"Gara-gara lo, nih! Si duo psiko nggak ngubungin gue lagi, kan! Mana pakai private number pula, ck!" gerutu Verlyn yang masih bisa terdengar olehku. Bukan maksudku menyusahkannya, tapi aku takut jika Verlyn mengetahui semuanya. Aku takut dia akan semakin kesal padaku bahkan membenciku. Dan, bakal buat aku semakin susah juga mengingatkan dia saat ketika dalam wujud roh.
"Ya, sudah, Ver. Ini kan sudah malam. Gimana kalau---"
"Nggak! Gue mau cari adik gue sekarang!" seru Verlyn sembari beranjak keluar rumahku.
"Kamu mau cari adik kamu ke mana, Ver? Emang keburu kalau jalan kaki?" tanyaku yang sudah ada di belakangnya. Aku segera meraih tangannya untuk menarik masuk ke dalam mobilku. Aku akan membantunya, tidak akan aku biarkan ia pergi sendirian.
"Aku bakal bantu kamu. Sekarang kita ke mana?" tanyaku saat mobil kami sudah cukup jauh dari rumahku. Kulihat wajah Verlyn diantara dua ekspresi seperti kesal dan sedih.
"Kita ke jalan waktu gue ketemu sama lo tadi siang!"
"Okey!"
Jalanan pada malam hari ini begitu ramai, tidak seperti siang hari tadi yang begitu lengang. Mungkin kalau mau balapan liar bisa saja. Sekarang jalanan mulai sesak dengan pedagang-pedagang yang membuka lapak jualan mereka di pinggir-pinggir jalan. Ini bukan pasar kaget, tapi memang seperti ini adanya rutinitas pada malam hari.
"Di simpang tiga sana belok kanan!" perintah Verlyn sambil menunjuk ke depan di mana semua kendaraan hanya lalu-lalang dengan satu jalur, tidak ada yang berbelok ke kanan.
"Kamu yakin mereka di sini, Ver?" tanyaku setelah kami berbelok ke kanan sesuai petunjuk Verlyn. Kulihat ini bukan tempat pemukiman, tapi tempat bekas pabrik atau gedung-gedung yang sudah lama ditinggalkan akibat kebakaran besar beberapa tahun silam ----kata orang. Luasnya hampir seluas satu komplek perumahan. Besar dan luas, tapi sayang suasananya begitu angker. Bulu kudukku selalu berdiri kala melihat bangunan-bangunan yang tampak seperti rumah hantu itu. Sekilas aku melihat ada yang berkelebat namun aku tidak ingin membuat diriku takut dan hanya mengabaikannya saja.
"Kita berhenti di sana!" perintah Verlyn lagi, "aku yakin mereka di sini karena tadi siang aku sempat melihat mereka berbelok membawa Riyal ke sini,"
Prak! Suara orang menginjak botol plastik.
"Aku yakin itu salah satu dari mereka! Ayo, cepat turun! Kita harus selesaikan ini semua,"
Meskipun aku pernah bisa melihat Verlyn dalam wujud roh. Tapi, aku merasa aku bukan indigo yang dapat melihat semua makhluk astral--- yang pasti ada di sekitar sini. Waktu itu semua terjadi karena kehendak-Nya.
Aku mengikuti Verlyn yang lebih dulu berjalan menaiki tangga luar di dinding bangunan. Kurasa tangga besi itu masih cukup kuat untuk menampung berat badanku dan tubuhnya. Sesampainya di atas ---satu lantai sebelum rooftop---aku melihat sesuatu di atas rooftop (lewat plafon yang bolong) mirip seperti baling-baling, entah apa itu bendanya karena aku melihatnya samar-samar.
"Huuuuu... lepasin Riyal, Kak! Riyal takut... huuuuu...."
"BISA DIAM NGGAK!!! LO MAU GUE LEPAS SEKARANG, HAH! SIAP LO MATI KONYOL DI BAWAH SANA?!"
"LEPASKAN RIYAL!" teriak Verlyn sesaat kami melihat tubuh kecil Riyal di gantung terbalik di sisi luar gedung lewat jendela. Tali itu menyangkut di sebuah mesin untuk menahan tubuh Riyal. Astaga, ini sangat bahaya sekali sekaligus mengerikan.
"Ow! Ow! Pahlawan kemalaman kita datang, Ter!"
"Wah! Kayaknya malam ini kita bakal senang-senang, nih!"
"Terserah kalian mau ngomong apa, sekarang juga aku minta lepaskan Riyal!!!"
Sembari Verlyn adu bacot dengan duo psiko itu, aku berjalan dengan perlahan untuk mendekati posisi Riyal.
"Ah!" tiba-tiba perutku dipukul tiba-tiba oleh seseorang.
"Ternyata anak si pembunuh pengkhianat ini ikut-ikutan juga. Lo mau gue gantung juga, hah?" seru seseorang yang kuduga pasti itu adalah Terrena, "kayaknya kalau lo digantung dengan jerat di leher bakal lebih seru kali--- osh!" ucapnya tertahan saat aku mencoba menendang tangannya yang meraih tali tambang.
"Brengsek! Gue cincang lo, ya!!" Sial, apa semua orang yang menderita psiko selalu menggunakan senjata untuk menyiksa korbannya?
_____________
Mereka berempat kini terlibat baku hantam, saling menyerang, melawan dan menghindar. Senjata yang mereka gunakan kelewat ekstrem, khilaf sebentar nyawa taruhannya. Azzar berkali-kali melayangkan dua botol kaca pecah ke perut Verlyn, dengan sigap Verlyn yang tidak memiliki senjata itu meloncat-loncat kesana-kemari. Hal itu membuat Azzar semakin murka, wajah imutnya kini tertutupi dengan aura ibl*s yang seperti merasukinya. Tak berhasil menyerang membuatnya berganti melempari Verlyn dengan pecahan-pecahan botol kaca itu. Verlyn hampir kewalahan untuk menghindar, tapi ia harus berhasil melumpuhkan kesadisan Azzar. Jika tidak, Azzar akan terus melukai orang-orang yang berhubungan dengan Verlyn. Napasnya memburu dengan mata yang tajam terus melempari botol itu tanpa ampun, tak sadar tangannya sendiri berdarah terkena botol yang dipegangnya. Sementara Verlyn sudah kehabisan napas demi seakan menghindar dari kejaran maut.
Di sisi lain, Terrena yang siap untuk memenggal apa saja yang ada di hadapannya, kini sudah berkali-kali menyerang Zarrel. Tapi, ada saja benda yang dapat dilempar Zarrel ke gergaji mesin yang dibawa Terrena untuk melindungi kepalanya. Sampai pada akhirnya tak ada lagi benda yang dapat melindunginya, Zarrel berlari untuk menghindari gergaji yang diayun-ayunkan Terrena sembarangan. Keringat membanjiri tubuh dan wajahnya, jantungnya meronta-ronta saking takutnya disertai tubuhnya yang terus menggigil.
Bug!
Zarrel berada di jalan buntu yang mana sisi kiri kanannya di apit dengan dinding begitupun yang ada di depannya, ia tak dapat melepaskan diri lagi. Sementara itu raungan gergaji mesin Terrena sudah semakin dekat di belakangnya.
"Hahaha, lo akan mati! Hahaha! Mati lo! Hahaha!"
"Ya Allah, hanya padamu hamba berlindung,"
Crash!
...