Setelah makan malam mereka selesai, Ferry mengajak mereka semua untuk berbincang-bincang di taman yang letaknya di belakang rumah. Tumbuhan tropis yang tumbuh di sana, pohon-pohon yang beranega ragam buah pun sengaja di tanam di situ untuk menambah kesan alam dari taman itu.
"Ayo, silahkan duduk,"ajak Ferry seraya menunjuk sofa bundar berukuran besar yang letaknya agak jauh dari kolam. "Bi, minta tolong buatkan kopi, ya?"
"Iya, Tuan."
"Aku teh saja, Bi," kata Lisa.
"Aku juga, Bi," sambung Lenna.
"Baik, Nyonya."
Si pengurus rumah itu pun lenyap ke dalam rumah. Para orangtua duduk di sofa bulat berwarna abu-abu yang melingkari meja kecil di tengahnya, sedangkan para anak muda berjalan mengambil posisi di area kolam renang.
"Tom, kita duduk di sana saja," ajak Andin sambil menundingkan telunjuknya ke arah kursi ayun di dekat kolam. "Kita bisa ngobrol di sana tanpa mendengar percakapan para orangtua."
Tommy melihat ke arah Sherly yang kini menatap Andin dengan garang. Ia tersenyum. "Ayo." Diulurkan sebelah tangannya untuk menggandeng Sherly.
Andin kesal, sedangkan raut wajah Sherly berubah girang. Ia tersenyum dan hendak meraih tangan Tommy.
"Tommy?" panggil Ferry.
"Ya, Om?" sahutnya dan menurunkan kembali tangannya. Begitu juga Sherly. Mereka bertiga sama-sama melihat ke arah Ferry.
"Ke sini dulu sebentar. Andin, kau ajak Sherly dulu, Papa pinjam Tommy dulu sebentar. Ada bisnis yang harus dibicarakan oleh kami," ledeknya.
"Papa pikir Tommy barang," kata Andin.
Mereka semua pun tertawa. Tommy berbisik pada Sherly sesaat sebelum ia bergabung dengan para orangtua. Sedangkan Andin dan Sherly saling bertatap diam sebelum akhirnya si Bibi mengejutkan tatapan mereka.
"Non, mau minum apa?" tanya Bibi pada Sherly.
"Tidak usah, Bi, terima kasih."
"Non, Andin?"
"Melon squash."
"Baik, Non."
"Itu kan minumannya Tommy?" pikir Sherly. "Apa mereka memiliki kesukaan yang sama atau si gadis ini hanya ikut-ikutan?"
"Ayo, Sherly, kita duduk di sana saja," ajak Andin tanpa peduli dengan wajah garang Sherly. Ia sengaja meminta minuman yang sama untuk melihat respon Sherly. Sebenarnya ia tidak ingin bicara dengan Sherly, tapi mungkin sudah saatnya bagi Andin untuk mengorek informasi tentang hubungan antara mereka berdua. Sedari tadi ia sangat penasaran dengan sikap Tommy dan Sherly. Baginya itu hal aneh jika tidak ada hubungan apa-apa, tapi mereka begitu dekat.
Di sisi lain.
"Tommy," kataFerry setelah pemuda itu duduk di sampingnya. "Ini adalah Pak Malik. Beliau ini adalah mantan pejabat di kota ini. Beliau juga adalah pemilik perusahan yang bernama MSS. Beliau memberikan kepercayaan pada om Ferry untuk membeli lokasi-lokasi yang cocok untuk industri-industri bisnis. Dan sebagai pekerja konstruksinya, om punya tim sendiri yang memang sudah dipilih melalui evaluasi. Kalau untuk kontraktor dan desainer, om mempercayakan Charles Fabian dan Harry Mesya sebagai kontraktor senior. Khusus desainer, om memiliki desainer sendiri yang sudah bertahun-tahun bekerja di MSS, tapi kali ini..." Ia menatap Malik. "Pak Malik ingin kau bergabung bersama kami dalam tim desainer."
"Aku senang kau bisa bergabung dalam pekerjaan ini, Tommy," kata Malik sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat dengan Tommy. Setelah berjabat tangan, Malik mempercayakan Ferry sebagai tangan kanannya untuk menjelaskan secara spesifik tentang kaitannya dengan Tommy.
"Jadi begini, Tom, kau pasti bingung kenapa om mengajak kamu dalam tim kami." Ferry pun menjelaskan keterkaitan Tommy bersama mereka. "Karena Pak Malik sudah melihat hasil kerjamu melalui relasinya di Jawa kemarin, beliau memutuskan agar kau yang menghandle desain-nya dalam sebuah tender yang akan ditangani oleh ayahmu dan Om Harry."
"Benar," sambung Malik. "Aku akan memberikanmu waktu satu bulam setelah kita melihat lokasinya. Berapa persen pun yang kau minta akan kuberikan." Ia menatap Tommy sesaat. Dilihatnya raut wajah Tommy yang terkejut senang. "Bagaimana, kau setuju?"
Tommy tersenyum. "Pertama aku ucapkan terima kasih karena Anda mau mengikutsertakan saya salam proyek ini. Masalah komisi, saya harus melihat dulu lokasinya."
"Baik, besok aku akan mengajakmu ke lokasi proyek. Tapi apa kau punya gambaran untuk harga dari desain-mu itu?" tanya Malik.
"Biasanya lima sampai enam persen dari biaya anggaran."
"Oke, deal. Aku akan kasih kamu sepuluh persen, tapi dengan satu syarat."
Tommy menatap sang ayah dan Ferry. Mereka tersenyum tanpa berkata apa-apa. Dilihatnya kembali wajah Malik. "Syarat apa itu, Pak?" Alisnya berkerut.
"Kau harus selalu siap jika aku membutuhkanmu. Proyekku banyak, Tommy, dan aku ingin kau menjadi desainer untuk perusahanku. Aku tidak ingin kau bekerja sama dengan perusahan lain selama proyek kita belum selesai."
"Eh, Pak Malik," panggil Ferry. Ia menunggu sampai lelaki yang seumuran itu menatapnya. "Tommy juga bisa menghandle tender. Charles sudah melatihnya sejak masih kuliah. Jadi, selain desainer, Tommy juga bisa menjadi kontraktor."
Kepala Malik tersentak. Ia menatap Tommy. "Benarkah itu, Tommy?"
Ia menunduk malu. "Ya, Pak."
"Hebat! Kalau begitu mulai sekarang kau harus bergabung di perusahanku. Ferry! Kau masukan nama Tommy dalam struktur kontraktor dan desainer. Charles dan Harry juga. Dan Tommy..." Ia mengalihkan pandangan. "mulai sekarang kau resmi menjadi karyawan di perusahanku tanpa lamaran."
Wajah Tommy girang. "Anda serius, Pak?"
"Ya, Tommy. Aku tidak pernah main-main. Kau tanya sendiri pada Ferry."
Ketiga lelaki itu tertawa. Begitu juga dengan Lisa dan Lenna. Mereka ikut bahagia mendengar Malik memberikan pekerjaan kepada lelaki yang mungkin sebentar lagi akan menjadi menantu di keluarga Mesya.
"Terima kasih banyak, Pak. Terima kasih." Tommy berjabat tangan dan memeluk Malik. Ia menepuk-nepuk punggung lelaki itu. "Aku tidak akan mengecewakan Anda, Pak. Aku janji."
Di sisi lain.
Di posisi kolam renang yang tak jauh dari tempat perbincangan para orangtua, Andin dan Sherly sedang duduk di pinggir kolam dengan kaki terendam sambil menatap lelaki yang menjadi pujaan mereka.
Tak tahan karena sedari tadi Sherly tidak mau bicara, Andin pun berkata, "Apa kau dengan Tommy pacaran?"
Nada yang dilontarkan Andin membuat Sherly bisa menebak bahwa gadis itu cemburu. Dilihatnya wajah Andin yang duduk di samping kanannya. Jarak mereka sekitar satu meter. "Apa Tommy tidak cerita padamu?"
Andin menunduk menatap air yang dimainkan oleh kakinya. "Tidak."
"Kenapa? Bukannya kalian sangat dekat," desaknya.
Kepala Andin tersentak menatap Sherly. "Dari mana kau bisa berpikir begitu?"
Sherly berdecak sambil tersenyum. "Tommy banyak menceritakkan tentangmu padaku. Katanya kalian sudah bersahabat sejak kecil."
Andin mengalihkan pandangannya ke arah Tommy. "Itu benar. Kami sudah berteman sejak SD, di mana papaku dan ayahnya terlibat proyek besar. Sejak saat itulah aku dan dia selalu bersama ke mana pun kami pergi. Dia sering mengantar-jemputku ke sekolah dan menemaniku jalan-jalan."
Hati Sherly sakit. "Mengantar jemput?" tanya-nya dalam hati. "Itu kan hal sama yang lakukannya padaku." Ia menatap profil Andin. Ditatapnya wajah wanita itu yang ternyata sedang menatap Tommy.
"Tapi kebersamaan kami hanya sampai tujuh tahun lalu. Saat itu Tommy kelas tiga SMA dan aku kelas tiga SMP. Waktu itu Om Charles kebetulan punya proyek di Jawa..."
"Itu benar. Om Charles bekerja sama dengan ayahku."
"Aku tahu. Jadi, mau tidak mau Tommy harus ikut bersama mereka. Dia bahkan pergi tanpa memberitahuku. Jadi, aku sempat kaget waktu ayah memberitahu keberadaannya. Saking kesalnya, aku mengganti kontak dan tidak pernah menghubunginya sampai sekarang ini. Padahal aku tidak pernah semarah itu padanya."
Sherly mengikuti arah mata Andin. Mereka sama-sama melihat Tommy. "Apa kau menyukainya?"
Zet!
Mata Andin tersentak menatap Sherly. Apa aku harus jujur padanya jika aku menyukai Tommy? Tapi bagaimana kalau dia adalah pacar Tommy?
Sherly balas menatapnya. "Persahabatan yang begitu dekat dan lama, tidak mungkin tidak ada perasaan yang muncul dalam hatimu. Kau menyukainya, kan?" Suara Sherly terdengat tenang.
Ingin sekali Andin berkata ya, tapi ia takut seandainya jawaban itu akan menyakiti Sherly meski dirinya belum terlalu yakin jika gadis itu dan Tommy punya hubungan spesial. Tapi dari cara dan gerak gerik mereka, Andin sangat yakin mereka memiliki hubungan.
Tapi untuk apa ia menjaga perasaan Sherly? Toh memang benar ia mencintai Tommy. Justru bagus dong kalau Andin jujur soal perasaannya terhadap Tommy, karena itu pasti akan membuat hubungan mereka berantakan dan itu adalah kesempatan Andin untuk merebut Tommy.
Tidak! Itu tidak boleh terjadi. Jika benar Tommy dan Sherly memiliki hubungan spesial, gadis ini pasti akan berusaha menjauhkan Andin dari Tommy dan itu akan mempengaruhi persahabatan yang sudah terjalin begitu lama. Jadi, demi menjaga Tommy agar selalu bersamanya, Andin pun berkata, "Tidak. Aku sudah menganggap Tommy seperti kakakku sendiri."
Continued___