webnovel

Bab 2.2 : Penyihir yang Terkutuk

"Aku sudah membuktikannya bukan ? Bahwa aku itu penyihir ?"

Aku hanya dapat menggangguk untuk menjawab pertanyaan itu, tidak tahu apa yang kukatakan lagi. Ini pertama kalinya dalam hidupku melihat sihir, aku bahkan tidak mengharapkan untuk dapat melihatnya secepat ini. Venicia menunjukkan banyak sekali sihir padaku, seperti bola api tadi, lalu dirinya yang melayang di udara menggunakan levitasi, dan memunculkan sebuah familiarnya yaitu kucing di depan diriku.

"Bi-Bisakah aku belajar sihir juga seperti Kak Venicia ?"

Rasa penasaranku melonjak dengan kuatnya. Aku memang sangat tertarik dengan sihir. Selain bisa digunakan untuk menyerang, bisa digunakan juga untuk menyembuhkan. Jadi aku tidak perlu lagi membeli obat-obatan yang mahal dari kota !

"Kakak.... dia memanggilku kakak...."

A-Ada apa dengannya ? Menggumam begitu ?

"Ekhem.... soal itu..... setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Tidak semua orang bisa menjadi penyihir maupun ahli sihir. Ada sebuah tes yang dilakukan untuk melihat apakah orang tersebut memiliki potensi atau tidak."

Ternyata tidak semua orang bisa menjadi ahli sihir kah..... Aku sedikit kecewa...

"Tetapi..... Kalau kamu ingin mengerti ada potensi sihir atau tidak pada dirimu. Kakak bisa membantunya."

"Benarkah ?!"

"Tentu saja. Ikutlah aku ke suatu tempat, nanti akan kuajarkan bagaimana caranya."

-o-

Kami berdua menuju ke danau yang berada di tengah hutan. Disana, Venicia menyiapkan banyak perlengkapan. Beberapa lambang sihir di tepi danau dan beberapa barang-barang serta tumbuhan aneh disekitarnya. Setelah itu aku disuruh untuk berdiri di tengah lingkaran sihir yang berbentuk bundar. Di pinggiran lingkaran sihir tersebut terdapat beberapa huruf aneh. Ketika aku mencoba melihat dan memahaminya, malah membuat kepalaku pusing.

"Baiklah, persiapannya sudah selesai."

Venicia menutup buku tebal yang semenjak tadi ia baca dan melemparkan bukunya padaku.

"Kamu bisa membaca kan ?"

Membaca ? Tentu saja ! Aku melihat pada huruf yang aneh tersebut, sama sekali berbeda daripada alfabet yang aku pahami. Ini... huruf ini tidak pernah kulihat seumur hidupku !

Tentu saja aku tidak bisa membacanya !!!

Walaupun aku sudah mengerti apa yang mereka katakan. Aku sama sekali tidak mengerti tulisan di dunia ini karena berbeda dengan duniaku dahulu yang memakai huruf alfabet.

"Aku sama sekali tidak bisa membaca !"

Venicia menghela nafasnya, aku dapat melihat kerutan di dahinya.

"Bahkan kamu tidak bisa membaca.... tempat asalmu itu seburuk apa sih....."

A-Apa ?! Minta maaflah kepada tempat asalku ! Berserta semua rakyatnya ! Semua ini bukan salah dari mana aku berasal, tetapi salah orang yang sudah membawaku ke dunia ini !

"Ya sudahlah, berbaliklah ke arah danau. Buka halaman buku yang sudah kutandai dengan tongkat sihir. Setelah itu arahkan tongkat sihirnya kedepan."

Aku mengikuti instruksinya, membuka buku yang ia lempar kepadaku. Buku itu tebal dengan cover berwarna hijau gelap serta memiliki lambang hexagram di tengahnya, dengan tulisan aneh yang mirip seperti heliograph kuno berada dibawah hexagram.

Disana terdapat sebuah tongkat kayu berwarna hitam yang terdapat beberapa ukiran manik manik biru di sekitar tongkat itu. Aku mengayun-ayunkannya ke depan.

"Tutup matamu dan fokuskan semua kekuatan ke tongkat itu."

Sesuai intruksinya tadi, aku menutup kedua mataku. Kukosongkan segala pikiran yang ada di otakku. Keheningan, keheningan dan kegelapan meyelimuti pikiranku. Yang dapat kulakukan hanya menunggu instruksi selanjutnya.

"Ikutilah ucapanku."

Segala konsentrasiku ku arahkan kepada tongkat yang kupegang di tangan kanan. Sementara tangan kiriku memegang bukunya.

"Wahai roh yang menguasai alam."

'Wahai roh yang menguasai alam'

Perlahan aku mengikuti mantra yang ia ucapkan dengan lantangnya.

"Dengan ini aku meminjam kekuatanmu. Sesuai dengan kontrak sihir."

'Dengan ini aku meminjam kekuatanmu. Sesuai dengan kontrak sihir."

Tanganku bergetar, tubuhku serasa ingin terjatuh. Entah karena diriku yang terlalu gugup atau sangat tertarik dengan hal ini.

"Tunjukkanlah kekuatanmu, The Element !"

'Tunjukkanlah kekuatanmu, The Element !"

Aku mengucapkan kata terakhir tersebut dengan lantang. Sepertinya itu mantra yang harus kuucapkan. Aku segera membuka kedua mataku untuk melihat sihir apakah yang telah aku keluarkan.

"Ma.... Mana sihirnya ?!"

KOSONG ! Didepanku tidak ada apapun ! Tidak ada bekas air yang beriak, ataupun munculnya api, atau angin yang berputar di atas danau ! Kosong, hanya ada air danau yang tenang.

"Kenapa tidak keluar ya...."

Venicia yang berada dibelakangku pun ikut berpikir. Apakah ada kesalahan atau memang aku salah mengucapkan kata. Dia memerintahkanku untuk mengucapkan mantra itu kembali. Walaupun sudah kusebutkan sebanyak 5 kali, dengan beberapa intonasi yang berbeda. Tidak ada apa-apa yang keluar !

"Seharusnya sih seperti ini."

Dia mengambil tongkat yang kupegang sembari mengarahkannya ke depan danau seperti yang kulakukan.

"The Element."

Venicia melantunkan sebuah mantra yang singkat. Sangat singkat dari yang kuucapkan. Muncullah sebuah bola api hitam yang meluncur dengan cepatnya di atas air. Bola api itu melesat menuju sebuah pohon yang berada di seberang danau, membakarnya dengan sangat cepat hingga gosong. Yang tersisa hanyalah abu dari pohon itu.

"Sihir ini seharusnya memanggil elemen yang kamu miliki. Sihir level pertama menurutku. Kalau kamu tidak dapat menggunakannya. Berarti tidak ada potensi sihir di dalam dirimu."

"Tidak mungkin.... padahal aku ingin juga menembakkan bola api seperti itu !"

Dia lalu menghapus lambang sihir yang berada di tanah dengan menyebutkan sebuah mantra. Muncullah angin topan kecil di sekitarku, angin topan itu menghapus lambangnya dengan putarannya.

"Daripada mengejar sesuatu yang belum pasti bisa. Lebih baik kamu belajar seni berpedang saja bukan ?" katanya.

Perkataannya mungkin ada benarnya juga. Aku tak memiliki potensi untuk sihir. Daripada terus mengejar-ngejarnya, lebih baik aku menajamkan kembali seni berpedangku. Aku harus menjadi lebih kuat lagi, jika tidak.... itu hanya akan mengakibatkanku terluka parah lagi.

-o-

"RASAKAN !!!"

TRING

Keesokan paginya, aku bangun pagi untuk mengasah kembali kemampuan berpedangku. Di malam hari, aku diajari oleh Venicia untuk berlatih menulis dan membaca. Bahkan ia memperbolehkanku juga menginap di rumahnya.

"Seranganmu masih terlalu lemah !"kata Venicia.

Aku melandaskan serangan pada golem yang sebelumnya dibuat Venicia. Diriku berlatih dengannya, dia mengajariku beberapa hal mengenai sihir dan bagaimana melawannya, seperti saat ini ketika ia mengajakku bertarung melawan golem tanahnya. Venicia merasa bahwa diriku masih terlalu lemah, terutama bagi seseorang yang tak memiliki kemampuan sihir.

"Kerasnya...."

Karena terbuat dari tanah, serangan yang kulontarkan padanya tidak begitu melukainya. Hanya beberapa tebasanku yang berhasil menembus tubuh batunya itu. Selain menggunakan golem tanah, Venicia juga terkadang menggunakan sihir tumbuhan. Dengan akar yang tiba-tiba muncul ditanah ia menjerat kakiku dan golem tersebut menyerangku. Sebuah serangan kombo yang mempersulit diriku.

"Setiap makhluk pasti ada kelemahannya. Carilah kelemahan itu ketika sedang bertempur, dengan cara itulah kamu bisa memenangkan pertempuran." Venicia yang bersiaga jauh di belakang golem itu menasihatiku.

Memangnya golem tanah sekeras ini memiliki kelemahan ?!

"Jangan lengah !"

Sebuah akar muncul dari dalam tanah, aku segera melompat ke arah kanan untuk menghindarinya. Tetapi disana golem tanah sudah bersiap melancarkan pukulannya.

"SIAL !"

Sebuah dentingan keras terdengar, antara bertubrukannya pedang rampingku dengan pukulan golem tanah. Pedang yang kugunakan lepas dari tanganku. Sementara diriku terpental jauh dan terlentang ditanah. Serangan kombo terus menerus seperti ini benar-benar menyusahkanku. Venicia dengan santainya diam dan memperhatikan setiap gerakanku.

"Menyerah ?" katanya.

Bagaimana cara untuk mengalahkan golem yang keras itu ? Satu satunya cara hanya dengan menggunakan ledakan untuk meledakkan tubuhnya. Tetapi aku tidak mempunyai barang yang bisa meledak. Hah.... mana mungkin aku bisa mengalahkan makhluk sihir dengan perlengkapan murahan seperti ini.

Tidak..... tunggu sebentar.

Hanya ada satu cara untuk mengalahkan makhluk sihir. Yaitu....

"Tentu saja tidak !"

Aku melihat pedang yang tadi terlepas dari tanganku jatuh di belakang golem tersebut. Golem tanah itu bergerak dengan lambatnya menuju ke arahku, bersiap untuk melancarkan serangannya.

Aku segera berdiri, lalu berlari menuju golem tersebut. Dia mengarahkan kedua kepalan tangannya itu ke atas. Setelah itu mengayunkannya dengan keras kebawah menuju diriku yang tepat berada di depannya.

Tetapi diriku bisa menghindari serangan itu dengan mundur kebelakang tepat ketika pukulan itu dilancarkannya. Tangannya pun terjebak di tanah.

Aku menggunakan tangan yang masih dibawah itu dengan menggunakannya sebagai pijakan untuk melewati tubuh besarnya.

Begitu aku menaikinya dan berhasil melewati golem tersebut, aku mengambil pedangku yang berada di tanah. Venicia yang semulanya santai, mengarahkan beberapa sihir tumbuhannya. Satu persatu sihir yang sama ia gunakan, akar yang menjerat dari bawah tanah.

Aku sudah hapal setiap serangan yang ia lontarkan satu dengan lainnya. Dengan mudahnya aku meliuk ke kanan dan ke kiri menghindari setiap akar yang mencoba meghentikan pergerakanku menuju ke Venicia.

Dia terlihat panik ketika tidak ada akar yang berhasil menghentikanku. Begitu ia mencoba melafalkan sebuah mantra. Aku mengarahkan pedangku kebelakang, seperti posisi melemparkan tombak. Lalu kulempar pedang yang kupakai ke arahnya.

Pedang tersebut melesat dengan cepat kearahnya. Dia tidak menduga seranganku itu. Aku dapat melihat raut wajah kagetnya ketika pedangku melesat ke arah kepalanya itu.

Namun, hanya berjarak beberapa inci lagi ke arah wajahnya itu... Pedangku berhenti dan terjatuh ke tanah.

"Aku sudah menduganya."

Venicia itu penyihir yang hebat, tidak mungkin ia membiarkan dirinya tanpa perlindungan. Pasti ia memiliki satu atau dua sihir untuk bertahan.

2 pisau yang sebelumnya kulempar dengan cepat ketika pedangku menuju ke arah Venicia kini berada di samping kiri dan kanan kepalanya.

"Kali ini pasti kena !" teriakku.

“Absolute Zone”

Angin kencang bertiup menjauhkan kedua pisau yang hampir mengenainya tersebut. Aku menutupi wajahku dari tanah yang terlempar oleh angin besar tadi. Begitu ia mengucapkan mantra itu, sebuah angin besar menjauhkan semua yang berada di sekitarnya. Begitu juga dengan beberapa pepohonan yang berada di sekitarnya terkoyak karena serangan angin itu.

"Tidak kusangka, aku sampai harus menggunakannya disini."

Venicia berjalan keluar dari debu tanah yang menutupi seluruh arena pertempuran kami. Bajunya benar-benar dalam keadaan yang rusak. Beberapa bagian tergores dan aku dapat melihat dengan jelas.... tidak begitu jelas sih, pakaian dalamnya yang berwarna hitam. Be-Benar-benar pemandangan yang segar untukku yang sedang kelelahan ini. Walaupun aku mengalihkan pandanganku darinya, mataku tetap tak bisa membohongi niatku.

"Sihir barusan....."

"Itu sihir pertahananku. Sihir itu melindungi perapalnya dari segala serangan yang ada disekitar dengan memanggil roh angin. Kalau kamu berada di area serangannya, maka tubuhmu pasti sudah tercabik-cabik."

Aku duduk bersandar di sebuah pohon yang berada dibelakangku. Merebahkan diri setelah pertempuran yang begitu melelahkan barusan.

"Sihir memang membuat segalanya mudah ya..... enaknya...." kataku.

Venicia pun ikut-ikutan duduk disebelahku sambil mengambil peralatan jahit yang tidak kuduga ia membawanya ketika berlatih. Apa mungkin dia sudah memperkirakannya ?

"Enak.... ya.... Aku malah menganggap sihir ini sebagai sebuah kutukan."

"Kutukan ? Apa maksudnya ?"

Sambil menjahit kembali jubahnya yang terkoyak. Ia menceritakan banyak hal kepadaku.

100 tahun yang lalu , para penyihir hidup berdampingan bersama orang lain di dalam kota. Mereka saling membantu satu sama lain. Penyihir yang terkenal dapat membuat ramuan untuk menyembuhkan penyakit sangat dikagumi oleh warga kota. Menggunakan sihirnya untuk membantu yang lemah dan untuk menolong sesama.

Hingga munculnya sebuah insiden.... Sebuah roh api mengamuk dan membakar seisi kota. Hanya penyihir saja yang dapat menyegel roh itu. Para warga mengungsi ke luar kota, sementara penyihir itu masih berada di dalam kota untuk menyegel roh tersebut.

Setelah terjadinya pertempuran sengit antara penyihir dengan roh api yang mengamuk. Dia menyegel roh api itu kedalam tubuhnya sendiri. Warga yang melihat hal tersebut mengira bahwa ialah yang memanggil roh api tersebut karena hanya penyihir saja yang bisa melakukannya.

Para warga mengusir dan menghina penyihir itu dari kota dan tidak akan pernah mempercayai lagi penyihir. Perang pun dikumandangkan untuk melawan setiap penyihir, perang yang telah merenggut banyak nyawa. Dari penyihir dan juga manusia. Lalu, penyihir terpecah menjadi 2 kubu. Perkumpulan Penyihir Putih yang menggunakan sihir untuk menolong satu sama lain, dan Perkumpulan Penyihir Hitam yang menggunakan sihir mereka untuk membalaskan dendam dan untuk hal-hal buruk.

".... dan kau tahu siapa yang menyegel roh api itu ?"

Aku hanya terdiam mendengarkan cerita memilukan tersebut.

"Akulah yang menyegel roh api itu kedalam tubuh ini. Roh api berwarna merah, berubah menjadi hitam karena dendamku kepada warga. Api hitam ini dengan cepatnya membakar apapun yang dilewatinya. Kekuatan yang kumiliki ini.... seperti kutukan bagiku."

Venicia memandangi cahaya yang melewati pepohonan hutan ini. Dari kedua matanya, nampak perasaan bersalah akan apa yang pernah dilakukannya dahulu.

"Maaf karena sudah membuatmu mendengarkan cerita memilukan ini."

Dia berbalik memandangku dan menunjukkan senyum pahitnya itu. Yang menyembunyikan rasa sakit akan teringatnya kembali kejadian kelamnya.

"Tidak apa, malah menurutku cerita itu benar-benar menarik ! Bisa kau ceritakan lagi bagaimana dirimu menyegel roh itu ? Pastinya sangat keren bukan !"

Dengan segala cara aku mencoba untuk membuatnya kembali cerita seperti biasanya.

"Ce-Cerita sewaktu aku menyegelnya ?"

"Iya ! Apakah muncul sebuah lingkaran sihir besar dari langit dan menyegelnya, ataukah menggunakan sihir tingkat tinggi yang mengecilkannya...”

"Ehhh..... sebenarnya tidak terlalu hebat sih...."

Dia mulai menceritakan kembali kisahnya ketika menyegel roh api yang mengamuk itu. Perlahan, kesedihannya mulai hilang. Aku pun ikut menghiburnya dengan beberapa lawakanku ketika ia bercerita. Setidaknya itu bisa membuatnya bahagia, setidaknya aku bisa mengetahui kisah heroiknya disamping kelamnya masa lalu yang Venicia alami.

-o-

Hari sudah beranjak siang. Sementara aku dan Venicia masih berbaring di tengah hutan bercerita satu sama lain.

Masih ada satu hal yang mengganjal di hatiku. Bukankah cerita itu terjadi 100 tahun yang lalu ? Lalu Venicia itu.....

"Ma-Maaf menanyakan ini Venicia. Tetapi bukannya cerita itu berlangsung 100 tahun lalu..... Jadi umurmu itu...."

"Aha.... aku belum memberitahumu ya. Umur penyihir itu panjang, lebih panjang dari manusia biasa. Mereka bisa berumur lebih dari 100 tahun. Leluhurku sendiri bisa hidup sampai 500 tahun. Bahkan legenda penyihir terkenal, Old Grendwald hidup hingga 515 tahun. Kalau umurku..... Yah.... sekitar 134 tahun kalau tidak salah."

"SE-SERATUS TIGA PULUH EMPAT TAHUN?!!!"

Umur Venicia 134 TAHUN ?! Aku tidak mempercayainya ! Kenapa ia bisa terlihat begitu muda ! Aku mengira umurnya sekitar 28 atau 30 tahunan. Badannya pun sangat ideal untuk wanita berumuran segitu. Namun ternyata.....

"Kukira umurmu sekitar 28 atau 30 tahunan. Padahal badanmu terlihat masih muda begitu. Apakah kamu menggunakan sebuah mantra ?!"

"Terima kasih akan pujianmu itu. Bukan sebuah mantra sih..... tetapi bagaimana menjelaskannya ya. Sihir itu berupa kekuatan yang berasal dari alam sekitar dan roh. Karena keseimbangan antara roh dan alam di dalam tubuh manusia.... maka itu membuat umur kita lebih panjang. Seperti keseimbangan antara fisik dan jiwanya."

Masih banyak hal di dunia ini yang belum kupahami. Penyihir hingga roh...... Mereka semua sangat berbeda dari duniaku. Tetapi ada satu hal yang kupelajari dari ceritanya. Sihir dianggap sebagai ajaran setan dan orang sangat membencinya. Setiap penggunanya akan dicap sebagai anak buah iblis yang harus dilenyapkan. Itulah sebabnya banyak penyihir yang tinggal jauh dari kota dan menetap di daerah yang sulit untuk dijamah.

"Namun, itu tak mengapa. Masa lalu hanyalah menjadi masa lalu, tidak ada yang dapat kulakukan untuk mengubahnya. Aku hanya harus menikmati sisa hidup yang kumiliki ini...." kata Venicia dengan menunjukkan kembali senyumannya yang ceria itu.