Rani menghela nafas, kini ia harus menentukan sendiri apa pilihannya.
Kak Nika menginginkan nya pergi , dia dia harus melakukan ini,!!
Rani perlahan mengesek badannya dengan susah payah.Terutama darah dari kepalanya menutupi penglihatannya.
Sakit..., mendadak kepalanya sakit sekali.
Dan sebelum mengambil pisau itu ia pun pingsan lagi..."
Kali ini ia bukan melihat sekitar gelap tetapi ia sedang melihat dirinya ya dirinya dan ayah serta Luci.
Kami berada di gudang ini juga, dan ia melihat dirinya..."
Betul, aku berlumuran darah dan mayat teman itu ada di pahaku.
Aku menoleh keatas, dan apa yang kulihat mungkin akan jadi traumaku seumur hidup.."
"Kakak....aku suka darahmu..."
Yah itu adalah Luci, ia hanya menatap diriku tanpa belas kasihan. Belati kecil ada ditangannya.
Dan ia tersenyum...."
Srek
"Hah...haa...lu..ci??"
Rani segera bangun, ia merasa telah mendapatkan mimpi yang sangat mengerikan.
A--apa itu adalah ingatannya. Ternyata benar apakah aku membunuh teman ku.
Bukan saat itu hanya ada Luci disana, ia tersenyum dan memegang belati.
Halusinasi, bukan itu bukan halusinasi dan senyum itu juga bukan.
"Itu kenyataan....."
Ada suara yang sangat dikenalnya. Rani menoleh keatas dan kembali ketakutan.
Luci, bukan pembunuh berantai berada didepannya. Ia menatap ku dengan dingin.
Dengan sebuah pisau ditangannya. Tidak ada siapapun hanya ada Luci dan pintu terbuka.
"Lu--luci...kau.."
"Iya aku pembunuhnya.."
"Ke--kenapa , apa salah mereka??"
"Salah, tidak ada salah kok cuman ini semua adalah salahmu..."
"Sa-salahku..."
"Iya, jika mereka tidak berhubungan dan memberitahumu aku tidak akan membunuh mereka...."
Luci mengatakannya dengan perasaan tidak bersalah sama sekali. Ia memotong leher kak Nika dan perlahan mengeluarkan silet dari lehernya.
Semuanya dilakukan tanpa perasaan, dan Rani hanya bisa tertegun.
Ternyata ini sumber dari ketakutannya selama ini. Luci selama ini bertingkah selalu dekat padaku. Padahal ia hanya memperlihatkan.. mereka..."
"Bukan ,bukan aku yang mengawasi kalian, dia ... ayahku..."
Serunya, a-- ayah. Ternyata benar ia yang datang di rumah itu, dengan alasan membuang sampah.
Dan ayah juga yang datang ke kamarku waktu sakit dan mengawasi kak Nika.
Aku teringat jelas senyuman mengerikan itu . Senyuman yang membuat bulu kudukku merinding..."