webnovel

Bab 5. Legenda Trevi Fountain Dan Takdir Evan.

Flash back on~

5 tahun yang lalu, saat hujan pertama turun membasahi jalanan di kota Roma. Aroma rerumputan bercampur aroma tanah, menyebarkan aroma segar yang membuat hidung Evan tak henti-hentinya menghirup aroma menyegarkan yang menyebar di udara.

Tak tahu kenapa, hati dan perasaan Evan terasa sangat tenang dan nyaman. Sehingga ia ingin sekali turun dan menikmati udara segar, jantung Evan juga tiba-tiba berdegup kencang dan perasaan Evan juga terasa aneh seperti ada seseorang yang sedang memanggilnya.

"Peter, hentikan mobilnya," pinta Evan kepada Peter yang saat ini sedang duduk di bangku kemudi.

"Kenapa? Bukankah kita ada meeting penting sekarang?" tanya Peter dengan dahi mengernyit.

"Entahlah! Tiba-tiba saja jantungku berdebar kencang dan aku merasa ada seseorang yang memanggilku," jawab Evan dengan ekspresi wajah yang terlihat kebingungan. "Peter, sekarang ini kita sedang berada di mana?" tanyanya lagi.

Peter melihat di sekeliling mencoba untuk mengenali setiap sudut tempat. "Kita sekarang berada di distrik Trevi, dekat dengan Trevi Fountain. Memangnya kenapa? Apa kamu mau membuat permohonan?"

"Permohonan? Apa kamu sedang bercanda?! Untuk apa aku membuat permohonan, kalau aku sudah mempunyai segalanya," jawab Evan sombong.

"Aku pernah mendengar sebuah mitos, kalau kamu melempar sebuah koin di Kolam air mancur Trevi dengan tangan kanan melewati bahu kiri. Semua harapan kita akan lekas terkabul," jelas Peter. "Apa kamu mau mencobanya?"

"Kamu mengenalku, Peter. Aku tidak pernah percaya dengan yang namanya cinta atau pun mitos," tegas Evan sambil berbalik menuju ke mobil.

Tak tahu apa sebabnya, perasaan Evan semakin bergejolak dan tidak tenang.Jantung Evan semakin berdebar kencang, hatinya kian meronta-ronta manakala dirinya hendak pergi menuju ke mobilnya.

Ada satu suara aneh yang terus saja berbisik di telinganya, menyuruh Evan untuk berjalan mendekat ke arah Kolam air mancur. Awalnya Evan mencoba untuk bersikap acuh, namun pada akhirnya ia pun tak kuasa melawan perasaannya.

Dengan jantung yamg masih berdegup kencang, kaki Evan perlahan melangkah ke arah Trevi Fountain diiringi rintik hujan syahdu di sore hari ditambah dengan lampu malam berwarna biru yang menyatu dengan air mancur membuat suasana romantis kian terasa.

Seorang gadis berwajah cantik dengan rambut hitam panjang yang tergerai, gadis bertubuh langsing dengan bola mata langka berwarna amber, gadis itu membawa sebuket bunga mawar putih di tangan sebelah kiri dan di tangan kanan yang memegang payung sedang berdiri di depan Trevi Fountain.

Gadis yang memakai dress berwarna putih yang panjangnya selutut itu terlihat sedang membuat permohonan dengan melempar sebuah koin di kolam. Netra Evan seketika terpaku pada sosok gadis itu, senyum Evan mengembang dan jantungnya pun semakin berdebar kencang.

Tanpa sadar, kaki Evan berjalan menghampiri gadis yang kelopak matanya sedang terpejam dan sedang memanjatkan sebuah harapan agar lekas terkabul.

"Kumohon, pertemukan aku dengan seorang lelaki berhati lembut yang bisa membuat jantungku berdegup dengan kencang. Izinkan mata dan jantung ini bisa terus melihat dan terus berdebar untuknya meski raga ini telah sirna dari semesta," mohon sang gadis di dalam hati.

Saat sang gadis membuka kelopak matanya, Evan sudah berdiri tepat di samping gadis yang berparas cantik itu, gadis itu menoleh dan mata mereka kini saling menatap. Jantung sang gadis itu tiba-tiba berdegup kencang, dan di hari itu juga ikatan hati Evan dengan sang gadis tertaut.

Flash back off~

****

Netra Evan membulat sempurna saat menatap bola mata Gadis yang kini tepat berada dihadapannya.

"Mata itu, hujan, Trevi Fountain, mawar putih. Bahkan debaran jantung ini, tidak mungkin! Tidak mungkin kalau dia adalah Rhea! Tapi kenapa dia begitu mirip dengan Rhea?" terjadi perdebatan di dalam hati Evan.

"Kamu siapa? Kenapa kamu begitu mirip dengan Rhea?" tanya Evan yang membuat gadis itu terlihat terdiam.

"Cepat jawab!! Siapa namamu? Dan kenapa kamu sangat mirip dengan Rhea-ku?!" Evan membentak kasar gadis itu hingga berjingkat kaget.

"I–Iris .... Namaku Iris," jawabnya terbata karena ketakutan.

Meskipun Iris merasa ketakutan, tapi ia tidak bisa pergi. Kakinya terasa kaku dan tidak bisa bergerak, netra Iris tak henti-hentinya menatap wajah Evan.

"Jangan menatapku dengan pandangan seperti itu! Aku benci warna matamu! Aku benci tatapan matamu! Dan aku benci gadis sepertimu," bentak Evan kasar lalu beranjak pergi meninggalkan Iris yang masih berdiri terpaku di tempatnya.

Untuk sekilas, Peter memandang ke arah Iris. Kini ia tahu alasan kenapa Evan melontarkan kata-kata kebencian kepada Iris, bukan karena ia sungguh-sungguh membenci Iris.

Melainkan hati Evan yang terasa sangat sakit dan perih karena dihadapkan dengan kenyataan pahit akan kematian Rhea, wajah Iris dan Rhea memang sangat berbeda jauh meski sama-sama cantik.

Tapi takdir pertemuan awal mereka, debaran jantung, perasaan. Semuanya sama persis, tidak ada yang berbeda.

Tuhan, takdir macam apa ini?

"Evan!! Evan, tunggu!" Peter berlari mengejar Evan yang pikirannya sedang kalut. "Evan! Tunggu aku," teriak Peter mencoba mensejajarkan langkahnya dengan Evan.

Evan menghentikan langkahnya, tubuhnya terjatuh di atas jalanan beraspal. Bulir-bulir bening mengalir dan menyatu dalam derasnya hujan, tubuh Evan dan Peter basah kini sepenuhnya basah kuyup.

"Kenapa!! Kenapa takdir begitu kejam kepadaku, Peter?! Takdir yang merebut Rhea dariku, dan kenapa takdir mengirimkan seseorang yang begitu mirip dengan Rhea?! Kenapa," teriak Evan histeris.

Peter hanya bisa terdiam dan membiarkan Evan menumpahkan semua amarahnya, Peter bisa merasakan apa yang Evan rasakan.

****

"Evan, minumlah ini. Supaya tubuhmu terasa hangat dan pikiranmu kembali tenang," suruh Peter sambil menyodorkan satu cangkir espresso machiato kepada Evan.

Evan bergeming, ia hanya melirik Peter sekilas lalu kemudian menghembuskan napas kasar. Tak menunggu waktu yang lama hingga akhirnya Evan tergoda dengan aroma harus kopi buatan Peter.

Evan mengangkat cangkir lalu menyesapnya perlahan, sungguh nikmat dan badan Evan langsung terasa hangat. Pantas saja Evan begitu menyukai kopi buatan Peter yang rasanya penuh dengan keajaiban.

Apalagi kalau espresso machiato buatan Peter dinikmati saat hujan, Evan dan Peter kini duduk di kursi yang berada di balkon. Kedua pria itu menyesap kopinya sambil menikmati pemandangan kebun mawar.

"Peter, bagaimana bisa ada kebetulan semacam ini? Bagaimana mungkin gadis itu begitu mirip dengan Rhea?" tanya Evan membuka obrolan.

"Evan, mungkin ini hanya kebetulan saja. Lupakan saja gadis tadi, kamu harus ingat, ada hal yang lebih penting dari itu. Satu hal yang pasti, Julian tidak akan tinggal diam setelah kita membuatnya rugi besar. Julian pasti akan menyerang kita," ucap Peter.

Evan terlihat memijat keningnya. "Aku tahu," ucapnya singkat.

"Aku juga sedang menyelidiki keterlibatan Alberto dengan jaringan mafia, ada kemungkinan ia juga terlibat dalam bisnis ilegal perdagangan organ tubuh manusia. Aku yakin, Julian pasti ikut andil dalam bisnis ini," timpal Peter.

"Aku tahu," ucap Evan singkat.

"Lalu ...?" tanya Peter sambil memutar bola matanya.

Evan menghela napas berat lalu menatap tajam ke arah Peter. "Kita harus membuat Julian tidak berkutik," jawabnya yang membuat Peter semakin kebingungan karena tidak bisa menebak isi kepala Evan.

"Caranya?"

"Setelah kita membuat Julian rugi besar, kita harus menyingkirkan orang-orang terdekat Julian! Aku akan membuat Julian merasakan sakitnya kehilangan orang-orang yang ia sayangi," jawab Evan dengan sorot mata yang terlihat tajam.

"Pertama-tama, aku akan menyingkirkan Fellix. Dia adalah sumber kekuatan Julian, dan aku akan melumpuhkan sumber kekuatan Julian. Dengan begitu, julian pasti akan semakin tidak berdaya," lanjut Evan.

"Baiklah, aku akan menuruti semua rencanamu. Tapi ... apakah kita akan menjalankan rencanamu ini di malam hari juga?" tanya Peter memastikan.

"Iya."

Jawaban singkat dari Evan hanya ditanggapi helaan napas Peter, Ia segera bangkit dari kursinya dan berlalu pergi ke arah tangga, sepertinya ia hendak menuju ke kamarnya.

"Peter, kamu mau kemana?" tanya Evan.

"Aku mau tidur," jawab Peter kencang tanpa menoleh ke belakang.

Kali ini Peter benar-benar kelelahan, setelah semalaman kurang tidur karena menjalankan misi untuk menghabisi anak buah Julian.

Di tempat lain ....

"Seharian ini, pergi kemana saja kamu?" tanya Julian yang terlihat duduk di sofa yang terletak d sudut kamar.

"Kak Julian?! Sejak kapan kakak ada di kamarku?"

"Bukankah sudah aku bilang, agar tetap berada di kamar saja! Kesehatanmu masih belum sepenuhnya pulih! Tapi lihatlah, belum apa-apa kamu sudah melanggar perintah dokter dengan keluyuran sampai malam begini," omel Julian.

"Maaf, Kak. Aku merasa sangat bosan terus mendekam di dalam kamar selama 6 bulan ini, lagi pula aku keluar rumah saat hari sedang hujan, jadi mataku tidak akan sakit karena terkena cahaya matahari yang menyilaukan."

"Iris! Kamu jangan ceroboh! Jangan menyia-nyiakan usaha kak Julian yang sudah susah payah mencarikan donor untukmu, kamu harus menjaga baik-baik organ tubuhmu yang baru."

"Iya, Kak. Pasti, maafin Iris ya, Kak?"

Iris memeluk tubuh atletis Julian dengan erat.

Julian hanya mengangguk pelan, bagaimanapun juga ia sangat menyayangi adik perempuan satu-satunya itu. Ia tak berani marah atau pun membentak.

Segala cara akan Julian lakukan untuk melindungi adiknya, meskipun dia harus menghabisi nyawa orang lain demi adiknya.

"Iris! Demi menyelamatkan nyawamu, kakak bahkan rela membunuh wanita yang paling kakak cintai di dunia ini, Rhea! Maafkan aku, aku terpaksa melakukan ini semua karena aku tidak bisa mendapatkan hati dan cintamu yang hanya terpusat kepada Evan. Hanya dengan cara inilah, aku bisa terus menatap keindahan matamu serta merasakan debaran jantungmu," batin Julian sambil tersenyum.

To be continued.