Dargeçit, Mardin, Türkiye 2022
"Nona! Kami menemukan sesuatu!" seru seorang pemuda dari kejauhan.
Yang dipanggil menoleh. Meskipun si pemuda tidak menyebutkan namanya namun hanya dia satu-satunya wanita yang ada di sana saat ini. Jadi pemuda itu tentulah memanggilnya.
Dia menjauhi meja tempatnya bekerja dan bersegera menuju ke tepian tenda. Di bawah terik matahari, dari tempatnya berdiri manik hitamnya berusaha meneliti si pemuda yang berada di kejauhan sana.
Pemuda yang dikenalnya sebagai Deniz itu tengah berjongkok berhadapan dengan sebuah galian dangkal. Wajah pemuda itu menengadah ke arahnya. Topi baseball biru menutupi sebagian wajahnya sehingga matanya terlihat seperti garis lurus yang tipis. Yang tampak jelas adalah bagian hidung ke bawah. Dan sesuatu yang mirip seperti sebuah tas yang coba Deniz tunjukkan dengan mengangkat lengan kanannya.
Benda itu langsung menyita perhatiannya. Pupil matanya melebar saat melihatnya. Beberapa hari menggali dan mencari, akhirnya mereka menemukan sesuatu yang lain selain piranti maupun hiasan. Dan dia merasa dipenuhi oleh antusiasme untuk menelitinya. Mungkin itu akan menjadi penemuan terpenting dari pencarian mereka sejauh ini.
"Kemarilah!" serunya sembari melambaikan tangan kepada pemuda itu.
Deniz segera berlari-lari kecil mendekati tenda terbuka berukuran besar yang menjadi markas mereka selama dua minggu ini.
"Sepertinya ada sebuah buku di dalamnya, Nona Arsia," dengan bersemangat Deniz memberitahu. Senyumnya terkembang di tengah wajahnya yang saat ini menjadi wadah bagi peluh dan debu untuk beradu. Tangannya yang terbalut sarung tangan dan tak kalah kotornya terulur menyerahkan benda temuannya kepada Arsia.
Arsia menurunkan pandangannya pada benda yang diserahkan Deniz. Itu bukan sebuah tas seperti perkiraannya. Benda itu lebih pantas dibilang sebagai kantong.
Arsia mengambil kantong tersebut dari tangan Deniz, nyaris menyambar. Detik pertama tangannya menyentuh benda itu, dia langsung menyetujui bila ada sebuah buku di dalamnya.
Dengan tergesa Arsia menyapu tanah dan debu yang masih menutupi permukaan kantong yang terbuat dari kulit itu. Jemarinya dengan cekatan mengurai tali yang menutup kantong dan dengan segera meraih apa yang ada di dalamnya, seolah benda itu akan menghilang bila dia tidak bergegas.
Sebuah buku bersampul coklat tua lantas muncul ke permukaan pandangan mereka. Ukurannya tidak besar namun halamannya tebal.
Sepasang mata Arsia bergerak menyisir permukaan sampul buku itu. Mencari keberadaan sebuah judul. Sayangnya tidak ada apapun yang tertulis di atasnya.
Arsia melihat ke arah Deniz. Selama sepersekian detik keduanya saling melempar pandangan bertanya-tanya sebelum Arsia kembali berkutat dengan buku tersebut. Cepat-cepat jemarinya membalik sampulnya dan membuka halaman pertama dari buku yang usang itu.
Arsia terpekur. Kini dia berhadapan dengan rangkaian huruf yang tidak asing baginya, yang ditulis dengan tangan, dan dalam bahasa yang seharusnya tidak dimengerti olehnya.
Bahasa Persia. Arsia tidak ingat kapan dia pernah mempelajarinya sehingga saat ini dia dapat mengerti apa yang tertulis di dalam buku itu.
"Bagaimana..." Arsia berucap pelan sebab keterkejutannya yang bercampur dengan ketidakmengertiannya.
Deniz memandang Arsia. Keningnya berkerut mendapati reaksi seniornya itu. "Ada apa, Nona? Apa yang tertulis di sana?" dia penasaran.
"Ini sebuah jurnal," jawab Arsia tanpa melepaskan matanya dari halaman buku yang kini tengah dihadapinya.
"Anda bisa membacanya?" Deniz bertanya.
"Ya," Arsia menjawab tidak yakin.
Sekali lagi Arsia menyapukan pandangannya pada aksara di sana. Kali ini lamat-lamat dia mengejanya, satu per satu, hanya untuk mendapatkan bila dia tidak sedang berhalusinasi dan memang memahami apa yang tertulis di sana.
Pada tahun 1597, 2 tahun setelah Sultan Mehmed III naik takhta, lahir Shehzade (1) Salimhan putra dari Shehzade Melikshah.
Tanah ini masih menguarkan bau anyir setelah kematian 19 pangeran di istana. Kelahiran Shehzade Salimhan serupa mawar Damaskus yang menyisir kesedihan pada kami yang menantikan sebuah harapan.
Itu adalah tulisan pembuka dari jurnal di tangannya. Arsia membacanya dalam keheningan.
Sekelebat bayangan tiba-tiba menyambar dalam ingatan Arsia. Seorang pria dan wanita berdiri berhadapan, saling memandang pada satu sama lain. Keduanya tidak terlihat dari masa sekarang.
Sang pria memutus jarak, mendekati wanitanya. Di tangannya ada sebuah cincin bertahtakan sebuah batu berwarna kehijauan yang tidak Arsia ketahui apa jenisnya.
Pria itu lantas meraih tangan wanitanya dan dengan perlahan menyematkan cincin tersebut ke jari manis sang wanita.
Arsia tidak tahu siapa pria dan wanita tersebut. Wajah mereka terlalu samar dalam bayangannya.
Sebuah perasaan aneh yang begitu kuat menyusul muncul dalam hatinya, bila siapapun Pangeran Salim yang dimaksudkan dalam jurnal tersebut, dia mengenalnya. Dan lebih dari itu, seperti ada keterikatan di antara dirinya dengan sang pangeran.
Arsia meremang. Dia menutup jurnal itu dengan segera. Ada rasa gelisah dalam dirinya, yang mencegahnya untuk mengetahui apa yang tertulis di sana. Seakan apapun yang dituliskan dalam jurnal itu adalah sesuatu yang dapat melukainya.
"Apakah ada masalah, Nona?" tanya Deniz yang melihat Arsia tiba-tiba pias.
Arsia menggeleng cepat. "Maaf, Deniz tapi aku tidak seharusnya membacanya sebelum Tuan Selim."
Selim adalah ketua dari tim pencarian mereka saat ini. Sedangkan Arsia hanya asisten Selim di sana. Tapi tentu saja posisi itu hanya alasannya untuk mengelak saja. Kenyataannya Selim tidak pernah melarangnya untuk meneliti lebih dulu apapun yang mereka temukan sebelum pria itu.
Raut wajah Deniz berubah kecewa mendengar jawaban Arsia. Sebagai mahasiswa magang, dia ingin sekali segera mengetahui apa yang tertulis di dalam jurnal itu. Bila tidak keseluruhan isi jurnal, setidaknya pembukanya saja sudah cukup.
Deniz belum lancar berbahasa Arab apalagi Persia sehingga dia harus bergantung kepada Selim atau Arsia untuk mendapatkan informasi dari benda-benda bersejarah yang berhasil mereka temukan. Sekarang Selim tidak ada di sana dan Arsia pun menolak untuk membaca jurnal tersebut.
"Hanya halaman awal saja. Tidak akan masalah, Nona?" Deniz merajuk.
Arsia menggeleng. Penolakannya sudah pasti. Dia pun berbalik menjauhi Deniz dan meletakkan jurnal tersebut di sebelah beberapa barang temuan lainnya yang berada di atas meja di tengah tenda. Posisinya kini memunggungi pemuda itu.
"Tuan Selim akan datang sore ini. Kau bisa bertanya kepadanya nanti, Deniz. Sekarang sebaiknya kita kembali pada tugas kita," putus Arsia tanpa melihat kepada Deniz. Tatapannya justru terpaku pada jurnal itu dan tangannya menggenggam erat kedua sisi jurnal. Pergolakan emosi yang dirasakannya begitu kuat dan nyata.
"Baik, Nona Arsia. Kalau Anda membutuhkan sesuatu, Anda bisa memanggil saya. Selamat siang."
Deniz mengalah. Dia tidak mencoba mendesak lebih lanjut karena Arsia terlihat sedang tidak baik-baik saja. Kalau tidak, dia pasti sudah merongrong wanita itu dan Arsia sudah pasti tidak akan tega kepadanya. Baginya Arsia sudah seperti kakak perempuannya sendiri.
Arsia sedikit menoleh. Melalui ekor matanya dia melihat kepada Deniz dan mengangguk. "Terima kasih, Deniz."
Deniz tersenyum tipis sebelum beranjak.
Tatapan Arsia mengikuti punggung pemuda itu. Deniz benar-benar mengikuti perintahnya dan menuju ke situs penggaliannya.
Deniz selalu dipenuhi oleh rasa penasaran. Sayangnya saat ini tidak ada yang dapat Arsia jelaskan pada juniornya itu.
Arsia melepaskan tatapannya dari Deniz. Mata hitamnya kembali terarah pada jurnal yang berada di bawah pandangannya.
Apa yang terjadi padaku?
Arsia sungguh tidak mengerti.
Perlahan jemarinya bergerak menyapu permukaan kulit dari sampul jurnal itu. Begitu saja, seperti ada yang mendorongnya. Pandangan matanya mengikuti gerakan jemarinya, menjejak pada setiap bagian polos dari sampul jurnal tersebut.
Aku mencintaimu, Arsia. Ingat aku di dalam kedalaman hatimu. Aku akan mencarimu. Kita pasti akan bersama kembali. Kau adalah takdirku.
Segera Arsia menarik tangannya dari jurnal itu. Kedua matanya membulat, menatap nyalang ke arah benda tersebut. Nafasnya terengah. Dengan ketakutan yang sangat dia menjauh dari meja tempat di mana jurnal itu berada.
Suara itu begitu jelas dan nyata terdengar olehnya, seolah seseorang tengah mengatakannya tepat di sisinya. Seseorang yang begitu dikenal oleh hatinya.
Aku mencintaimu, Arsia...
Dan rasa cinta itu adalah apa yang paling sering seseorang itu ungkapkan kepadanya.
Kedua bola mata Arsia bergerak kalut. Genangan terbentuk di pelupuk matanya.
"Salim..."
Arsia membisikkan nama itu dengan getaran pahit dalam hatinya. Air matanya terjatuh ke atas tanah yang tengah dipijaknya.
Seketika dunia di hadapannya terasa berputar. Semuanya berubah menjadi gelap bagi Arsia.
---
(1) Pangeran.
Halo! Disclaimer, ini cerita fiksi. Terlepas dari setting tempat, waktu, dan beberapa tokoh dalam cerita ini yang memang ada dalam sejarah :)