Terlepas dari berbagai culture sekolah manusia yang baru dia ketahui, minggu pertamanya di sekolah sebenarnya berjalan dengan lancar--bahkan meski Olivia duduk di samping orang aneh dan salah satu komputernya dijual Elisa. Tapi yaa, semua itu masih belum cukup untuk membuatnya ingin berhenti sekolah.
Hanya saja yang justru jadi masalah sekarang… "Dilihat dari manapun tulisannya 51…" Gumamnya sendiri yang daritadi terus memandangi nilai di kertas ulangannya. Dia sempat mengira kalau 51 adalah nilai penuhnya, tapi karena teman-teman sekelas lainnya dapat lebih dari 51, teori itu pun langsung terbukti salah.
Sebenarnya dia sudah agak menduga ini sejak tahu kalau ilmu pengetahuan manusia sama sekali tidak ada hubungannya dengan buku turis yang sering dia baca. Makanya dia juga sudah sengaja mengurangi jam main gamenya sebanyak setengah jam untuk belajar lebih. Tapi setelah semua usaha payahnya, dia tetap dapat 51…
Dan itu baru permulaannya. Sebagai orang yang tidak pernah dapat nilai kurang dari 100, dapat nilai 50 memang sudah terasa tidak nyata. Tapi kalau menurut standarnya dulu, nilai di atas 50 harusnya sudah termasuk bagus dan sudah tidak akan diomeli guru. Tapi anehnya di sini, Olivia malah disuruh melakukan sesuatu yang namanya 'remedial'.
"Eh apa? Jadi maksudnya Aku tidak boleh langsung pulang dan malah disuruh untuk ulangan lagi?" Tanya Olivia untuk kesekian kalinya. "Manusia di sini kejam juga sama anak muda…"
"Kenapa kau kelihatan kaget begitu?" Balas Mary yang akhirnya tertawa melihat Olivia terus-terusan memasang wajah shock. "Apa di sekolahmu yang lama kau tidak pernah dapat nilai rendah?"
Masih sibuk cemberut, Olivia tidak menyahut dan mulai mengoceh sendiri. "Tapi ya tentu saja. Kalian bahkan bisa buat sesuatu yang canggih seperti handphone. Jadi tentu saja standarnya harus tinggi."
"...Kau bicara dengan siapa?"
"Daripada itu…" Sahut Olivia yang langsung mengalihkan pembicaraan. Soalnya hal berikutnya yang tidak begitu dia percaya adalah Fiona yang dapat nilai 100 di semua ulangannya. "Jangan-jangan Fiona itu jenius?"
"Sayangnya iya." Balas Mary yang mulai memasang ekspresi getir juga.
Olivia yang selalu dipanggil jenius tidak pernah begitu tahu, tapi ternyata melihat orang jenius yang bisa dapat nilai sempurna padahal kelihatannya tidak belajar memang agak menyebalkan. Belum lagi orangnya sudah menyebalkan juga.
"Haha, nilaimu jelek ya? Dasar payah." Cemooh Fiona akhirnya.
Tapi karena tidak punya balasan, Olivia akhirnya terpaksa mengalah dan memilih untuk tidak menyahut. "Tapi omong-omong nilaimu berapa?" Tanya Olivia ke Mary lagi.
Mary mengacungkan jempolnya. "Pas 75."
"Ada yang dapat nilai seratus tidak? Aku mau lihat jawaban benarnya." Kata Olivia. Tapi karena Mary malah mengalihkan pandangannya pada orang di sebelah lagi, Olivia harus cepat-cepat menambahkan, "Selain dia."
"Mm, Nia juga biasanya dapat seratus." Kata Mary yang kemudian melambai-lambaikan tangannya memanggil Nia.
Dan memang, untungnya Nia juga dapat nilai seratus. Sehingga dengan baik hatinya, Nia pun menunjukkan kertas ulangannya. Tapi karena Olivia masih kelihatan merengut tidak paham saat melihatnya, Nia pun menawarkan kebaikannya yang lain. "Mau kuajari?" Katanya.
Tapi bukannya langsung menjawab, Olivia malah menyahut, "Tapi ini… kalau ulangan perbaikan nanti Aku belum dapat 75 bagaimana?"
"Ya ulangan perbaikan lagi." Sahut Mary.
Olivia shock lagi. "Terus, kalau belum 75 lagi Aku harus ulangan perbaikan terus?"
Mary tertawa getir. "Ditambah, karena ulangan hariannya akan sering, hutangmu akan menumpuk kalau kau tidak segera menyelesaikannya. Aku juga masih punya hutang satu ulangan kimia."
Olivia masih melotot shock. "Terus bagaimana dong?"
"Ya belajar. Memangnya bagaimana lagi." Kata Nia. Olivia sudah akan membuka mulutnya untuk protes lagi, tapi Nia langsung melanjutkan. "Kau harus kurangi main gamenya. Kalau terus-terusan ulangan perbaikan, bahkan hari sabtu juga harus masuk."
"Tapi Aku sudah menguranginya setengah jam!"
"Kalau begitu kurangi 1 jam lagi."
Saking shocknya, Olivia akhirnya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Meski anehnya setelah terkena serangan jantung seperti itu, ekspresi paniknya berubah jadi pasrah. "Apa boleh buat. Kurasa memang sudah takdirnya Aku berhenti sekolah saja."
Tidak mengindahkan desahan Olivia, Nia malah sudah mengambil bangku lain untuk duduk di sebelah Olivia dan diam-diam menyuruhnya untuk mulai belajar lagi. Jadi walaupun Olivia belum ingin belajar, akhirnya dia terpaksa mulai baca-baca sedikit apapun yang ditunjuk oleh Nia.
Mary yang tidak ada kerjaan tadinya cuma diam menonton Olivia dan Nia sambil meneguk jus kotaknya, tapi entah kenapa dia kemudian iseng mengacak-ngacak kertas ulangan Olivia yang lain. "Ooh? Ulanganmu yang lain nilainya tidak buruk? Malah yang sejarah dapat 100."
Dan seketika itu Olivia langsung terlihat senang. "Ya kalau sejarah Aku suka." Jawabnya. Soalnya sebagai seorang turis, sejarah budaya manusia memang sangat menarik di matanya.
Agak kaget dengan senyum tulusnya, Mary dan Nia sempat terdiam sejenak. "Wah, kau terlihat manis saat mengakuinya begitu." Celetuk Mary agak tertawa. "Tapi kalau kau suka sejarah kenapa malah masuk jurusan sains?"
"..."
Pertanyaan itu sebenarnya agak nyelekit, tapi akhirnya Olivia menjawab dengan seadanya. "Ya karena biasanya Aku pandai sains..." Katanya. Soalnya kalau di dunianya yang dulu, yang namanya sains adalah subjek yang berhubungan dengan ilmu sihir. Dan Olivia adalah murid nomor 1 satu sekerajaan kalau masalah itu. Bahkan sebaliknya, dia juga paling tidak suka mempelajari sejarah yang biasanya membahas masalah politik kerajaan.
Pasti itu sebabnya Elisa spontan mencentang pilihan sains saat mendaftarkan sekolah untuk Olivia.
Dan awalnya Olivia juga tidak keberatan dengan hal itu. Ditambah, Olivia juga dengar kalau kau ingin mempelajari teknologi manusia lebih dalam, jurusan sains adalah pintu utamanya. Jadi yaa, Olivia tidak bisa menyalahkan Elisa sepenuhnya untuk masalah ini.
"Tapi biologimu juga bagus." Komentar Nia kemudian. "Sepertinya kau hanya buruk dalam pelajaran yang menghitung saja."
"Oh, benar! Biologi mengejutkan!" Balas Olivia tiba-tiba terdengar sumringah.
"...Maksudnya?"
"Uhh..." Tapi Olivia baru ingat kalau dia tidak bisa menjelaskannya.
Penjelasan yang ingin Olivia katakan sebenarnya adalah bagaimana biologi di dunia manusia lumayan mirip dengan dunia asalnya. Bahkan penggunaan bahasa latinnya juga sama. Itulah kenapa dia bisa cepat memahaminya. Ditambah, struktur makhluk hidup di sini juga tidak begitu berbeda dari yang ada di dunianya.
Tapi karena tidak bisa menjelaskannya seperti itu, Olivia pun akhirnya mencari jawaban singkat yang lain. "Mm, maksudku menyenangkan." Celetuknya. Tapi karena Nia seperti sudah akan bertanya lagi, Olivia pun buru-buru mencari topik lain. "Daripada itu, ajari saja Aku untuk menulis x sepertimu. Tulisan tanganmu bagus."
"...X?" Ulang Nia.
"Iya. X ini." Tunjuk Olivia pada kertas ulangan milik Nia.
"Iya. Misalnya Mary termasuk yang menggunakan gaya elok, sedangkan kau dan Fiona menggunakan x biasa. Lalu para guru juga berbeda-beda. Kalau pak guru fisika menulisnya x elok, lalu guru matematika menulisnya x biasa." Oceh Olivia.
"…Memangnya penting? Yang penting para guru paham. Tulisan tangan orang kan memang beda-beda." Kata Nia heran.
"Tapi Aku terus kepikiran kalau x-ku belum bagus."
"Fokus saja pada hitungannya."
"Tapi x-nya juga harus dihitung kan?"
"...Kau segitunya tidak mau belajar ya?"
"Iyaa!!"