Jakarta tak mengalami kemacetan, untuk hari ini. Tidak tau hari esok bagaimana. Jadi tak membutuhkan waktu yang sangat lama, mobil Felicia telah sampai di depan gerbang rumah Emily.
"Thanks," ucap Emily.
Felicia menganggukkan kepalanya.
"Hati-hati lo," sambung Emily yang dibalas anggukan oleh Felicia kembali
Emily turun dari mobil Felicia. Felicia tentunya saja langsung menjalankan mobilnya setelah sang sahabat turun. Emily masuk ke dalam gerbang rumahnya dan mendapati Bi Sri sedang menunggu seseorang.
Bi Sri melihat Emily yang baru saja pulang, langsung saja Bi Sri menghampiri Emily. "Non Emily baru pulang."
"Iya Bi, ada apa?" tanya Emily.
Emily merasa ada yang mengganjal di rumah ini ketika melihat Bi Sri yang menunggu seseorang depan pintu rumah.
"Bibi dari tadi menunggu Non Emily pulang," jawab Bi Sri.
"Ada apa?" tanya kembali Emily.
"Tuan dan Nyonya menunggu Non Emily dari tadi," kata Bi Sri.
"Ada apa mereka menunggu ku pulang?" tanya Emily lagi.
"Lebih baik Non masuk saja," tutur Bi Sri.
Bi Sri tidak menjawab pertanyaan anak majikannya melainkan menyuruh sang anak majikan untuk masuk ke dalam rumah. Emily langsung saja masuk, dan ia melihat seseorang yang tidak pernah ia liat sedang berbicara pada orangtuanya.
Orangtua? oh tidak, mereka bukan orangtua Keisya melainkan orangtua raga yang ia tempati sekarang.
"Ada apa?" tanya Emily to the point
Emily a.k.a Keisya tidak menyukai basa-basi pada orang asing menurut dirinya. Dan mereka yang berada di depannya sekarang adalah orang asing. William melihat Emily yang di tunggu sedari tadi telah datang dan saat ini berada di depan mereka. "Duduk dulu lo."
Emily memutarkan bola matanya malas lalu mengeluarkan suarnya dengan nada tegas miliknya. Ini benar-benar menyita waktunya. Waktunya sangat berharga dari pada berbicara dengan merea semua. "Langsung saja intinya, saya tidak menyukai basa-basi."
Aura di ruang keluarga terasa dingin, karena aura yang dikeluarkan Emily berpengaruh juga kepada mereka.
"Kenapa auranya sangat dingin." batin William melihat ke arah Emily.
Damar melihat ke arah Emily. "Nak Darel datang ke sini untuk melamar kamu menjadi istrinya."
Emily melihat ke arah Darel yang melihat ke arahnya juga. Lalu Emily memalingkan wajahnya begitu saja. "Saya tidak ingin."
Emily a.k.a Keisya sekarang tidak ingin mempunyai pacar apalagi menjadi calon istri seseorang. Yang ia ingin lakukan sekarang adalah membalaskan dendam. Itu saja yang ingin lakukan saja. Urusan perasaan itu dibelakang. Ia tidak ingin memikirkan itu sekarang.
"Kamu tidak bisa menolak Emily. Mama dan Papa sudah menyetujuinya!" seru Liza
Emily memutarkan bola matanya lalu berdecak. "Ckk. Jika anda telah menyetujuinya, terus untuk apa anda memberi tau saya?"
"Kami hanya ingin memberi tahu kamu saja," kata Damar.
"Terserah anda," ucap Emily.
Emily menunjuk Darel. "Dan untuk lo, lebih baik mundur sekarang. Karena gue tidak akan memberikan hati gue pada orang asing seperti lo."
Darel melihat ke arah Emily lalu membuka suaranya. "Kita liat saja nanti. Gue pastikan, lo Emily akan jatuh dalam pelukan gue."
"Lo tidak akan bisa, hati gue sudah beku. Tidak ada yang bisa mencairkannya apalagi lo yang hanya orang asing," balas Emily dengan tegas.
"Kita liat saja nanti Emily!" seru Darel
Emily berdecak melihat Darel yang benar-benar keras kepala itu. "Ckkk, dasar keras kepala. Terserah lo."
Emily langsung saja naik ke atas dan masuk kedalam kamarnya. Darel melihat itu tersenyum tipis lalu Darel menatap ke arah kedua orang tua Emily.
"Baiklah Nak Darel, sebentar malam ajaklah orangtua mu datang ke sini, dan kita akan membicarakannya nanti," kata Damar.
"Baik, Om. Kalau begitu saya pamit pulang," pamit Darel.
"Iya, JNak," tutur Damar dan Liza.
Darel keluar dari rumah keluarga Wilson dan pulang kerumahnya memberitahu pada orangtuanya. Setelah di rasa Darel telah pergi dari rumah mereka, William melihat ke arah Damar. "Papa peduli dengannya?"
Damar melihat ke arah William lalu menggelenggkan kepalanya. "Tidak."
"Terus kenapa Papa sangat peduli pada Emily tadi?" tanya William.
"Papa tidak peduli padanya. Lebih baik dia pergi dengan cepat dari rumah ini. Itu lebih bagus. Oleh karena itu Papa langsung menyetujui lamaran Darel tanpa berpikir lagi," jawab Damar.
William menganggukkan kepalanya mendengar jawaban sang papa. Liza sakit hati mendengar perkataan sang suami.
"Kenapa hati aku sakit mendengar kamu bicara seperti itu, apalagi terhadap anak kita." batin Liza memandang Damar dan William secara bergantian
Tanpa mereka sadari, Emily a.k.a Keisya mendengar pembicaraan mereka semua sejak ia naik ke atas, ia tidak langsung masuk ke dalam kamarnya.
Emily a.k.a Keisya menatap ke arah keluarga yang di bawah tersebut itu. "Tanpa kau menyuruh ku pergi, aku akan pergi dasar tua bangka."
"Kenapa Emily sangat tahan dengan perlakuan mereka padanya," sambung Keisya.
Emily a.k.a Keisya langsung masuk ke dalam kamarnya, ia tak ingin lama-lama melihat tua bangka itu menutut dirinya.