Streta menatap malas ruang kelas baru, yang kini juga sama halnya berada di lantai dua. Pagi ini, suasana masih sepi. Belum banyak siswa yang datang. Tidak seperti ketika sekolah dasar dulu, di mana banyak siswa yang rela datang di pagi hari hanya untuk merebut bangku-bangku yang diinginkan.
Kali ini dia duduk bersama Aruna, sama sewaktu ketika dia menduduki bangku kelas sepuluh. Lebih tepatnya di deretan bangku kedua dari depan. Itu terlihat biasa saja. Gadis itu mencoba menstabilkan dirinya untuk bisa sesuai dengan kelas barunya itu.
Dia mengedarkan pandangannya, tampak semua temannya tengah sibuk. Entah tengah sibuk berbagi kesan dan pesan selama liburan, menganalisis perilaku atau bermain ponsel. Ya, semacam itulah teman-temannya.
"Lo kenapa si, gusar banget keliatannya?!" Aruna menyenggol lengan sahabatnya itu. Sementara gadis yang ditanya hanya menatap jengah sahabatnya.
"Ini gue yang kepagian apa gimana si?!" ucap Streta masih tak percaya. "Bentar lagi kan upacara bakal dimulai, tapi lihat kelas masih sepi kek kuburan gini."
Aruna hanya geleng-geleng tak peduli. Untuk saat ini, gadis itulah yang tengah kacau, bukan keadaan kelas. Bukankah dari dulu kelas mereka memang selalu seperti itu? Dipenuhi oleh sekelompok siswa teladan yang menghuni di dalamnya. Ya, sangat teladan.
Alunan musik bel tanda masuk kian menggema, membuat beberapa dari mereka sibuk berkemas. Mengenakan atribut pelengkap seragam OSIS, jika tidak? Guru-guru yang notabene-nya sebagai kesiswaan akan langsung menarik paksa, lalu menyuruhnya untuk baris di tempat yang telah disediakan. Tak berhenti dari itu, guru BK akan dengan senang hati mencatatkan poin pelanggaran pada siswa-siswi tersebut.
"Ayok anak-anak, segera turun ke bawah. Upacara akan segera dimulai." Instruksi dari Bu Dinar mulai terdengar, sambil tangannya bertepuk-tepuk. Membuat banyak siswa kian mempercepat gerakannya, tak terkecuali gadis itu, Streta.
"Bilangnya upacara bakal segera dimulai, tapi lihat aja ntar kalau kita sampai di sana pasti ngaret," ungkap Streta kesal, masih sibuk memanjangkan kaus kakinya yang biasanya ia lipat.
"Kalian berdua cepat turun ke bawah!" Mendapati Streta dan Aruna yang masih berada di kelas, membuat Bu Dinar harus memaksa keduanya untuk segera turun. Yang dipaksa hanya menurut dengan sikap ogah-ogahannya.
"Kalian ini ya, udah SMA masih saja seperti anak SD. Belum bergerak kalau gak disuruh," omel Bu Dinar di tengah-tengah keramaian.
Streta menatap sekeliling halaman sekolahnya, tampak sudah penuh saja. Tetapi tetap saja, belum ada tanda-tanda kapan jam pastinya upacara akan dimulaikan. Kini, ada yang berbeda, karena memasuki jenjang kelas sebelas. Membuat Streta dan teman-temannya harus menggeser posisi tempatnya dalam berupacara.
Seperempat lapangan yang didominasi oleh pakaian biru putih, alias pakaian SMP kini membuat Streta membayangkan bagaimana dulu saat pertama kali dirinya hadir di sekolah ini, itu sangat menyedihkan. "Gue jadi inget dulu pas pertama masuk di sekolah ini, deh Na."
"Gue juga Ncess. Wajah penuh kepolosan, pakaian SMP dengan size yang udah pas badan, dan wajah tanpa riasan apapun." Sontak keduanya tertawa sedikit keras, yang kemudian membuat Pak Herman harus menegurnya.
"Di mana anak laki-laki kelas kalian?" tanyanya sedikit membentak.
"Lagi mau turun Pak," jawab Streta jujur. Diikuti helaan napas tak percaya dari wajah Pak Herman.
Streta kemudian menatap ke belakang, waktu ke waktu barisan kelasnya kian memanjang. Syukurlah. Dia memang selalu jadi cewek yang pertama hadir, tentu saja lengkap dengan Aruna. Lain halnya dengan Aline dan Glea yang selalu menjadi cewek yang baris paling terakhir. Sementara Audina sibuk menjadi anggota PMR, dan Maura sibuk menjadi petugas upacara, membuat keduanya jarang ikut serta dalam barisan kelasnya.
Upacara dimulai, dan berlangsung sedikit alot, ditambah pembinanya adalah Kepala Sekolah tercinta ini, yang jika bagian amanat upacara akan banyak menjejalkan banyak sekali perkataan-perkataan nasehat atau semacamnya, membuat kaki terasa pegal saja, karena berdiri cukup lama.
Terlepas dari itu semua, ada sisi positifnya juga menjalani upacara pagi ini, apa dia? Upacara sebagai ajang untuk melihat doi yang telah lama tak terlihat semasa waktu liburan kemarin.
"Fayzan tambah manis ya?" Streta masih sibuk menatap pria yang barisannya tidak jauh dari tempatnya, bukan tidak jauh, tapi memang dekat. Fayzan kan kelas XI IPS 2, sementara gadis itu? XI IPS 3. Bersebelahan rupanya.
"Dari dulu kek gitu aja si Ncess." Aruna ikut menimpali. Sambil ikut melongok pesona Fayzan Pratadikara. Streta menatap sinis Aruna, tak terima dengan respon sahabatnya itu. "Maksud gue, dari dulu Fayzan emang manis," ungkap Aruna menjelaskan detailnya.
"Emang si, tapi lo gak boleh suka sama dia. Gue gak bakal ngijinin," ancam Streta sinis.
"Sans kali Ncess, gue cuma mengakui aja kok kalau dia manis," jawab Aruna. "Lagi pula gue gak suka sama cowok yang statusnya kini ialah pacar orang."
Streta diam, lantas membenarkan perkataan Aruna. Namun, dia tidak peduli. Sama sekali tak menjadi masalah baginya untuk tetap mencintai. Lagi pula, dirinya pun tak berniat untuk merusak hubungan keduanya. Dia hanya menganggumi pria itu, saja.
"Eh Na gue udah follow instagram Kak Gavin loh, dan dia udah nge-follback," kekeh Streta dengan bangga memamerkan. "Lo kalah cepet dari gue!"
"Habis ini gue follow," Aruna menyahut dengan santainya. "Tuh anaknya, ganteng ya?" tunjuk Aruna pada Streta yang dibalas dengan anggukan sempurna tanda setuju. "Dia kan emang gak pernah gak ganteng," celoteh Streta enteng. Disusul bunyi tawa yang memuncak di antara keduanya.
"Heh brisik, kalian mau kena hukuman apa?" peringat Nean pelan.
"Bodoamat!" Streta memberontak, mengabaikan saja peringatan Nean. "Heh Nean, guru-guru kan ada di belakang. Lah sementara kita? Kita baris di depan, jadi lo tenang aja," sahut Aruna mencairkan ketegangan yang terjadi.
"Buka mata kalian berdua, ada Bu Fatma di barisan sana." Nean mengarahkan pada sekelompok barisan XI IPS 1 bagian cewek depan. "Siapa tahu Bu Fatma denger kalian tertawa barusan."
Aruna dan Streta tertawa lagi, kali ini tanpa sedikitpun ragu. Sebab yang mereka tahu, suara mereka pasti akan teredam suara seluruh peserta upacara yang kini tengah sibuk menyanyikan lagu kebangsaan.
"Gila aja lo ya, Bu Fatma jauh di sana. Mana mungkin denger, ngaco deh lo Ne," cibir Streta gemas.
"Bu Fatma memang gak denger, tapi saya lihat dan dengar itu." Kali ini Bu Mia sudah resmi berdiri di samping kanan Aruna dan menjejalkan tatapan penuh kejutan.
Ketiga gadis itu kini terdiam kikuk, lantas mencuatkan cengiran pada masing-masing. "Eh, Ibu lagi ngapain ada di sini Bu?" kekeh Aruna basa-basi.
"Iya Bu, ada apa ya?" sahut Streta polos.
"Ada apa, ada apa!" Bu Mia mulai melengkingkan suaranya. "Kalian bertiga ikut saya sekarang!" pintanya.
"Hah? Saya juga Bu?" Nean langsung memberontak. "Tapi kan Bu, saya-"
"Tidak ada kata tapi, sekarang juga kalian bertiga ikut saya ke ruang BK, tanpa pengecualian! Atau orang tua kalian akan langsung saya panggil kali ini?"
Jika saja ancaman kedua itu benar, maka Streta tak berdaya. Reputasinya sebagai princess di sekolah ini, tentu saja akan hancur. Segera mungkin, Streta pada akhirnya memilih untuk menyerahkan diri pada guru itu.
Hari pertama sakolah langsung begini? Gimana selanjutnya?