Setelah dua Minggu dirawat akhirnya Dariel pulang kerumahnya. Meskipun belum sembuh total tapi setidaknya dia sedikit lebih baik. Karena sakitnya itu dia sedikit kehilangan bobot berat badannya. Hal itu sempat membuat Ara khawatir namun Dariel meyakinkan bahwa keadaanya akan kembali normal. Dariel kini terbaring ditempat tidurnya sambil menunggu pesanannya datang. Alih-alih sang dokter menyuruh Dariel menjaga makanannya dia malah menyarakan Dariel untuk perbanyak makan junk food. Kali ini dia memesan burger, kentang dan tak lupa pizza. Dia benar-benar rakus hari ini membuat Ara percaya mungkin Dariel sebentar lagi sembuh.
"Mommy telepon aku nanyain kamu.."
"Bilang, aku udah ga papa.." Dariel dengan lahap menyantap makannya.
"Iya keliatan.." Ara mengetikkan sesuatu dihandphonenya.
"Jangan berdiri terus sayang, nanti pegel." Dariel mengingatkan. Ara kini berjalan memutar untuk mencapai sisi lain dari tempat tidurnya. Dia bersandar disana seperti Dariel.
"Kamu mau ga?"
"Engga. Aku harus ketemu dokter Wira lagi besok.."
"Abang anterin."
"Engga." Ara melotot.
"Abang udah sembuh kok sayang."
"Pokonya Abang diem dirumah, aku dianter Daddy sama mommy kok."
"Abang udah bisa berdiri kok.."
"Engga bang, udah deh nurut."
"Ya udah iya-iya.."
"Lagian cuman bentar."
"Padahal ada yang mau Abang tanyain."
"Apa?biar aku wakilin."
"Ga usah nanti aja Abang WA dokter wiranya."
"Kok gitu?"
"Ya ga papa, malulah nanya tapi ada orang tua kamu nanti denger."
"Emang mau nanya apa?"
"Hm..." Dariel ragu untuk berbicara.
"Apa?"
"Aman ga kalo kita begitu?"
"Begitu gimana?"
"Papi mesra-mesraan gitu sama maminya si kembar.." Dariel senyum-senyum. Dia sudah cukup sabar selama ini. Selama menjalani proses bayi tabung sampai hari ini Dariel belum berani meminta haknya kembali pada Ara. Dia takut hal itu akan mempengaruhi perkembangan bayinya apalagi pada saat itu hamil adalah impian mereka. Tak mungkin Dariel mengacaukannya hanya karena nafsu semata. Dia bisa menahannya beberapa bulan daripada menghancurkan harapan Ara.
"Oh...nanya itu.."
"Kok oh?ini menyangkut kehidupan Abang." Perkataan Dariel disambut tawa kecil oleh Ara.
"Iya nanti aku tanya..."
"Ga usah, Abang aja.."
"Aku ga malu kok bang nanya yang gitu."
"Bukan masalah malunya. Abang juga mau konsultasi posisi yang bagusnya gimana."
"Kalo kaya begitu di internet juga banyak."
"Ini tuh obat loh yang, kali aja habis gitu pusing kepala Abang hilang, demam Abang ga datang lagi."
"Belakangan ini aku lagi ga nafsu bang. Liat Abang telanjang aja, udah biasa aja. Kalo dulu jangankan telanjang, liat dada berbulu Abang aja udah bikin aku pingin sobekin celananya."
"Jadi Abang udah ga menarik sekarang?"
"Bukan ga menarik bang. Bawaan dedenya aja."
"Masa?de..papi pingin mesra-mesraan dong sama mami..ijinin ya?" Dariel melihat kearah perut istrinya seakan sedang mengajak mengobrol anaknya.
"Tuh kamu denger ga?"
"Denger apa?"
"Katanya...'boleh papi'.." Dariel membuat Ara tertawa ngakak kali ini. Belum lagi suara Dariel sengaja dia tirukan seperti anak kecil.
"Kayanya Abang panas lagi, sekarang halusinasi.."
"Ini tuh namanya ikatan batin ayah dan anak." Dariel mencari alasan.
"Kalo dipikir-pikir aku tahu kenapa kamu seneng sama dokter Wira, namanya sama ya kaya mantan kamu."
"Ih apaan sih kok kesitu?"
"Hayo ngaku?"
"Apa yang mesti diaku."
"keinget mantan ya?mantan kamu tuh siapa lagi ya David, Wira, hm...sandi...oh Eza dulu Kay pernah ngomong itu. siapa lagi ya?"
"Kok jadi ngomongin mantan?"
"Keinget aja sama Wira. Jangan-jangan waktu denger namanya kamu kaget lagi terus mikir. 'jangan-jangan ini mantan aku.'" Ucapan Dariel membuat Ara tersenyum kecil.
"Mana ada. Aku udah ga inget-inget.."
"Tapi cakep-cakep mantan kamu."
"Ya masa akunya cantik mantannya biasa aja." Perkataan Ara membuat Dariel mendengus. Pede sekali istrinya itu. Sekarang di mengelap tangannya lalu berguling ke arah Ara.
"Mana yang cantik?coba Abang liat.." Dariel menggoda sambil melihat-lihat ke wajah Ara.
"Nih yang cantik." Ara mengecup bibir Dariel.
"Bang...Abang lagi inget ibu ya?" Ucapan Ara membuat Dariel diam. Kini dia memilih menurunkan kepalanya sampai diperut Ara dan menciumnya disana. Dia memberi kecupan-kecupan kecil dari sisi kanan sampai sisi kiri.
"Bang.."
"Apa?"
"Jawab.."
"Kenapa kamu nanya gitu?"
"Waktu Abang dirumah sakit. Waktu Abang lagi demam-demamnya. Abang ngingau 'Selamat ulang tahun ibu, dari anakmu Dariel..'" Ara mengulangi ucapan Dariel kala itu.
"Namanya juga orang sakit panas bisa ngomong apa aja."
"Engga, Abang lagi kepikiran ya?kenapa?ada apa?" Tanya Ara penasaran tapi suaminya itu malah semakin menciumi perutnya, dengan badan yang tengkurap dia mengelus pelan ketiga bayinya sementara Ara sengaja membuka lebar kakinya agar Dariel bisa dengan nyaman berada dibawah sana.
"Bang..jawab. Aku yakin Abang lagi mikirin ibu jadi ngomong gitu."
"Ini juga calon ibu.."
"Ish...jangan ngalihin pembicaraan deh."
"Hari waktu Abang pingsan, itu hari ulang tahunya ibu. sore itu tiba-tiba Nayla pamit pulang lebih cepet. Katanya mau rayain ulang tahun ibu. Abang cuman inget aja. Dulu kalo ibu ulang tahun Abang tuh suka nulis dikertas isinya omongan Abang yang tadi. Abang simpen kertas itu dibawah bantal ibu pas Abang beresin kamarnya."
"Tuhkan Abang kepikiran, sampe sakit loh.." Ara mengusap pelan rambut Dariel dibawahnya.
"Engga, sakit karena Abang emang kecapean aja. Abang emang udah ga peduli tapi...kadang ada hal yang selalu bikin penasaran."
"Apa?"
"Ibu itu ga pernah buang kertas ucapan ulang tahun abang. Abang yakin dia simpen dan kalo dia simpen berarti dia seengaknya punya kepedulian sama Abang. Ya...walau dikit, dikit...banget. "Dariel senyum-senyum saat menceritakan itu.
"Setiap kali Abang dimarahin, dipukul sama bapak. Ibu emang ga pernah ngomong tapi ibu selalu liat. Bahkan sempet aku diseret sama bapak, ibu sampe keluar kamar. Aku yakin ibu itu peduli, dia cuman ga bisa berbuat apa-apa. setiap kali kita berdua dia kaya pingin ngomong sesuatu tapi dia ga pernah lakuin itu. Dia selalu menghela nafas panjang kaya cape." Dariel berhenti sejenak dan menciumi perut Ara lagi.
"Kamu ga usah khawatir sayang. Sejak kamu hamil, yang Abang inget cuman kamu, cuman bayi-bayi kita. Ingetan tentang ibu itu cuman sekilas aja. Setiap inget ibu Abang bakalan inget kamu. Abang udah ga sabar pingin ada bayi-bayi diranjang kita. Pingin denger suara bayi-bayinya, mau mereka nangis atau ketawa. Abang pingin denger.."
"Yang sabar yang bang..." Ara mengelus pelan punggung Dariel sementara suaminya masih menenggelamkan wajahnya di perut buncit Ara dan memberikan ciuman panjang disana.
"Besok keliatan ya jenis kelaminnya?"
"Iya bang.."
"Cepet pulang kasih tahu Abang.."
"Iya bang.."
"Kita ngadain acara tujuh bulanan ajakan?"
"Iya bang kayanya di tujuhnya aja."
"Nanti Abang siapin sayang. 'sehat-sehat anak papi, nanti kita ketemu'.." Dariel mengajak ngobrol anaknya lagi.
***To Be Continue