"Kenapa Ibu ada di sini?" tanya Rafa penuh heran.
"Apakah begitu, caramu menyambut kepulangan Ibumu?"
"Bukan begitu maksudku, Bu. Tapi sejak kapan, Ibu diperbolehkan pulang? Apa Ibu sudah benar-benar sembuh?"
"Ternyata benar ya, Kau lupa. Tiga hari yang lalu, Ibu sudah dinyatakan sembuh oleh dokter. Dan baru saja Ibu sampai, karena baru hari ini Ibu diperbolehkan pulang setelah dicek kembali."
"Begitu ya. Tapi yang mengantarkan Ibu siapa? Atau Ibu naik taxi?"
"Tenang saja, ada teman arisan Ibu yang Ibu mintai tolong. Dia menjemput Ibu dari rumah sakit dan mengantarkan Ibu sampai sini. Baru saja dia pulang."
"Apa tidak merepotkan orang lain Bu?"
"Jadi Maksudmu, Kau menyuruh Ibu pulang dari rumah sakit sendirian begitu?"
"Tidak-tidak. Maksudku, kenapa tidak menghubungi Rafa saja. Kan tidak enak jika meminta tolong orang lain."
"Tidak masalah. Justru dia adalah teman baik dan teman akrab Ibu. Bahkan, dia sendiri yang selalu menghubungi Ibu saat masih di rumah sakit."
Mendengar hal itu, membuatnya tak enak hati serta tersinggung, karena ia jarang menghubungi Ibunya. "Maaf Bu, jika Aku jarang menghubungi saat Ibu masih di rumah sakit," katanya dengan raut wajah murung.
Ibunya meletakan telapak tangannya ke pundak Rafael. "Tidak apa nak. Ibu tahu Kau sangat sibuk, mengerjakan semuanya sendirian."
Rafael langsung memeluk Ibunya. "Terimakasih Bu." Kemudian pergilah Ia ke kamarnya, melepas baju seragam dan mandi untuk membilas semua keringat di tubuhnya. Sementara Ibunya masih menyapu-nyapu lantai, padahal baru saja pulang dari rumah sakit.
Keesokan harinya, dimulailah misi penyelidikan Rafael terhadap mereka si empat orang pelajar nakal ini. Ia menyelidikinya di kantin sekolah pada waktu istirahat pertama.
Memilih tempat duduk yang tak jauh dari keberadaan mereka, persis di belakang mereka tanpa disadari oleh mereka. Rafael memasang kupingnya lebar-lebar dan tetap focus mendengarkan topik pembicaraan mereka.
"Hahahah...Jadi, Kau sudah tidak memalak lagi anak ingusan itu ya?" ucap seseorang yang didengar Rafael dengan posisi membelakangi mereka berempat.
"Iya, Aku sudah tidak berani dengan dia. Ternyata dia sudah menguasai seni bela diri yang hampir membuatku babak belur," ucap salah seorang yang suaranya tak asing bagi Rafael. "Suara itu, suara dari preman waktu itu. Artinya, mereka sedang membicarakan Mickle?" dalam hati Rafael.
"Apalagi dengan temannya itu, yang pernah nekat mengajakku melompat dari lantai enam. Meskipun tidak tahu bagaimana Aku bisa di ruang UKS dan dia juga selamat. Aku benar-benar sudah kapok dengannya," lanjutnya.
"Hah, Kau bagaimana sih? Jadi Kau sudah tidak punya setoran lagi?" kata salah seorang yang sepertinya ketua dari mereka, yang terlihat kesal.
"Tak ada lagi yang bisa ku palak. Masa Aku harus mengambil salah satu lahan dari kalian bertiga? Kalau dipikir-pikir, lahan kalian enak juga."
"Enak saja! Lagi pula enak dari mananya? Kenapa Kau tiba-tiba membahas lahan kami bertiga?" kata salah seorang yang lain.
"Ya, karena di lahan kalian masih banyak mangsa. Sedangkan Aku hanya satu, dan ketika satu-satunya Atmku memberontak. Aku sudah kehilangan sumber penghasilanku."
"Hei, mangsa kami banyak, karena kami berusah payah membuat mereka semua tertekan, dan tidak berani melaporkannya ke Guru BP. Tidak gampang tahu, memalak mangsa di tengah-tengah lorong yang ramai dan ada cctvnya."
"Bagaimana Kalian bisa melakukan itu?" tanya Bos preman yang pernah memalak Mickle.
"Kaunya saja yang payah. Padahal sudah enak-enak dapat lorong yang tidak ada cctvnya. Tapi hanya dapat satu Mangsa saja. Bodoh sekali Kau ini!"
"Lalu Aku harus bagaimana? Agar Aku bisa menyetorkan uang kepadamu?" ucap Bos preman itu dengan nada melas.
"Tidak perlu. Kau jadi pelayanku saja. Jadi Kau tidak usah menyetor lagi, karena Kau akan kubayar sebagai pelayanku."
"A-apa?" katanya seakan tidak terima.
"Kalau tidak mau ya sudah. Keluarlah dari Geng Gorilla Sangar ini. Dan bermainlah dengan orang-orang payah di sekolah ini. Ups, Aku lupa kalau! Kau kan sudah payah." Sontak mereka bertiga tertawa lepas, kecuali salah satunya yang pernah memalak Mickle.
"Sepertinya mereka berempat adalah kumpulan dari Bos-Bos preman di sekolah ini. Salah satunya adalah ketua dari geng mereka ini, Gorila glass atau apalah itu," dalam hati Rafael.
Seketika, terdengarlah suara yang sangat keras di telinga Rafael dan itu dari arah belakangnya. Semua mata tertuju pada mereka berempat, melihat salah satu dari mereka yang sangat terlihat emosi. Juga, meja yang sudah terjungkir balik dengan makanannya berantakan di lantai.
Bos dari preman yang pernah mengganggu Mickle, tengah menantang Ketuanya sendiri, si berbadan besar dan lehernya tak nampak. "Sebagai perpisahan secara terhomat, Aku menantangmu Gorilla aneh!" teriaknya. Pelajar lainnya yang sedang asik makan, tercengang diam melihat hal yang menjadi pusat perhatian. Dan di posisi Rafael, berjalan sambil menundukan kepalanya tuk menjauhi situasi yang berubah menjadi bahaya. Tak lama kemudian, berdirilah beberapa anggota dari pengurus Osis serta beberapa Senior kelas, mendatangi mereka berempat.
"Hei, pengacau! Bereskan ini dengan sopan, dan jangan membuat keributan di sekolah ini," kata salah seorang dari lima orang senior.
"Memangnya Kau mau apa, jika kami menolaknya. Lagi pula ini salah Dia, yang secara tiba-tiba memutarbalikan meja ini. Padahal kami semua sedang asik makan siang."
Seakan tidak peduli dengan perbincangan mereka, Si wajah tengil yang sudah dikuasai oleh emosi, langsung menyerang Gorilla besar itu tanpa berpikir panjang. Pelajar-pelajar lainnya terkejut dan hingga ada yang berteriak, karena kehebohan yang pertama kalinya terjadi. Salah seorang dari lima Senior seketika melancangkan pukulannya, tapi ditahan oleh salah satu dari lima anak Osis yang juga berada di sana. "Hei, kenapa Kau malah membiarkan empat orang tengil ini mengacau? Mereka harus merasakan pelajaran dariku, agar tahu sopan santun di sekolah ini."
"Bukan dengan cara seperti itu. Apakah Kau tidak tahu cara yang benar?" kata salah seorang anak Osis, sebelum terkena pukul oleh seniornya. Kemudian terjadilah dua pertikaian antara Senior dengan anak Osis, dan empat orang Bos Preman sekolah itu dengan salah satu angotanya. Kekacauan semakin melebar, karena anak Osis yang tidak bisa bersikap bijak menanggapi hal itu, dan hanya berlaga sok keren di depan Seniornya.
Pelajar-pelajar lainnya mulai berlarian dan berteriak heboh sambil meninggalkan kantin yang berubah kacau, dan sepertiga dari mereka asik menonton turenamen liar itu. Meja yang tadi terjatuh hanya satu, kini menjadi sangat banyak dan sangat berantakan di mana-mana. Rafael yang sudah berdiri jauh dari arena itu, tak sengaja bertemu dengan Mickle yang baru saja datang dari toilet. "Ada apa ini? Kacau sekali tempat ini?" panik Mickle.
"Tidak ada waktu untuk menjelaskannya. Kita harus cepat-cepat meredamkan kekacauan ini, sebelum Guru Bp datang."
"Dengan cara apa? Tidak mungkin kita ikut-ikutan berkelahi dengan mereka!" kata Mickel.
"Siapa yang menyarankanmu berkelahi? Yang kumaksud adalah." Rafael menghela nafas. "Kita lari saja dari sini."
"Apa?" heran Mickle, sebelum Rafael dengan cepat menarik Mickle berlari bersamanya, meninggalkan turnamen dadakan tersebut. Dan membuat Mickle berlari sambil terheran-heran dengan rencana Rafael.
"Kurasa rencanamu ini tidak baik bung."
"Tapi rencanaku juga tidak buruk bung. Jumlah kita hanya berdua saja, bagaimana kita bisa menghentikan orang-orang yang haus kekerasan itu, Bung? Lebih baik kita menyelamatkan diri daripada terlibat dengan mereka, agar terhindar dari ruang BP."
Tibalah mereka berdua, di depan perpustakaan sekolah yang tidak jauh dari kantin, tapi cukup aman dari kehebohan itu.
"Tadi Kau bilang, cara agar meredamkan pertarungan liar itu? Kenapa malah lari?" tanya Mickle dengan nafas lelah.
"Ya, karena pertarungan itu sudah pasti akan segera berakhir, setelah orang-orang yang berlari keluar dengan heboh, melaporkannya ke Guru Bp. Daripada kita ikut terlibat, lebih baik kita menyelamatkan diri dari itu," terang Rafael.
"Padahal, Aku sudah siap siaga untuk membuat mereka diam dengan jurus-jurusku."
"Kau pikir dirimu polisi? Sudahlah, Aku tidak bermaksud untuk bertindak egois. Mereka itu hanya bisa diam oleh Guru-guru killer saja, dan kita tidak bisa melakukan sesuatu selain menghidari keterlibatan sebagai pelajar."
"Baiklah. Kau ada benarnya, hanya lari saja yang bisa kita lakukan. Kalaupun kita berhasil menghentikan mereka dengan kekerasan, pasti kita juga yang akan tertuduh oleh Guru Bp."
"Baguslah, jika Kau sudah paham." Rafael menoleh ke belakang. "Pengintaianku hari ini tidak berhasil. Akan kucoba lagi besok, sekalian dengan tiga Guru itu," dalam hatinya.
Mulai saat itu, Rafael memutuskan untuk mengintai kembali mereka keesokan harinya. Dimulai dari tiga Guru itu pada pagi hari, sebelum bel masuk sekolah mengeluarkan bunyi khasnya.
Rafael melakukannya dengan bertutupan topi dan memakai earphone yang sebenarnya mati, untuk berpura-pura tidak dengar sambil mengudap sekantung cemilan. Ia melakukannya selama tiga hari, dari hari jumat pada waktu pagi dan kedua jam istirahat hingga pada hari selasa, Rafael mendapatkan sesuatu informasi dari mereka. Rafael mendengar pembicaraan mereka, yang topiknya paling ia ditunggu-tunggu sejak kemarin. Empat orang Bos preman itu, yang kini tersisa menjadi tiga orang, membicarakan hal misteri dari Bu Hana.
"Memangnya, Kau pernah mencoba untuk mencari tahu? Kenapa Bu Hana masih berada di sekolah ketika sekolah ini sudah sepi, dan tidak mau diganggu jika sudah setengah jam sebelum malam tiba?" kata salah seorang dari mereka.
"Kalau Aku pernah mengikutinya, dan pada akhirnya ketahuan begitu saja."
"Ha?... Lalu, apa kau kena marah olehnya? Atau hukuman?"
"Tidak. Justru dia malah mendatangiku dengan gemulai, lalu dengan lembut dia berkata; apa yang Kau lakukan di sini sayang?"
"Bu Hana berbicara sayang? Yang benar saja? Apakah Guru-guru muda seperti itu tingkah lakunya."
"Sepertinya hanya Bu Hana saja yang begitu. Tapi bukan hanya itu, dia juga sempat mengelus dadaku setelah membuka kancing baju bagian atas. Benar-benar membuatku tak kuat dengan belaiannya, dan Aku pun akhirnya menuruti permintaannya."
"Permintaan? Permintaan apa? Apakah permintaan aneh?" penasaran mereka, termasuk Rafael yang menguping.
"Dia menyuruhku dengan sangat lembut, segera pergi dari sekolah ini sebelum langit gelap tiba. Hal yang benar-benar membuatku hampir pingsan adalah, ia berbicara tepat di depan mulutku seperti ingin menciumku." Mendengar pembicaraan itu, membuatnya terkejut dan sangat yakin bahwa Bu Hana besar kemungkinan adalah Mamon yang menyamar di sekolahnya.
"Woahhh...," kaget mereka. "Kau yang benar? Masa Bu Hana sampai seliar itu?"
"Iya! Aku mengatakannya dengan jujur. Benar-benar tipis di depan bibirku, sebelum Aku pergi meninggalkannya."
Tiba-tiba saja, pandangan mereka bertiga menjadi satu arah yang sama, ketika mendengar suara benda terjatuh dari keberadaan Rafael. Lalu, ketahuanlah Rafael karena menjatuhkan hapenya saat terkaget dengan cerita barusan.
Aksi saling kejar-kejaran pun terjadi, antara Rafael dengan mereka bertiga yang terlihat emosi. Hingga tiba di sebuah tangga yang menuju lantai paling atas ataupun Rooftop, tiga orang preman itu dibuat terheran.
"Kemana dia?" tanya salah seorang dari mereka, ketika tak menemukan apapun di Rooftop. Mereka pun melangkah maju sampai ke tembok pembatas, dengan penuh keheranan.
"Apakah Dia terjun? Mana mungkin?" pertanyaan dari seorang yang memakai Jam Branded, yang tidak tahu bahwa Rafael melompat jauh dan mendarat di area sekolah yang sepi.
"Untung saja, wajahku belum terlihat oleh salah satu pun dari mereka," ucap Rafael, berjalan santai dari area mendaratnya menuju depan lobby sekolah.