak pemuda itu.

Jhion menatap pemuda itu, "Lalu apa yang anda inginkan ?"

Pemuda itu tersenyum licik, "Kau harus mengganti jas ini.. Apa kau tahu berapa harga jas ini ?"

"Berapa harga jas anda ?" tanya Jhion.

"20.000 euro !" ucap pemuda tersebut.

"A-pa ?!" pekik anak laki - laki tersebut dengan wajah pucat, "Bagaimana ini ? Aku tak punya uang sebanyak itu,"

Jhion memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya, "Saya rasa, anda terlalu berlebihan.."

"Apa kau bilang ?!" teriak pemuda tersebut.

"Jas itu.." Jhion menunjuk jas yang di pakai pemuda itu dengan wajah tenang, "Harganya hanya sekitar 175 euro , bukan ?"

"A-apa ?!"

"Anda berbohong.." ucap Jhion, "Jas itu harganya hanya 175 euro, tapi anda melebih-lebihkan harganya menjadi 20.000 euro."

Pemuda itu tampak kesal pada Jhion, dia mencengkram kerah baju Jhion, "Kau ingin bermain - main denganku ya ?!"

Jhion masih tampak tenang, "Sekali lagi saya katakan, saya hanya ingin membantu.."

"Kau ingin membantu kan ? Makanya berikan saja 20.000 euro padaku, dan setelah itu enyahlah dari sini !" teriak pemuda itu.

Jhion tampak menghela nafas, "Saya tahu bahwa harga jas yang anda pakai saat ini tidak sampai 20.000 euro.. Apa anda berusaha untuk memeras saya ?"

BUAGH !! Tiba - tiba saja wajah Jhion di pukul oleh pemuda itu sampai Jhion terjatuh,

"JHION !!!" teriakku seraya berlari ke arah Jhion.

Anak laki - laki yang ada di dekat Jhion pun langsung berusaha membantu Jhion untuk berdiri, Aku mengeluarkan sapu tangan dari dalam tasku,

"H-hidungmu.." ucapku sambil menyeka darah yang mengalir dari hidung Jhion.

"Kenapa kau ke sini ? Aku kan sudah bilang tunggu di sana," ucap Jhion.

Aku menatap kesal kepada Jhion, "Kau pikir aku akan diam saja saat melihat temanku di pukul oleh orang lain ?!"

Kemudian tanpa mempedulikan jawaban dari Jhion lagi, aku berbalik dan menatap pemuda yang memukul Jhion, "Apa yang anda lakukan ?! Kenapa memukul teman saya ?!"

Pemuda itu tampak kesal, dia menatapku tajam, tapi sedetik kemudian wajahnya berubah terkejut, "Wensy ??"

Aku sedikit terkejut mendengar pemuda itu memanggil namaku, bagaimana dia bisa tahu tentang namaku ?

Belum sempat aku bertanya pada pemuda itu, Jhion langsung menarikku ke belakang tubuhnya dan dia menatap pemuda itu dengan tatapan tajam, "Saya akan membayar 200 euro pada anda, seharusnya itu cukup untuk membeli jas yang serupa.."

"Bagaimana kau bisa tahu bahwa harga jasku ini hanya 175 euro ?" tanya pemuda itu.

"Anda tak perlu tahu darimana saya mengetahui hal tersebut.." ujar Jhion, "Yang terpenting adalah, apakah ucapan saya benar ?"

Pemuda itu tampak bergumam kesal, "Ya ! Kau benar !"

Jhion tersenyum penuh kemenangan, kemudian dia mengeluarkan 200 euro dari dalam dompetnya, "Sesuai yang saya janjikan.. Jadi urusan anda dengan saya dan anak laki - laki ini sudah selesai,"

Pemuda itu menerima uang tersebut dari tangan Jhion, kemudian dia menatap Jhion, "Gadis yang ada di belakangmu itu, apakah dia adalah,-"

"Dia pacar saya," Jhion memotong ucapan pemuda itu dengan nada dingin, "Jadi saya harap anda tidak penasaran tentangnya.."

"Hee ?!!! Pacar ?!!" batinku tak percaya saat mendengar ucapan Jhion.

Pemuda itu tampak diam sejenak kemudian dia pun hanya mengangguk dan langsung pergi meninggalkan kami.

Begitu pemuda itu pergi, Jhion langsung berbalik menatapku dan juga anak laki - laki yang sedang bersama kami,

"Kak, terimakasih untuk bantuan kakak.." ucap anak laki - laki tersebut sambil membungkukkan badannya.

"Berterimakasihlah padanya," ujar Jhion sambil menunjukku, "Karena dialah yang ingin membantumu, sedangkan aku hanya berusaha membantunya,"

Anak laki - laki itu membungkukkan badannya di hadapanku, "Terimakasih kak.. Terimakasih banyak, saya pasti akan membayar 200 euro itu kembali,"

"Jangan cemaskan tentang hal itu.. Kau tak perlu menggantinya," ucap Jhion.

"Yang terpenting semuanya sudah selesai dengan baik.." ujarku sambil menepuk bahu anak laki - laki tersebut, "Oh iya, boleh kami tahu namamu ?"

"Ah iya.. Nama saya Oslart," ucap anak laki -laki tersebut.

"Oh nama yang bagus," ucapku sambil tersenyum, "Namaku Wensy dan dia Jhion,"

Oslart tersenyum, "Senang bertemu dengan Kak Jhion dan Kak Wensy,"

"Aku juga senang bertemu denganmu," ucapku.

"Kau mau pulang ?" tanya Jhion pada Oslart.

"Ah tidak, kak.. Saya ingin pergi ke perpustakaan," jawab Oslart.

"Oh begitu," ujar Jhion, "Kalau begitu kau mau pergi sekarang ?"

Oslart menganggukkan kepalanya, "Terimakasih untuk bantuannya tadi, kak.."

"Kalau bertemu kita lagi, jangan lupa menyapa ya.." ujarku.

"Tentu kak.." Oslart tersenyum, "Kalau begitu saya permisi, kak.. Sampai bertemu lagi,"

Aku dan Jhion menganggukkan kepala, "Baiklah.. Hati - hati di jalan, ya. Sampai jumpa !"

Oslart melambaikan tangannya padaku dan Jhion, kemudian dia pun berjalan meninggalkan kami berdua.

Aku melirik Jhion yang berdiri di sebelahku, "Apa sekarang kau bisa menjelaskan alasanmu bersikap seperti tadi ?"

Jhion memasukkan tangan kanannya di saku celananya, sedangkan tangan kirinya meraih pergelangan tanganku, "Ayo ikut aku,"

"Mau kemana ?" tanyaku bingung.

"Ke tempat yang bisa membuatmu tenang," ujar Jhion.

Aku mengerutkan dahiku, "Apa maksudmu ?"

"Kau akan tahu nanti,"

Tanpa banyak bicara lagi, aku hanya mengikuti Jhion yang menarikku ke arah mobil hitamnya.

Jhion membukakan pintu mobilnya untukku dan aku pun masuk ke dalam mobil, kemudian Jhion pun masuk ke dalam mobil serta duduk di bangku kemudi.

"Pakai sabuk pengamanmu," ujar Jhion sambil menyalakan mesin mobilnya.

"Sudah kok.." jawabku.

Jhion melirik sekilas ke arah ku, "Baiklah, kita berangkat sekarang," ujar Jhion sambil menjalankan mobilnya.

~

Setelah setangah jam perjalanan, akhirnya Jhion menghentikkan mobilnya, "Kita sudah sampai," ujarnya.

Aku masih terlihat bingung, "Kita dimana ?"

Jhion tersenyum tipis padaku, "Kau akan segera tahu,.. Ayo kita turun,"

Aku melepas sabuk pengamanku, dan segera turun dari mobil.

"Udaranya dingin," Jhion mengenakan sebuah syal berwarna peach di leherku.

Aku melirik syal peach yang melingkar di leherku, "Kau membuatnya sendiri, ya ?"

Jhion tak menjawab pertanyaanku, dia malah menarik tangan kiriku dan menggenggamnya erat, "Tanganmu dingin," ucap Jhion seraya memasukkan tangan kiriku ke dalam saku mantelnya.

"Hei.. Aku bertanya padamu," ujarku sambil melirik Jhion, "Kau membuat syal ini sendiri, ya ?"

"Coba pejamkan matamu," ujar Jhion, lagi - lagi dia tak menjawab pertanyaanku.

Aku berdecak sebal, "Kau mengalihkan pembicaraan, ya ? Kenapa aku harus memejamkan mataku ?" aku mengerutkan dahi.

"Sudah.. Lakukan saja," ujar Jhion.

Aku melirik Jhion curiga, "Kau tidak akan mengerjaiku kan ?"

Jhion melirikku, "Kau tak percaya padaku ?"

Aku berdecak dan memejamkan mataku, "Baiklah.. Baiklah.."

"Jangan membuka mata sampai aku menyuruhmu," ujar Jhion sambil menuntun langkahku.

Aku menganggukkan kepalaku sambil menghintung langkahku dalam hati.

Satu..

Dua..

Tiga..

Empat..

Lima..

Enam..

Tujuh..

Delapan..

Sembilan..

"Hei, Jhion.. Kapan aku bisa membuka mataku ?" protesku.

"Sebentar lagi.." jawab Jhion.

"Oh ayolah.. Kenapa lama sekali ?" tanyaku.

"Hitunglah satu sampai lima," ujar Jhion.

Aku menuruti perkataan Jhion, "Satu.. Dua.. Tiga.. Empat.. Lima..,"

"Nah sekarang, buka matamu.." ujar Jhion.

Aku membuka mataku perlahan, dan seketika aku langsung berdecak kagum, "Wahh !! Aku tak percaya ini.. Indah sekali ! Bagaimana kau bisa menemukan tempat ini ?"

Jhion tersenyum tipis melihat reaksiku, "Kau menyukainya ?"

"Tentu saja !" ucapku bersemangat, "Taman bunga yang indah sekali.. Padahal langit sudah mulai gelap, tapi lampu - lampu taman ini mampu menerangi tempat ini dengan baik."

"Taman bunga ini adalah milikku.." ujar Jhion, "Aku yang membuat taman ini,"

Aku menoleh ke arah Jhion, sedetik kemudian aku menyemburkan tawaku, "Seorang Jhion yang terkenal tidak menyukai bunga, melakukan hal ini ?? Kau pikir aku akan percaya ucapanmu itu ?" ejekku pada Jhion.

Jhion menatapku dengan wajah serius, "Kau tak percaya padaku ?"

Aku menatap Jhion bingung, "Emm.. Jadi kau serius dengan ucapanmu itu ?"

"Aku membeli tanah ini sekitar 5 bulan yang lalu," ujar Jhion.

"Untuk apa kau membelinya ? Untuk membuat taman ini ?" tanyaku.

Jhion menggelengkan kepalanya, "Awalnya aku ingin membangun sebuah villa, tapi kemudian aku berubah pikiran,"

"Bukankah villa lebih bagus daripada hanya sekedar taman bunga ?" tanyaku lagi.

"Karena aku tahu kau akan menyukainya," ujar Jhion.

Aku terdiam sejenak, aku tak mengerti kenapa hanya karena aku seorang, Jhion sampai mau membuat sebuah taman bunga,

Jhion menarikku untuk duduk di sebuah bangku putih yang ada di taman, aku menurut saja dan duduk di sebelah kanan Jhion,

Aku melihat sekeliling taman, beberapa bunga dan daun terlihat berguguran karena sebentar lagi akan memasuki musim gugur, tapi taman ini tetap terlihat cantik,

"Aku ingin kau tersenyum, Wensy.." ujar Jhion kemudian setelah 5 menit kami saling terdiam.

Aku menoleh ke arah Jhion, "Aku selalu tersenyum kok,"

"Bukan senyum yang di paksakan atau sekedar untuk terlihat ramah," ujar Jhion, "Aku ingin kau tersenyum karena bahagia,"

Aku terdiam sambil tetap menatap Jhion, apakah selama ini aku tidak terlihat bahagia ?

Jhion menatap langit, "Hari ini, alasan mengapa aku melarangmu untuk membantu Oslart adalah karena aku tidak mau kau terluka lagi.."

"Maksudmu ?" tanyaku bingung.

"Apa kau tidak mengenali pemuda tadi ?" tanya Jhion.

"Maksudmu pemuda yang meminta ganti rugi tentang jasnya yang kotor pada Oslart dan berusaha memerasmu ?" tanyaku.

Jhion mengangukkan kepalanya,

"Entahlah.. Sepertinya aku tak mengenalnya.." jawabku, "Tapi sejujurnya aku sedikit penasaran siapa pemuda itu karena sepertinya dia mengenalku,"

Jhion tampak berpikir sejenak, kemudian dia kembali menatapku, "Apakah kau ingin tahu siapa dia ? Atau haruskah aku diam saja dan tidak perlu memberitahumu ?"

"Lebih baik kau memberitahuku siapa pemuda itu," ujarku.

"Pemuda itu adalah Rheihan," ujar Jhion.

Aku mengerutkan dahiku, "Aku tak pernah mendengar nama itu sebelumnya,"

"Dia melakukan operasi plastik dan Rheihan bukanlah nama aslinya karena dia mengganti identitasnya," ucap Jhion.

"A-pa ?" tanyaku tak percaya, "Lalu siapa nama aslinya ?"

Jhion menarik nafas dalam - dalam dan mengehembuskannya perlahan, "Uvian Athan.. Orang yang sudah menyakitimu 3 tahun yang lalu,"

Aku langsung membelakkan mataku dan menatap Jhion dengan wajah tak percaya, "K-kau bilang siapa ?"

"Uvian Athan.." ujar Jhion, "Aku tahu kau pasti tidak akan percaya mendengar hal ini, tapi dia benar - benar Athan.."

"T-tak mungkin.. Ba-bagaimana kau bisa tahu tentang hal ini ?" tanyaku.

"Selama ini aku, George, Ivory, Viola, dan Leila selalu mencarinya," ujar Jhion, "Setelah apa yang dia lakukan padamu, kau pikir kami akan diam saja ? Kami selalu berusaha untuk melihat pergerakkannya, tapi tak ku sangka dia malah datang ke sini,"

Aku memegang dadaku, rasanya sesak sekali ! Nafasku mulai tidak beraturan, "J-Jhion.. A-aku butuh,-"

Belum sempat aku menyelesaikan kata - kataku, Jhion sudah berlari terlebih dahulu ke mobilnya, dan dengan cepat Jhion berlari kembali kepadaku sambil membawa tasku serta sebotol air mineral di tangan kanannya,

Jhion merogoh tasku dan mengeluarkan sebuah tempat mungil berwarna coklat, kemudian Jhion mengambil sebuah pil berwarna putih dari tempat mungil tersebut,

"I-ini obatmu.." Jhion menyodorkan pil tersebut padaku, dengan tangan gemetar aku menerimanya dan langsung memasukkan pil tersebut ke dalam mulutku,

Jhion membuka tutup botol air mineral tersebut dan memberikannya padaku, tanpa bicara apapun aku langsung meneguk habis air yang ada di dalam botol tersebut.

Jhion berlutut di hadapanku dengan wajah bersalah,

Aku menatap Jhion dengan mata berkaca - kaca dan berusaha mengatur nafasku, "K-kenapa manusia itu ada di sini, Jhion ? Aku.. Aku tak ingin bertemu dengannya lagi,"

Jhion langsung beranjak berdiri dan duduk di sebelahku, dia memelukku sambil menepuk - nepuk pelan punggungku,

"Aku takut," bisikku seraya membenamkan wajahku di bahu Jhion, sekujur tubuhku rasanya bergetar hebat.

Jhion memelukku semakin erat, "Kali ini aku akan pastikan Athan akan membayar semua kesalahannya padamu, aku berjanji padamu,.."

Aku mencengkram mantel Jhion dengan tangan kananku, "Kumohon.. Tetaplah seperti ini sebentar lagi," bisikku.

Jhion menganggukkan kepalanya, "Maafkan aku, Wensy.."

"Kenapa kau meminta maaf ?" tanyaku sambil tetap membenamkan wajahku di bahu Jhion.

"Karena aku memberitahumu tentang hal ini, dan aku membuatmu teringat dengan rasa sakitmu di masa lalu," ujar Jhion dengan nada bersalah.

"Ini bukan salahmu," ujarku pelan setelah aku merasa lebih tenang dari sebelumnya, "Lebih baik kau memberitahuku supaya aku bisa lebih berhati - hati dan waspada,"

Jhion mengusap rambutku dengan lembut, "Tetap saja, aku merasa bersalah karena serangan panikmu kambuh.."

Belum sempat aku berkomentar lagi, tiba - tiba handphoneku berdering keras, aku cepat - cepat melepaskan pelukanku dengan Jhion,

Aku mengambil handphoneku yang ada di dalam tasku, dan terlihat jelas bahwa Kak Sion - kakakku, menelponku,

"Halo ?" sapaku.

"Wensy, kau ada dimana ? Apa kau ada di kantor ? Oh maaf, kakak lupa.. Apa kau masih di restoran bersama dengan klien ? Kenapa tak memberi kabar ? Apa kau baik - baik saja ?" Kak Sion langsung menghujaniku dengan banyak pertanyaan.

Aku meringis mendengar pertanyaan - pertanyaan dari Kak Sion, "Pertanyaan kakak banyak sekali.. Tenanglah kak, aku baik - baik saja.."

"Maaf.. Kakak cemas karena kau tidak memberi kabar.. Ada dimana kau sekarang ?" tanya Kak Sion, "Kakak dalam perjalanan pulang dari kantor.. Kakak akan menjemputmu,"

"Tidak perlu, kak.. Aku akan pulang bersama Jhion," ujarku.

"Oh benarkah ?" tanya Kak Sion.

"Iya..Sebentar lagi kami akan pulang.." jawabku, "Tadi aku dan Jhion mampir dulu ke tempat lain untuk menghirup udara segar,"

"Baiklah kalau begitu," ujar Kak Sion, "Hubungi kakak jika terjadi sesuatu,"

"Iya, Kak.." ujarku.

Setelah Kak Sion memutuskan sambungan teleponnya denganku, aku pun memasukkan kembali handphoneku ke dalam tasku,

"Sepertinya kita harus pulang sekarang," ujar Jhion.

Aku menganggukkan kepalaku sambil beranjak berdiri,

"Kau sudah lebih tenang ?" tanya Jhion.

"Iya.. Aku sudah baik - baik saja," ujarku.

Jhion merapikan syal peach yang melingkar di leherku, kemudian dia menggosok - gosokkan tangannya di kedua tanganku, "Seharusnya kau mulai memakai sarung tangan.."

"Tidak terlalu dingin kok.." ujarku.

Jhion berdecak sedikit, "Lihatlah ! Tanganmu sedingin es.."

Aku tertawa pelan, "Sudahlah.. Ayo kita pulang,"

Jhion menggenggam tanganku dan memasukkannya ke dalam saku mantelnya, kemudian kami berdua berjalan menuju mobil Jhion,

Setelah kami berdua berada di dalam mobil, Jhion memberikan sebuah paperbag mungil padaku, "Ini untukmu,"

Aku menerima paperbag itu dengan bingung, "Apa ini ?" tanyaku sambil mengintip ke dalam paperbag tersebut, aku mengeluarkan sesuatu dari dalam paperbag, dan sedetik kemudian aku tersenyum lebar, "Hei, Jhion.. Kau juga merajut sarung tangan untukku ?"

Jhion berdeham sedikit, "Kau tidak suka ?"

"Aku suka !" jawabku, "Benarkan kau yang membuat syal dan sarung tangan ini ?"

Jhion tak menjawabku dan dia langsung menyalakan mesin mobilnya,

"Cih.. Lagi - lagi kau tidak menjawab pertanyaanku, ya ?" ucapku kesal.

Jhion masih diam saja sambil menjalankan mobilnya meninggalkan taman,

Aku melirik Jhion yang benar - benar tak mau menjawabku, "Eh, tapi aku penasaran.. Kenapa kau bisa menemuiku di dekat restoran tadi ? Maksudku, darimana kau tahu bahwa aku tidak pergi ke kantor hari ini ? Seingatku, aku tidak memberitahumu.."

"Aku mengikutimu sejak pagi," ujar Jhion, "Ivory juga menyuruhku untuk mengikutimu,"

"Apa karena kalian tahu tentang Athan ?" tanyaku pelan.

Jhion mengangguk, "Begitulah.. Kami takut kau akan bertemu dengan Athan,.. Makanya mulai sekarang, kau harus memberitahu keluargamu atau aku serta Ivory ketika kau akan pergi ke suatu tempat.. Paling tidak, aku akan berusaha untuk selalu berada di dekatmu,"

"Hmm.. Baiklah," ujarku, kemudian aku melirik Jhion lagi, "Nah sekarang jawab pertanyaanku.. Kau kan yang merajut syal dan sarung tangan ini ?"

Jhion menoleh ke arah ku sebentar, kemudian dia kembali memperhatikan jalan, "Kau tidak pernah menyerah ya.."

"Ayolah.. Jawab pertanyaanku," ucapku gemas.

"Iya, aku yang merajutnya," ujar Jhion pelan.

"Apa ? Aku tidak mendengarmu.."

"Aku yang merajut syal dan sarung tangan itu," ujar Jhion dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.

"Apa ? Coba katakan lebih keras.." ujarku sambil mengulum senyum.

"Duh !!" Jhion melirikku kesal, "Aku yang merajut syal dan sarung tangan itu untukmu !"

Aku terkekeh sambil tersenyum senang, "Nah.. Sekarang aku bisa mendengarnya dengan jelas,"

"Kau sengaja ya ?" Jhion tampak kesal.

"Salahmu sendiri karena tidak mau menjawab pertanyaanku sedari tadi," ujarku.

Jhion mengusap wajahnya, "Ya..Ya..Ya.. Kau menang,.. Apa kau puas sekarang ?"

Aku terbahak, "Sangat puas !!"

~

To Be Continued ...