webnovel

Hello, Riska

Adult Romance—Action. “Live must go on, but you don't let me move on.” Meira Aurora, si model majalah dewasa yang namanya terkenal seantero Universitas Malaka dalam predikat buruk, sebab pekerjaannya mendapat stigma negatif dari manusia di kalangan kampus. Bagi semua mahasiswa, Meira terlalu menggiurkan, kalau bagi mahasiswinya Meira terlalu menjijikan. Mereka bahkan mengira kalau Meira sering melakoni make out dengan dosen agar nilainya naik. Ada satu hari di mana seorang mahasiswa pemimpin organisasi Mapala di kampusnya berhasil menarik perhatian Meira, Riska Prakasa namanya. Berkat video kissing scene Riska serta Luna yang Meira dapatkan hari itu, ia bisa menarik Riska dengan mudah ke arahnya. Lambat laun Riska tahu siapa Mey sebenarnya, tentang kehidupan yang brutal serta segudang omong kosong, Riska juga tahu alasan Meira selalu menangis di kolong meja ruang makan. Riska mulai memiliki alasan mengapa ia harus menjaga Meira agar tetap baik-baik saja saat seseorang ingin melenyapkan gadis itu. Lantas, ada hari di mana pekat benar-benar menghampiri Meira dan memunculkan titik terendah dalam kehidupannya. Copyright by aprilwriters 2021.

aprilwriters · 现代言情
分數不夠
244 Chs

Wound tonight.

Lagi-lagi Meira mendapat kiriman bunga tulip yang sudah tergeletak di meja ruang tamu apartemennya, ia baru saja pulang sekitar pukul lima sore setelah hangout dengan ketiga temannya, jarang sekali Meira kumpul bersama mereka jika berada di luar kampus, biasanya mereka pergi dengan pacar. Entah karena merasa kasihan pada Meira sebab tak memiliki kekasih atau memang ingin menghibur sahabat yang sudah dua hari terakhir tertangkap rajin melamun di segala tempat, bahkan saat jam kuliah tengah berlangsung Meira sempat diminta rajin membaca doa oleh dosen takut-takut lamunan panjang mahasiswinya berubah menjadi kisah horor.

Rasa semangat Meira memang sedang pergi, hari ini adalah hari kedua Riska tak ada di Jakarta, dan entah bagaimana kabarnya saat chat yang Meira kirim sama sekali tak dibaca—apalagi dibalas, saat nomornya dihubungi pun terkesan sibuk, jadilah Mey bertambah kesal dan semakin galau.

Orang lain yang dipikirkan belum tentu melakukan sebaliknya, bukan?

Ketiga sahabatnya begitu pandai membuat Meira ceria lagi meski hanya beberapa saat, sebab setelah ia mengemudikan mobilnya menjauh dari mereka—resah kembali merasuk, membuat kegundahannya tak pernah benar-benar pergi.

Mey meraih buket tulip merah muda tersebut, ia menemukan greeting card terselip di sana, ia membaca dalam hati beberapa patah kata yang membuat Meira langsung menghempaskan bunga kesukannya itu ke meja.

'Dear, Meira

Mama tunggu di bistro apartemen malam ini jam 8 ya, Sayang. Ada hal penting yang mau mama bicarakan, tolong datang biarpun cuma sebentar.'

"Ini orang maunya gimana, sih," gerutu Meira, "kapan sih mama mau sadar kalau gue enggak mau ketemu dia atau duduk sama-sama lagi, kapan mama mau ngerti. Pokoknya gue nggak akan turutin keinginan dia." Baru saja Meira selesai berbicara—ponsel di tasnya berdering, ia mengeluarkan benda pipih tersebut, tapi tak lantas mengangkat panggilan, sebab nama yang tertera di layar adalah Ashila.

Meira mendiamkannya hingga panggilan berakhir sendiri, tapi tak cukup sampai di situ. Ternyata Ashila masih terus menghubunginya meski tetap Mey abaikan, putrinya menyimpan ponsel di bawah bantal sofa sebelum melenggang menghampiri kamar tanpa peduli jika Ashila terus menghubunginya, sekarang suara bising dering telepon takkan mengusiknya lebih nyaring setelah tertutup bantal sofa.

***

(Meiraku tersayang, cepet ke bistro di bawah.

Gw tadi mau ketemu sama temen yang kebetulan penghuni baru di apartemen tempat lo, eh malah dia gak datang, sayang makanannya udah gw pesen, sekarang lo turun dan temenin gw makan)

Meira mendengkus sebal setelah membaca chat yang Lolita kirimkan, padahal ia tengah asyik menonton drama Korea di laptop seraya menikmati kudapan malamnya di ranjang kamar. Sayangnya, Lolita mengusik kenyamanan Meira di saat yang tidak tepat.

Sekarang sudah jam delapan lebih, niatnya Meira ingin marathon menonton semua episode yang baru sempat ia tonton malam ini hingga tengah malam nanti, tapi chat Lolita mengubah rencananya.

Meira mengalah dan memutuskan mengakhiri drama Korea dari laptopnya sebelum keluar dari unit meski hanya memakai piyama pendek, toh ia hanya akan turun ke bawah, bukan ke area yang jaraknya jauh dari apartemen.

Gadis itu terus mengalah seraya menempelkan ponselnya di telinga kiri saat ia baru memasuki area bistro yang terlihat ramai pengunjung, di luar sana hujan baru saja tiba dan mengguyur bumi Jakarta sesuka hati, udara jadi terasa lebih dingin dari sebelumnya. Jika sudah seperti itu alternatif termudah adalah menikmati semangkuk mie rebus lengkap dengan sawi dan telur, atau memakan menu yang pedas.

Namun, entahlah apa yang Lolita pesankan untuk temannya. Mey tengah berbicara dengan Lolita lewat ponsel saat ia sibuk mencari keberadaan managernya, sebab area bistro cukup luas dan membuat Mey kelimpungan sendiri, ia tak tahu di mana posisi Lolita.

Saat Meira melihat dari kejauhan seseorang melambai tangan, ia bergeming seraya memastikan sejenak sebab jarak masih jauh. "Iya deh kayaknya itu si Asep," gumam Mey meyakinkan diri, ia mengakhiri panggilan keluar dan menyimpan ponselnya ke saku celana sebelum bergegas menghampiri Lolita yang menunggunya sejak tadi.

"Datang juga si cantik," ucap Lolita, "sini duduk, gue udah telanjur pesan buat dua orang malah dia nggak jadi ke sini karena urusan mendadak."

"Siapa emang?" Meira duduk di samping Lolita, terhidang dua mangkuk ramen di permukaan meja, asap masih menguar dari makanan khas Jepang tersebut.

"Namanya Audrey, ada di lantai sepuluh tempatnya. Langsung dimakan, Mey. Mumpung lagi hujan deras makan ramen enak banget yey."

"Bener banget." Meira mulai menyantap makanannya dengan lahap, seperti biasa—seperti orang yang tak pernah makan. Sesekali ia menatap keadaan sekitar dalam euforia keramaian nan menyenangkan, terlihat dari kaca tebal di bagian depan bistro tersebut memperlihatkan derasnya air hujan yang menyentuh selasar hingga setiap tetesnya memantul ke sudut yang lain, beberapa orang tampak berlindung dari guyuran air hujan di sisi bistro.

Meira menoleh ke belakang, ia menyipit saat menemukan ibunya, lantas kening semakin berkerut saat Mey juga melihat jelas seorang perempuan duduk membelakanginya tengah berbicara begitu akrab dengan Ashila. Satu lagi, pria bule berada di antara mereka.

Apa itu suami mama yang baru? Terus anak perempuan itu siapa, batin Mey setelah tak menoleh lagi, ia mulai berpikir selama ini belum pernah sekalipun Meira melihat sosok suami baru Ashila, ia hanya tahu kalau nama ayah tirinya adalah Fredy, bahkan saat hari pemberkatan pernikahan di gereja Mey tetap tidak datang, ia malah menyingkir ke Bali untuk menenangkan pikiran. Jujur, Mey benar-benar marah saat Ashila tetap menikah lagi meski putrinya selalu menolak, sampai hari ini pun Meira tak pernah merestuinya.

"Loli, gue ke sana sebentar, ya. Kayaknya gue kenal seseorang," ucap Meira setelah meyakinkan diri jika ia harus menghampiri Ashila guna memastikan sesuatu, ia juga baru mengingat jika Ashila memintanya datang ke bistro malam ini, rupanya mereka akan tetap bertemu juga meski Meira tak pernah berniat mengikuti keinginan ibunya.

"Oke, Mey."

Meira beranjak dan melangkah perlahan menghampiri Ashila yang masih terlihat akrab berbicara dengan perempuan yang entah siapa, Mey mulai menduga-duga sampai ia tiba di dekat meja Ashila—tepat saat sang ibu menatap ke arahnya. Sontak Ashila beranjak seraya memasang senyum sumringah menanggapi kehadiran Mey.

"Sayang, kamu beneran datang, makasih banyak, Nak," tutur Ashila yang kini berdiri di dekat Meira, saat hendak menyentuh tangan gadis itu—tangan Meira justru menghindar, putrinya terpaku menatap sosok Fredy serta perempuan yang sempat berbicara dengan Ashila, Meira mengenali wajahnya.

"Meira?" Perempuan tersebut tampak senang, ia berdiri diikuti Fredy. "Jadi, Meira ini anak Mama dari suami yang dulu, ya?"

"Mama." Meira tampak terkejut mendengar Luna menyebut Ashila dengan sebutan 'mama', ia menatap nanar Ashila dan Luna bergantian, sangat jelas jika ia membutuhkan sebuah penjelasan detik ini juga. "Apa ini, kenapa Luna panggil Mama dengan sebutan yang sama. Dia siapa?" Meira terlihat marah.

"Luna ini sekarang anak mama, Mey. Dia putrinya papa baru kamu, Papa Fredy," ucap Ashila dengan tenang, ia menyentuh lengan Meira, tapi gadis itu menepisnya dan memperlihatkan mata yang berkaca.

"Jadi, aku punya saudara tiri dari suami Mama yang baru, dan dia adalah Luna."

"Iya, Mey. Niat mama meminta kamu ke bistro ini memang untuk memperkenalkan kamu tentang saudara tiri dan papa baru kamu, kalian satu apartemen."

"Ini nggak mungkin." Air mata meluruh setelah bendungannya tak mampu lagi menahan terjangan yang sudah disimpan sedari tadi. "Sejak awal aku nggak pernah menyetujui pernikahan Mama, dan sekarang Mama kasih surprise luka yang membuat aku semakin sakit, Ma! Aku nggak mau punya saudara tiri siapa pun itu!" Mey sampai berteriak saking emosinya, pengunjung bistro pun memperhatikan ke arah mereka—termasuk Lolita yang kini beranjak menghampiri Meira.

"Mey, kamu udah dewasa, harusnya kamu bisa menyikapi semua ini dengan bijak," tutur Ashila yang juga memperlihatkan wajah sedihnya, ia tak menyangka jika Meira akan menolak kehadiran Luna sebagai saudara tiri. Luna hanya diam, ia menunduk saat tatapan marah dalam eboni Meira menghunusnya, bahkan lebih mengerikan saat air mata turut serta. Fredy juga memilih diam, ia merasa jika masalah tersebut harus diselesaikan oleh Ashila dan Meira saja. Jika Fredy angkat bicara ia hanya takut akan menambah masalah.

"Ada apa, Mey? Kok lo nangis sambil teriak-teriak, semua orang lihat ke sini," ucap Lolita tampak khawatir, ia menatap Ashila, Luna dan Fredy bergantian. Wajah-wajah mereka terlihat asing di matanya, mungkin hanya Luna yang masih familier sebab Lolita pernah melihat beberapa kali saat datang ke unit Meira.

Tatapan Mey yang sempat menghunus Luna kini beralih pada Ashila. "Mama dengar ini baik-baik, tanpa Mama bicara pun aku udah mulai belajar dewasa setelah Mama memutuskan ikut suami baru Mama ke Jerman dan tinggalin aku di Jakarta. Mama nggak perlu repot menjelaskan, tapi untuk masalah yang satu ini aku nggak mau toleransi. Mama memang nggak pernah sayang sama aku, kalau tahu begini lebih baik Mey ikut papa waktu itu." Ia melenggang pergi seraya melanjutkan air mata, berlari kecil di antara banyaknya orang yang melihatnya tanpa ingin peduli.

Pintu keluar yang terlihat sangat dekat mengapa jaraknya terasa cukup jauh dan sulit digapai, terdengar teriakan Lolita dan Ashila menyerukan namanya, tapi Mey sekalipun tak ingin menoleh. Ia tetap keluar dari bistro dan meninggalkan jejak luka yang tercecer di mana-mana.

Beberapa penghuni apartemen yang terlihat di lobi merasa aneh melihat Meira datang dengan wajah yang sembap, saat petugas resepsionis bertanya dengan raut cemasnya pun Meira tak menjawab dan hanya menggeleng sebelum menghampiri lift. Untungnya ia sendirian berada di dalam lift agar leluasa melanjutkan isak tangisnya, Mey meluruh dan terduduk di sudut lift seraya menangis.

"Kenapa harus Luna, Ma. Kenapa, kenapa dari semilyar orang di dunia kenapa harus Luna." Mey membenamkan kepala di antara ruang lutut yang tertekuk dalam pelukannya, ia benar-benar sakit hati malam ini, air hujan dari langit sama seperti air hujan di wajahnya.

Lantas petir yang terdengar menjadi aba-aba akan sesuatu.

***