Setelah melalui perjuangan mencari sampah saat pelajaran matematika, Galang akhirnya bisa merasakan senyuman indah penuh dengan harapan. Sekitar 10 menit lagi, bel pulang berbunyi. Galang sabar menunggu sambil diam memantau pergerakan teman-temannya di kelas.
"Kelas kosong, rasanya mau loncat pagar dinding sekolah terus pulang." Ajo mulai merasa bosan.
"Tinggal 10 menit lagi, sabar …." Galang merebahkan kepalanya di atas meja.
"Untung Madam Merry izin hari ini, kalau nggak bakal ada tugas tidak jelas lagi," sindir Ajo.
"Sebentar lagi valentine akan berakhir. Akhirnya gue bisa pulang tanpa ada beban dari valentine!" Galang melirik ke arah Dena yang tiba-tiba pergi keluar sendirian.
"Lo dapat coklat? Selain dari Nabil, yah?" tanya Ajo.
Galang ingat bila coklat batangan pemberian Dena masih ada di kantong celana sebelah kanannya. Dia juga lupa dengan bingkisan coklat yang dibawanya untuk diberikan ke Dena.
"Oh, gue cuma dapat permen coklat dari Nabil, doang." Galang berusaha menyembunyikan coklat batangan dari Dena.
"Lo sendiri?" tanya Galang balik.
"Gue dapat dari Nabil, terus dari cewek-cewek penggemar, sama dapat dari Diki." Ajo memperlihatkan beberapa coklat yang didapatnya.
"Diki kasih coklat ke lo? Buat apa? Jangan-jangan?" Galang mulai berkhayal yang macam-macam.
"Katanya dia punya dua, itu doang," ungkap Ajo.
"Gue kira ada apa-apa." Galang tertawa kecil.
Rafa datang ke kelas Dena, dia melihat Dena pergi keluar sendirian dengan tergesa-gesa. Rafa coba mengikutinya dari belakang dengan perlahan agar tidak diketahui oleh Dena.
"Kak Dena mau ke mana?" Rafa mengikuti Dena yang menuju ke belakang sekolah.
Dia melihat Dena berdiri di bawah pohon seperti sedang menunggu seseorang. Raut wajahnya terlihat gugup dan bingung. Dia juga membawa sebuah coklat batangan di tangan kanannya. Agar tidak diketahui Dena, Rafa bersembunyi di balik dinding kolom di belokan lorong yang menuju ke taman belakang.
Dari arah ujung terlihat seseorang datang menghampiri Dena. Dia memiliki tinggi yang sama dengan Dena, agak sedikit pendek.
"Zainal? Lo kenapa di sini?" Dena bingung.
"Lo lagi tunggu Anang?" tanya Zainal.
"Iya, kok, tahu?" Dena merasa heran.
"Anang tidak bisa datang, sorry." Zainal nampak gugup dan malu-malu.
"Loh, kenapa? Lo tahu alasannya?" tanya Dena.
"Na? Sebenarnya ini rencana gue sama Anang." Zainal mulai menatap wajah Dena. Dia benar-benar serius memandangi wajah Dena.
"Rencana? Maksudnya?" tanya Dena.
"Gue langsung ke inti saja." Zainal menggenggam coklat dan batu di masing-masing tangannya.
Dia mengulurkan keduanya ke depan Dena. Zainal menatap mata Dena dengan raut wajah serius.
"Ini apa?" Dena bingung. Dia tidak tahu maksud dari Zainal.
"Gue mau lo pilih antara coklat atau batu. Bila lo pilih coklat, artinya lo mau jadi pacar gue. Tapi bila lo pilih batu, artinya lo menolak gue." Zainal berharap banyak dengan pernyataannya.
"Lo mau kita jadian? Kok, tiba-tiba? Gue bahkan tidak tahu kalau lo suka sama gue?" pikir Dena.
"Gue suka sama lo, semuanya dimulai sejak gue kenal lo di kelas satu. Mungkin gue terlalu pengecut untuk bilang atau sekedar memberitahu lo. Tapi inilah hati, gue hanya pendiam yang jarang bicara. Gue cuma bisa mengamati lo dari jauh." Zainal menghela napas.
"Seperti seseorang yang gue kenal," pikir Dena dalam hati.
"Gue kira Anang yang akan melakukan ini, tapi justru malah cowok lain yang ternyata tidak bisa gue prediksi." Dena menatap kedua mata Zainal.
"Maaf, atau mungkin lo justru mengharapkan Anang yang ada di sini?" pikir Zainal.
"Bukan begitu, tapi ada, deh." Dena tersenyum dengan penuh ambigu.
"Lalu? Bagaimana dengan coklat dan batu gue?" tanya Zainal.
"Hmmm, jujur gue bingung. Lo itu baik, pendiam, jarang bicara, terlihat cool, dan jago dalam sepakbola. Seandainya lo lebih sedikit mengeksplor kharisma lo, pasti bakal jadi cowok populer di sekolah," ungkap Dena.
"Gue tidak perlu populer untuk mendapatkan hati lo. Gue juga tidak perlu cool atau keren untuk menunjukkan sayang gue. Cukup dengan hati dan diri gue yang apa adanya, itu sudah cukup." Zainal tersenyum.
Dena tersenyum, dia benar-benar terjerat dalam perkataan Zainal. Tapi, pikirannya beralih sedikit saat dia mengingat Rafa dan Galang. Beban berat tiba-tiba datang, Dena sulit untuk menentukan pilihannya. Di samping itu, Rafa juga terus mengintip dan mendengarkan pembicaraan Dena dan Zainal.
"Atau bagaimana bila kita coba selama satu minggu? Lo bisa jadi pacar gue selama seminggu, tapi bila lo merasa tidak nyaman, kita bisa putus." Zainal coba memberikan opsi termudah untuk Dena.
Dena mulai bingung kembali. Dia tidak berani menolak Zainal, tapi di sisi lain hatinya tidak mendukung keinginannya. Ditambah lagi saat melihat wajah Zainal yang begitu gigih dan percaya diri, Dena semakin susah untuk menjawab "tidak."
"Na? Bagaimana?" tanya Zainal.
"Kak, tolong jangan diterima," pinta Rafa dari balik dinding.
Galang melihat jam di handphone-nya. Sekitar 5 menit lagi bel pulang akan berbunyi. Selagi Ajo sedang sibuk mengobrol di luar bersama Diki dan yang lainnya, Galang mencuri kesempatan itu untuk memasukkan coklat batangan pemberian Dena ke dalam ransel miliknya.
Tanpa diduga, dia menemukan ada kertas yang terselip di dalam bungkusan coklat batangan. Lalu, Galang menarik kertas itu perlahan-lahan keluar. Dia membuka lipatan panjang kertas dengan hati-hati.
"Surat?" pikir Galang.
"Ini adalah rahasia, jadi kemarin gue di kirimkan pesan oleh Anang. Dia mau gue bertemu dengannya di belakang sekolah saat pelajaran terakhir. Menurut lo, Anang akan menembak gue?"
Galang langsung sadar, dia akhirnya mengerti kenapa Dena tadi buru-buru keluar dari ruang kelas. Galang melihat jam, bel berbunyi kurang dari 3 menit lagi. Dia segera mengambil tas miliknya dan segera bergegas menuju ke belakang sekolah.
"Lo mau ke mana? Belum bel, Lang!" teriak Nabil.
Galang menuruni tangga sambil menggenggam surat dari Dena.
"Rafa?" Galang melihat Rafa berdiri seperti sedang bersembunyi dan mengintip sesuatu.
"Gue terima dengan syarat satu minggu itu." Dena mengambil coklat di tangan Zainal. Dia tersenyum sambil melemparkan tawa kecil.
Tanpa berkata apapun, Zainal mengekspresikan kebahagiaannya dengan senyuman manis miliknya.
"Sial!" Rafa nampak kesal. Dia memilih untuk pergi dengan wajah penuh dendam.
Galang yang melihat ekspresi Rafa yang kesal langsung menduga bila yang dilihatnya adalah Dena. Dengan cepat, Galang mengintip apa yang dilihat oleh Rafa tadi.
"Dena? Zainal?" Galang melihat keduanya sedang saling senyum. Dia melihat Zainal mengelus perlahan rambut Dena yang panjang.
"Ini ada apa? Kenapa justru Zainal yang datang?" pikir Galang.
Bel berbunyi.
Galang langsung mengucapkan puji syukur. Dia benar-benar senang saat mendengar bunyi bel pulang. Dia merasa seperti mendengar terompet surga.
"Gue balik dulu ke kelas, nanti kita pulang bersama, bagaimana?" tanya Dena.
"Na, untuk sementara kita rahasiakan dulu hubungan kita, bagaimana?" pinta Zainal.
"Kenapa?" tanya Dena.
"Nanti gue jelaskan alasannya, tapi untuk saat ini, apa lo bisa diam dulu?" ungkap Zainal.
"Oke, gue mengerti." Dena melambaikan tangannya ke Zainal. Dia segera pergi.
Galang yang melihat Dena ke arahnya langsung panik. Dia segera lari ke arah lain dan pergi menuju ke arah gerbang depan.
Galang merasa bingung, kenapa Zainal dan Dena tidak pergi bersama untuk balik ke kelas? Dia juga merasa heran dengan permintaan Zainal yang memilih hubungannya dengan Dena dirahasiakan.
Dreet! Dreet!
[Lo di mana? Jangan kabur! Mana coklat gue?] Pesan masuk dari Dena.
"Gue lupa masih harus kasih ini bingkisan!" Galang bingung dan panik.
[Coklatnya gue titip ke Ibu warung depan gerbang. Bilang saja mau ambil bingkisan yang dititipkan Galang. Sorry, gue pulang duluan.] Balasan Galang.
Dena terkejut saat membaca pesan dari Galang. Tapi, justru dia penasaran dengan bentuk coklat yang diberikan Galang padanya. Dena segera pamit ke Anis dan Indah, dia segera bergegas ke warung yang di bilang oleh Galang.
"Dena kenapa buru-buru?" pikir Zainal dalam hati.
Langkah kaki Galang sangat cepat, dia sudah berada di jembatan Kanal Banjir Timur. Galang benar-benar murid kuper yang tidak mau membuang-buang energinya.
Dreet! Dreet!
[Gue sudah terima. Terima kasih, yah, my hamster.] Pesan dari Dena.
"Ih, kenapa dia tulis my hamster lagi? Ini cewek maunya apa, sih? Perasaan tadi baru jadi pacar cowok lain, terus sekarang kirim pesan ke gue pakai ucapan ini dan emoji kepala hamster?" Galang benar-benar bingung.
Zainal melihat Dena memegang sebuah bingkisan di tangannya sambil tersenyum. Sayangnya, Zainal tidak bisa mendekatinya karena bisa ketahuan oleh yang lain.
"Apa nanti malam gue kirim pesan saja?" pikir Zainal.