webnovel

How Can I Forget You?

Bella Ellista, seorang wanita cantik dan cacat, berusia 26 tahun. Di waktu remajanya, Bella merupakan salah satu atlet figure skating Klub Jerman yang cemerlang. Beberapa kompetisi pun berhasil dia raih. Kehancuran hidup gadis itu baru saja di mulai, begitu kesuciannya direnggut paksa dan ditukar dengan dollar yang masuk ke dalam kantung Phillip. Bagi Bella yang masih berusia 16 tahun dan mengalami musibah yang meruntuhkan dunianya. Kematian adalah pilihan yang Bella putuskan. Meski kematian yang Bella inginkan, kedatangan seorang remaja, menggagalkan usaha bunuh diri yang coba dia lakukan. Kenneth Wayne, merupakan seorang developer real estate terkenal di kota Zurich, Switzerland. Pertemuan tak sengaja pria itu dengan seorang wanita cacat bernama Bella, menghidupkan jantungnya yang kosong bergairah kembali. Antara penyesalan dan cinta, manakah yang akan menang pada akhir keduanya nanti? Jika semua kebenaran yang lama tertutupi mulai terkuak. Menyebabkan luka & derita.

Angela_Ann · 现代言情
分數不夠
24 Chs

Sakit Yang Menyiksa

"Bella!"

Panggilan di atas kepalanya, membuat Bella mendongak dengan mata masih basah, dia terlihat menyedihkan.

"Sean~"

Dipanggil dengan suara lemah yang terdengar putus asa oleh Bella, Sean berlutut didepan gadisnya dengan sangat khawatir. "Apa yang terjadi? Apa ada yang mengganggumu di dalam?"

Bella terdiam dan suara isakannya terdengar. "Maafkan aku."

Sean menangkup wajah gadis yang dia sayangi, matanya penuh cinta saat Sean menatap Bella, dia mengelus pipi gadisnya penuh pemujaan, "Hey... Kau tidak salah, kenapa meminta maaf? Katakan padaku apa yang terjadi denganmu?"

Bella secara naluriah memejamkan matanya dari elusan di pipinya oleh jari-jari Sean, "Apa yang kau sukai dariku, Sean? Aku hanya seorang gadis yang cacat, hati maupun fisik. Untuk bisa dicintai olehmu seperti ini, menjadi kesialanmu dalam hidup, kan?"

"Apa sih yang kau katakan. Kau ngantuk? Kita pulang saja kalau begitu?"

Bella mengeratkan tangan Sean di pipinya, tidak mau melepasnya pergi, "Sean, kau pria yang baik. Aku sungguh bukan gadis yang pantas untukmu."

"Berhenti Bell, atau aku akan marah kalau kau bicara omong kosong itu lagi! Kau tidak berhak mengomentari perasaanku! Aku tidak tahu apa yang terjadi di dalam sampai-sampai membuatmu jadi sinting begini. Kalau aku tahu siapa orangnya, aku akan memukulnya karena sudah mengganggumu." kata Sean bersungguh-sungguh.

Bella tertawa, dan lesung pipit di kedua pipinya muncul saat dia tertawa begitu. Cantik sekali.

Sean mencium pipi Bella, lalu jarinya bertahan di sana, mengusapnya penuh kelembutan, "kau tahu, kau sangat cantik jika tertawa seperti ini. Wajah menangis itu tidak cocok sama sekali berada diwajah gadisku."

Bella tersenyum diantara tangis dan kebencian pada dirinya sendiri, "Aku akan terus menyakitimu jika kau terus memaafkanku seperti ini, Sean."

"Selama kau masih bersedia tinggal disisiku seperti ini, aku tidak terlalu peduli apakah kau akan membalas perasaanku atau tidak nantinya Bell! Aku sudah merasa bahagia dengan persahabatan kita sekarang. Jadi, gadis cengeng, apa kau masih mau disini atau aku antar pulang saja?" goda Sean tersenyum, bibirnya yang kecil dan penuh menampilkan senyum paling menawan, gigi putihnya terlihat bersinar, dan kulitnya yang berwarna cokelat madu tampak menggoda.

Sean menghapus sisa air mata di pipi Bella yang terasa dingin di kulitnya. Sosoknya yang dewasa terlihat sangat sabar, tatapannya yang lembut memanjakan Bella sepenuhnya.

Tak siapapun bisa mengalihkan Sean jika dia sudah berdekatan dengan Bella. Seakan dunianya hanya berpusat pada gadis yang dicintainya selama ini, cinta yang bertepuk sebelah tangan itu nyatanya membuat hubungan keduanya semakin dekat.

"Daddy masih di dalam, dia tidak akan mengijinkan aku pulang sebelum berhasil dia kenalkan pada teman-teman Paman William, kau tahu maksudku? Sangat menjengkelkan berada di sana. Untunglah, kau datang sekarang, jadi aku tidak kesepian lagi."

"Daddy akan senang melihatmu datang Sean." tambah Bella sambil tersenyum senang. Papanya itu sangat mendukung sekali kedekatan dirinya bersama Sean. Dia sudah mewanti-wanti Sean untuk segera melamarnya, dan Sam tidak sabar lagi membawa pulang Sean untuk dijadikannya menantu prianya yang diidam-idamkan.

Sean mengambil tongkat Bella, meraih gadis itu, lalu mereka berjalan masuk ke dalam sambil bergandengan.

"Kapan kau datang?" tanya Bella.

"Tadi malam. Aku sudah mengabarimu, tapi kau tidak membalas pesanku."

"Sengaja kulakukan! Kau masih membuatku kesal Sean! Kenapa kau tidak memberitahuku soal kepergianmu ke Paris. Kalau Daddy tidak memberitahuku, pasti kau akan terus menutupi kepergianmu kan?"

Sean terkekeh karena tingkah Bella yang merajuk. "Tadinya aku sudah ingin memberitahumu. Lalu kupikir daripada nantinya kau merajuk minta ikut, jadi kuurungkan saja."

Bella melirik galak ke arah Sean yang masih tidak sadar sudah membuatnya jengkel, "Apa maksudnya itu? Kau tidak suka kalau aku ikut perjalanan bisnismu?"

"Bukan begitu Bell, aku tidak masalah kalau kau ikut, cuma, aku takut kau mati bosan disana. Aku ke Paris murni karena ada bisnis yang harus aku selesaikan."

"Lainkali aku berjanji akan mengajakmu berlibur." lanjut Sean lagi membujuk Bella yang sudah merengut cemberut.

"Kau dan Daddy sama saja. Dikiranya aku masih bocah yang gampang merajuk." kelit Bella sambil berusaha melepaskan genggaman Sean di tangannya.

Sean melihat Bella tanpa daya, "Aku membawa cokelat Smucha khusus untukmu, Bell."

"Sungguh?" tanya Bella girang sekali. Mata indahnya sudah dibayang-bayangi dengan kelezatan cokelat favoritnya itu.

"Hem... Kutaruh di dalam mobil, kau bisa mengambilnya nanti setelah pesta selesai. Aku sudah mau membelikanmu cokelat Jean-Paul Hevin, tapi tidak jadi." desah Sean sengaja membuat tampilan menyedihkan ke arah Bella.

"Kau tahu kalau aku suka segala jenis cokelat. Kenapa tidak kau bawakan itu juga? Terakhir kali aku memakannya dan langsung sakit perut, itu karena ulah Masha yang sengaja menukar obatku!" keluh Bella geram juga mengingat kejadian itu.

Sean mengelus kerutan di alis Bella yang berkerut, "Itu sebabnya aku tidak membeli cokelat itu lagi. Kupikir kau tidak suka rasanya yang terlalu manis"

"Sekarang kau sudah tahu, kalau bukan karena cokelat itu yang membuatku muntah. Bawakan aku nanti kalau kau ke Paris lagi, aku tidak mau tahu, kau harus membawanya Sean." kata Bella setengah mengancam pada Sean yang dijawab dengan tawa keras dari bibir pria tampan itu.