webnovel

Terungkap

Kenyataan bahwa dirinya hanya anak adopsi, cukup melukai hati pemuda itu. Apalagi Randu tidak tahu menahu perihal ibunya selama ini.

Siapa orang tua angkatnya saat ini? Hal apa saja yang mereka sembunyikan? Randu ingin sekali bertanya banyak hal.

Tentang mengapa ibunya ada dalam daftar personil elite Lost. Tentang mengapa ibunya menyembunyikan identitas aslinya. Dan, apa yang ibunya lakukan selama ini.

Tapi, Randu harus menahan diri untuk tetap berpura-pura tidak tahu. Barangkali selama ini sang ayah pun juga tidak tahu menahu tentang Riana.

Randu tidak ingin merusak hubungan kedua orang tuanya yang harmonis.

Randu berjalan menuruni tangga menuju ruang makan. Seperti biasa, sarapan bersama sebelum melakukan aktivitas di luar adalah hal yang wajib dilakukan.

Sejujurnya, untuk hari ini Randu ingin menghindari moment ini. Randu tidak ingin ditanya ini dan itu. Dia sedang tidak ingin bicara. Terutama, Randu ingin menghindari ibunya.

Otaknya masih memproses semua hal yang baru-baru ini dia temukan. Juga hal-hal yang terjadi secara tidak berduga belakangan ini.

Jadi, demi menghindari bersitatap dengan ibunya, Randu memutuskan untuk duduk di samping Riana.

Sadar Randu tidak duduk di tempat biasanya. Riana menatap putra semata wayangnya dengan pandangan heran.

"Tumben duduk di sini, biasanya duduk di sebrang." Komentar Riana.

Randu tersenyum sumir, dalam hatinya berkata, "Mana mungkin aku sanggup melihat wajah ibu setelah apa yang aku lihat."

"Gak papa, pengen di sini aja." Jawab pemuda itu dengan nada lembut.

Riana hanya mengangguk, lalu mereka makan dalam hening. Tidak biasanya meja makan ini terasa begitu dingin. Tak ada lagi pembicaraan. Sesekali Randu akan mencuri pandang pada ibunya.

Mengamati wajah cantik tanpa kerutan itu dari samping. Namun, hari ini, wajah itu terlihat lelah, ada garis hitam di bawah matanya, pipi yang menjadi lebih tirus dari sebelumnya.

Juga mata yang biasanya berseri-seri, bersinar begitu cerah, hari ini terlihat sayu.

Randu tahu, bahwa Riana sedang mencari dirinya. Penyusup yang mencuri berkas penting di gedungnya.

Riana dan rekan-rekannya pasti sedang melacak jejak Randu.

Dalam heningnya meja makan, Randu menunduk. Hatinya berdesir dan membatin.

"Maaf, bu. Karena untuk saat ini aku memilih untuk tidak percaya pada ibu. Seandainya nanti aku mengetahui lebih jauh tentang ibu, dan menemukan hal yang tidak bisa kutoleransi. Maaf, jika aku memutuskan untuk tidak memaafkan ibu. Atau mungkin, pergi jauh dari ibu." Batinnya. Seraya menatap lekat wajah Riana. Wajah lembut yang mungkin suatu saat akan selalu Randu rindukan.

"Oh, sudah waktunya berangkat." Gean menilik jam tangannya, menemukan waktu sudah menunjukkan pukul 7 lebih.

Pria itu bangkit berdiri, mengambil jasnya, lantas menenggak susu miliknya hingga tandas. Sedangkan, Riana membawakan tas Gean.

Randu ikut berdiri, menyampirkan tasnya di bahu kanan, memakai sepatunya asal.

"Randu gak mau bareng Ayah?" Tawar Gean.

Pemuda itu menggeleng, "Tujuan Ayah sama Randu gak searah. Jarak ke kantor Ayah bisa dua kali lipat lebih kalau Ayah anter Randu dulu. Randu cuman gak mau ngerepotin, biar Randu bawa motor sendiri."

Gean tersenyum menghela, "Yasudah," pria itu menepuk bahu putranya sekali, "hati-hati, ya?"

Gean berbalik, mengecup pelan kening Riana, yang diikuti Randu menyalami wanita itu.

"Hati-hati di jalan!" Peringat Riana, yang hanya dibalas sebuah anggukan.

Randu bergegas menuju garasi, di mana motor ninja hitam kesayangannya terparkir di sana.

Tepat saat Randu akan memasangkan helm, ponselnya bergetar. Ada sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.

Begitu membaca isinya, raut wajah pemuda itu berubah kusut, keningnya mengerut, dengan sudut bibir yang berkedut.

Pandangan matanya menajam, dengan tangan yang meremat ponselnya kuat.

"Mengapa misteri ini tidak ada akhirnya?!" Gerutu pemuda itu kesal.

~~~~~

Ada banyak variabel tak terduga di dunia ini. Salah satunya adalah penyusupan dua pemuda di markas Riana tempo lalu.

Sudah 3 hari sejak berkas itu dicuri, jejak kedua pemuda itu sama sekali tidak terlacak.

Paul terus memberikan arahan, mencoba segala cara demi mendapatkan berkas itu kembali.

Semua anggota sudah berpencar, menyusuri kota, menanyai orang-orang, meretas cctv terdekat. Namun, nihil. Hingga saat ini mereka tidak memiliki petunjuk apa pun.

Belum lagi situasi markas yang berantakan. Karena Riana yang selalu datang membawa amarah. Membuat markas yang sudah suram menjadi lebih suram.

Wanita itu tidak sabar, karena berkas itu sangat penting baginya. Berkas itu bagai penyelamat hidupnya. Sesuatu..., yang bisa menghancurkan Lost kapan saja.

Meski harus mencari hingga ujung dunia, Riana tidak akan ragu untuk melakukannya.

Dan karena beberapa hari belakangan ini, Paul harus merelakan jam tidurnya. Seperti saat ini, waktu sudah menunjukkan pukul 2 pagi, tapi Paul hanya duduk termenung di tepi ranjang, sesekali menghela napas panjang.

Teman sekamarnya, Ethan, hanya menatapnya dengan pandangan sayu.

"Sungguh tidak ada jejak?" Tanya Ethan.

Paul menggeleng lemah.

"Hah..., habislah kita." Keluhnya.

Kringgg

Ponsel Paul berdering, tanpa melihat siapa si penelpon, Paul menjawabnya tanpa ragu.

"Halo."

'Paul, aku menemukan mereka!' Raiden berseru nyaring di sebrang telpon.

Paul berdiri tiba-tiba, membuat Ethan yang baru saja menyalakan komputernya berjengit, "Sungguh?!" Serunya.

'Ya, mereka tertangkap cctv sebuah toko, akan kukirimkan beberapa foto padamu. Minta Ethan untuk mengindetifikasi karena kualitas fotonya buruk.' Raiden menutup telpon.

Drrttt drrtt

Ada 3 pesan masuk dari Raiden, berisi foto-foto yang menunjukkan dua pemuda yang mereka cari.

Paul segera menyambungkan ponselnya dengan komputer milik Ethan.

"Identifikasi ketiga foto itu!" Perintah Paul yang segera diangguki oleh Ethan.

Pria bersurai legam itu dengan cekatan mengotak-atik komputernya. Matanya begitu fokus tak teralihkan.

Hanya dalam beberapa menit Ethan berhasil melakukan apa yang diperintahkan. Dia berhasil mengidentifikasi dua pemuda dalam foto tersebut.

Identitas mereka terpampang jelas di layar. Menampilkan nama, tempat tanggal lahir, alamat rumah, sekolah, dan biodata lainnya.

Mata Paul memicing, barangkali dirinya salah lihat. Tapi, berapa kali pun Paul memastikan, penglihatannya tidak salah.

"Kau tidak salah mengidentifikasi, Ethan?" Tanya Paul memastikan.

"Tentu saja tidak!"

"Kau yakin identitasnya benar?" tanya Paul sekali lagi.

"Apa kau pernah melihatku gagal dalam hal-hal seperti ini?" Jawab Ethan sedikit sarkas.

"Oh, sial! Bagaimana mungkin?" Gerutu Paul.

"Kau mengenalnya?"

Paul tidak langsung menjawab, pria itu memastikan sekali lagi. Tapi, hasilnya tetap sama.

"Oh, habislah kita!!" Paul mengusap wajahnya kasar. Lalu kedua tangannya bertaut di belakang leher.

"Memangnya kenapa? Ada apa? Kau mengenal mereka? Mereka berbahaya? Siapa mereka hingga kau terlihat gusar seperti itu? Mereka orang-orang dari Lost?" Tanya Ethan beruntun.

"Dia putra nona." Jawab Paul lirih.

"Apa? Kau bicara apa?" Ethan mendekatkan dirinya pada Paul.

"Dia. Putra. Nona!" Jawab Paul lagi dengan penekanan disetiap katanya.

Ethan mengerjap, bingung. Kemudian dia mengorek telinganya, memastikan dirinya tidak salah dengar.

"Jangan bercanda Paul! Bagaiman dia bisa menjadi putra Nona?"

"Dia memang putranya. Putra semata wayangnya!"

Ethan merapatkan bibir, memejamkan mata, lantas berujar, "Sial!"

Sudah dipastikan setelah ini riwayat mereka akan tamat.