Mereka pun melepaskan penatnya sambil menikmati kudapan lezat dan minuman segar, yang menyegarkan jiwa mereka. Baru sepuluh menit mereka bersitirahat, Rafael yang masih menyimpan rasa penasarannya, mencoba lagi bertanya tentang alat latihan itu.
"Natalie, apa tidak bisa sekarang saja Kau tunjukan alat latihannya?"
"Ha? Kau kan masih kelelahan. Bukannya Kau sendiri yang minta waktu lima belas menit? Kita baru saja sepuluh menit bersitirahat!" tegas Natalie yang sepertinya mencemaskan Rafael.
"Tidak jadi. Sepuluh menit saja sudah cukup bagiku untuk menyegarkan tubuh. Tadi, Aku hanya asal sebut saja karena saking lelahnya, tapi ternyata tak sampai lima belas menit Aku sudah segar kembali. Meskipun, masih terasa sakit pada beberapa bagian tubuhku."
"Baiklah jika Kau memaksa. Ikuti Aku." Natalie membawanya ke sebuah tempat yang biasa digunakan sebagai penyimpanan barang, alias gudang. Dia membuka selembar tirai yang menutupi sesuatu, dan terlihatlah alat-alat kreatif itu.
"Jadi ini, alat yang Kau maksud?" tanya Rafael sambil menaikkan satu alisnya.
"Iya, memang ini. Memangnya kenapa? Apa Kau tak suka?"
"Bukan begitu. Ternyata, hanya kaleng-kaleng yang digantung dan dua buah samsak tergantung di atas tiang. Aku kira alat yang sangat keren, ternyata berasal dari hal sederhana dan tak asing bagiku."
"Justru, dengan alat seperti inilah Kau bisa melatih mengayunkan pedangmu. Kau bisa membuatnya terayun dari berbagai arah sebelum melewatinya, dan menangkis kaleng-kaleng yang menghampirimu."
"Lalu, Kalau dua buah samsak ini buat apa? Apa ada kaitannya dengan pedang? Setahuku ini untuk tinju dan taekwondo."
"Samsak ini hanya Kau gunakan untuk melatih kelincahan, ketangkasan, dan bergerak cepat untuk menghindar dan menyerang. Ya, memang terdengar cukup aneh. Tapi, Kau hanya perlu menghindarinya saja, berdiri di tengah dari kedua samsak ini yang terayun secara acak."
"Apa hanya ini saja? Kau tak punya yang lain untuk melatih ketangkasan?"
"Kau bisa mengkreasikannya lagi kalau mau, seperti menambahkan pijakan zig-zag di depannya. Atau, Kau bisa membuat sendiri alat lainnya sesuai dengan keperluanmu dan fungsinya. Makannya alat ini ku namakan, alat kreatif."
"Begitu ya. Baiklah, Aku akan membuatnya sendiri sesuai dengan kreasi ku. Sekarang, Apa kita harus latihan lagi dengan alat ini?" tanya Rafael.
"Sepertinya tidak. Sudah cukup sampai di sini kita berlatih. Sudah dua jam kita berlatih, tadinya setelah ini Aku ingin mengajakmu untuk mencobanya. Tapi, karena tadi Kau bilang akan membuat alatnya sendiri dan langit sudah bewarna oranye, ya cukup sampai di sini."
"Ya, Aku memang ingin membuatnya sendiri. Tapi, bukan berarti Aku ingin mencobanya di lain waktu. Berikan Aku waktu untuk berlatih dengan alat-alat ini."
Natalie terkejut diam, sebelum akhirnya tersenyum. "Baguslah, kalau begitu. Kau punya satu jam sebelum langit benar-benar gelap."
"Terima kasih banyak Natalie, Aku akan berjuang sekuat tenaga ku."
"Baiklah, ku tinggal sebentar tidak apa-apa kan? Aku ingin menyiapkan makan malam untuk kita."
"Tidak masalah. Aku jadi tidak enak, sudah dibantu, disuguhkan makan malam pula."
Natalie terkekeh. "Terserah Kau saja lah. Aku sudah bilang hanya ingin membantumu."
Akhirnya Natalie pergi dari hadapannya, melakukan persiapan makan malam setelah mandi. Dan Rafael yang melanjutkan latihannya dengan alat itu, yang dibawanya ke halaman belakang.
Genap satu jam, usai semua tubuhnya mengalirkan keringat pantang menyerah. Rafael pun menumpang mandi di rumah Natalie untuk melepaskan semua bau keringat yang memupuk di badannya, juga meminjam sepotong baju ganti. Baju yang dipinjamkan Natalie adalah milih adiknya, yang tak terpakai karena kebesaran.
"Maaf ya, Aku tidak menyangka akan meminjam baju di rumahmu."
"Sudahlah, tenang saja. Kau tunggu saja di sofa, biar Aku yang memasak makan malamnya."
"Eh? Kemana kedua orang tuamu? Apa sedang tidak ada di rumah?"
"Iya, mereka sedang keluar karena ada urusan masing-masing. Ayahku, masih bekerja dan Ibuku sedang hangout dengan grup ibu-ibunya."
"Owh.. lalu adikmu kemana? Masa iya masih sekolah?" kata Rafael sambil mengelap rambutnya yang masih basah.
"Tidak. Jadwal Adikku sama seperti sekolah kita, libur juga di hari sabtu. Biasalah, kalau weekend dia sedang bermain game di kamar."
"Aku jadi tidak enak jika dimasakin oleh Kau. Sini, biar Aku bantu. Gini-gini, Aku juga bisa masak loh."
"Ya sudah, Kau kupas bawang dan potong kentangnya ya. Lalu rebus juga telur yang ada di dalam kulkas."
"Baiklah."
Ketika mereka sudah menyiapkan makanan yang telah matang di atas meja makan. Turunlah, Adiknya yang bernama Samuel dan melihat mereka berdua tengah menyiapkan makan malam.
"Pacar kakak ya?" tanya adiknya yang secara tiba-tiba mengatakannya, saat turun dari kamar.
"Bukan, Dia teman satu sekolah kakak!" jawab Natalie dengan tatapan tajam yang mengarah pada Adiknya.
"Ya habisnya, pas banget di malam minggu. Maaf, kalau Aku mengira Kakak sedang ngedate."
"Sudahlah, Aku tahu Kau sengaja meledek Kakak kan?"
"Kau kelas berapa?" sahut Rafael sambil Hifive dengan adiknya sebagai bentuk salaman.
"Aku kelas Sembilan SMP."
Mereka pun makan malam bersama-sama, sambil berbincang-bincang hangat. Hingga tiba pukul setengah sepuluh malam, Rafael pamit kepada mereka. "Aku pamit ya. Terimakasih untuk hidangannya," ucap Rafael yang dibalas, "Hati-hati ya!" sebelum pergi dari hadapan Natalie yang berdiri di depan pintu pagarnya.
Seperti pada saat berangkatnya, pulangnya pun Rafael berjalan kaki karena sangat menyukainya, selain karena tak punya sepeda. Ia melewati jalan yang tadi siang ramai, kini sepi sunyi seperti jalan yang terbengkalai.
Rafael yang sangat menikmati berjalan kakinya dibuat waspada, oleh suara dari lebatnya pepohonan yang mengitari jalan itu, dan dengan cepat sesuatu seperti bola mengarah kepadanya. Rafael dengan refleks menghindarinya, dalam keadaan perut yang baru saja kenyang.
"Apa itu? Jangan-jangan Mamon lagi," curiga Rafael sebelum ia sendawa yang menandakan sudah turun atau tercerna.
"Ah, akhirnya."
Akhirnya, sesuatu itu menampakan diri di hadapannya begitu saja dan kaget melihat reaksi Rafael yang biasa saja. "Hei, bocah! Kenapa Kau tidak takut? Padahal, Aku sudah mengeluarkan suara serak seramku."
"Wah, wah, wah. Ternyata memang benar Mamon ya. Bagaimana Aku bisa takut, jika sebelumnya, Aku pernah melihat mahkluk aneh sepertimu. Tapi tunggu dulu, Kau ini nampak berbeda dari yang pernah kutemui sebelumnya. Apa Kau yang sejenis kadal?"
"Ah? Tidak mungkin! Kalau Kau pernah bertemu dengan yang sepertiku, harusnya Kau tidak ada di sini."
"Kenapa? Apa Kau takut? Baru kudengar, Monster mengakui dirinya takut dengan bocah."
"Hah? Takut?" Mamon itu tertawa lepas seakan menakutinya kembali dengan suara sangarnya. "Tentu saja tidak. Harusnya, Mamon yang Kau temui itu sudah melahapmu habis tahu! Tapi sepertinya, Mamon yang Kau temui itu lebih lemah dariku."
"Terserahlah, Kau mau bicara apa. Kau mau mengajakku bertarung? Padahal, Aku baru saja merasa rileks. Ya sudahlah."
"Kau terlihat seperti sedang meremehkan seekor singa, yang siap melahapmu. Baiklah, bersiaplah untuk ketakutan yang akan melanda jiwamu."
"Aku tidak akan pernah takut, sebab Tuhan yang besar beserta ku, dan akan membuatmu seperti teman katakmu itu." Rafael sudah siap dengan ancang-ancangnya, kemudian cahaya yang keluar dari dadanya merambat ke tangan kanannya, dan terbentuklah pedang berkilau biru itu di genggamannya.
"Ini, kesempatanku untuk menaikan level. Jadi," dalam hati Rafael sebelum ia maju menyerang Mamon itu. "Akan Aku ayunkan dan mengenainya sebanyak mungkin!" lanjut dalam hatinya.
Tiba-tiba, hal tak terduga terjadi padanya, sesaat sebelum pedangnya mengenai Mamon tersebut. Rafael terjatuh, oleh karena tangan, lengan, bahu serta kakinya yang mengalami memar, baru mengeluarkan rasa nyerinya.
"Rasa sakit dari latihan tadi, baru terasa sekarang setelah badanku merasa rileks. Bagaimana ini?" dalam hati Rafael setelah menjauh dengan dorongan kaki kanannya.
Meskipun sudah berlalu empat jam semenjak latihannya usai. Tidak menutup kemungkinan, Rafael baru merasakannya sekarang ini. Sebab, setiap orang pasti mengalaminya dengan jeda waktu yang berbeda-beda, tergantung dari semangat nya.
Untung saja, Natalie hanya menyebabkan memar ringan dan tidak terlalu serius. Hanya saja, pada kaki bagian kirinya sedikit lebih banyak daripada bagian tubuh lainnya.
"Jadi, Natalie mengincar kakiku agar lebih cepat tumbang ya? Pintar sekali dia, pantas saja tadi minta maaf," dalam hati Rafael sambil merasakan sakit di kaki kirinya. Hal itu tidak membuatnya sampai pincang, namun sangat mengganggunya untuk berlari dan mengimbangi kecepatan.
Jika dipaksakan, akan membuatnya kalah sebelum mengalahkan Mamon itu. Hal tak terduga lainnya terjadi di hadapannya, ketika Rafael melihat Mamon lain yang datang. "Ada dua Mamon di hadapanku, dengan kakiku yang baru saja mengeluarkan rasa nyeri. Aku harus berpikir."
Berselang beberapa saat, Rafael masih terdiam sambil memikirkan suatu cara, sementara kedua Mamon itu mulai menyerangnya secara bersamaan.
"Apa sekarang Kau mulai takut bocah?" teriaknya.
Tapi Rafael dapat menghindari serangan-serangan mereka, setelah latihan tadi yang masih membekas padanya.
"Begitu ya, saat Aku tenang. Aku bisa menghindarinya dengan gerakan tadi. Apalagi dari latihan dengan Natalie dan kedua alatnya yang masih membekas."
Akhirnya, Rafael hanya bisa bertahan dan menghindari serta menangkis semua serangan yang menghampirinya, walau tak semua tangkisannya berhasil.
Kedua Mamon itu terus menyerang dengan serangan jarak jauh dan dekat, sementara Rafael hanya bisa diam di tempat, teringat dengan dua samsak yang menghampirinya.
Seperti inilah keadaan yang tidak beda jauh dengan itu, menghindar serta menangkis serangan-serangan mereka dengan memadukan skill satu dan ayunan biasa.
Tak bisa hanya menangkisnya saja, Rafael mulai menyerang setelah menangkisnya, seperti pada gerakan latihan dengan Natalie.
"Sepertinya ini akan berhasil. Tubuhku benar-benar mengingat gerakan pada latihan tadi." Rafael terus menangkis sambil menyerang, hingga terbukalah semua level pada kedua skill tersebut, sehingga dapat membuka skill berikutnya. Sebab, Rafael sangat banyak sekali mengayunkan pedangnya, untuk menangkis serta menyerang tubuh dari kedua Mamon itu.
Setelah kedua Mamon itu mundur dengan banyak sekali goresan pada tubuhnya. Rafael memanfaatkan skill dua level tiga, Blue Thunder! Untuk serangan jarak jauh yang mengenai satu Mamon di depannya.
*Blue Thunder : Skill 2 Lv 3, skill bertahan dan menyerang.
Satu Mamon lagi yang melihat itu di depan matanya, merasa tak terima temannya terbelah oleh serangan Rafael yang bentuknya, petir biru besar menyambar dari sebuah portal di atas Mamon tersebut.
Rafael dibuat kaget, Mamon yang tersisa mulai mengeluarkan cakar tajamnya, namun bukan hanya tajam tapi juga berapi-api yang memancarkan panas.
"Mahkluk seperti mereka memang aneh ya. Maka dari itu harus dimusnahkan segera."
"Banyak omong Kau bocah!" ucap Mamon yang tersisa itu sebelum melesat cepat ke arahnya. Rafael tak kalah cepat dengan memanfaatkan skill terbarunya, skill tiga level satu. "Light Waves!"
*Skill 3 Lv 1 : skill menyerang tingkat normal, Light Waves!
Terlihat pedang itu mengeluarkan spiral-spiral petir biru yang menyelimuti pedangnya, bersamaan saat Mamon itu mendekat. Kemudian terjadilah saling menangkis dengan posisi saling menahan dan saling mendorong senjata yang bergesekan itu.
Mamon itu mendorong lebih kuat dan panas yang semakin memanas, dengan harap dapat mematahkan pedang milik Rafael. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya, Mamon itu semakin memaksa untuk mengeluarkan energi penuh agar mematahkannya, justru kuku-nyalah yang menjadi patah.
Merasa tak terima, Mamon yang berbentuk seperti serigala itu menyerang lagi, dengan kuku lain di satu tangannya yang masih utuh. Lagi-lagi yang terjadi hal yang sama, Rafael berhasil menangkisnya kembali dan membuat kuku besarnya patah. "Sudah puaskah?" ucap Rafael sebelum menyabetnya bertubi-tubi dengan pedang bertenaga skill tiga itu.
"The Lion Hold!"
teriaknya saat level dua dari skill ketiga secara otomatis terbuka, setelah bertubi-bertubi mengayunkannya ke tubuh Mamon tersebut. Dan sekaligus sebagai serangan ultimate nya, ketika Mamon itu tak berdaya lagi. Namun Mamon itu masih sempat menghindar, alhasil serangan Rafa menabrak tembok hingga menimbulkan debu.
"Hahahah! Mengendalikan serangan sendiri saja tak bisa!" olok Mamon itu.
Rafael tetap menyodorkan pedangnya dengan tatapan dingin. Lalu keluarlah serangan berbentuk seperti terkaman singa dari kepulan debu itu, lanjut menyerang Mamon yang salah kira tersebut. Dan akhirnya menyebabkan lubang besar pada tubuh bagian tengahnya, seperti seekor singa yang merombak tembus keluar dan membawa isi perut mangsanya.
Itu adalah serangan jarak jauh, keluar dari ujung pedangnya yang bercampur dengan spiral petir, langsung mengunci target dan penggunanya hanya menyodorkan pedangnya ke depan. "Kuat sekali skill tiga ini, meskipun baru tingkat normal. Aku harus menggunakannya dengan bijak."
Kedua Mamon itu sudah terkapar kalah di hadapannya, dengan satu terlihat terbelah tubuhnya, dan satu lagi dengan kuku di kedua tangannya patah. Tapi, pedang Rafael tak kunjung menghilang dari genggamannya. "Apa karena tubuh mereka belum hancur ya?"
Rafael mendekati salah satu tubuh Mamon, yang terbelah dan bentuknya sudah semakin aneh, dengan lidah yang menjulur keluar dan bermata tiga. "Apa, Aku harus menggunakan skill yang waktu itu, untuk melenyapkan mereka?"
Rafael menghunuskan pedangnya ke atas, dan bersiap untuk menggunakan skill duanya. Tiba-tiba, wajahnya berubah pucat saat Mamon itu bergerak kembali, dan dengan cepat terbang menghampiri Mamon satu lagi. Rafael melompat dengan salah satu kakinya yang tidak mengalami memar, untuk menjauhi situasi yang berubah mencekam itu.
Baru saja mendarat, Rafael terpental dan membentur sebuah pohon di pinggir jalan, oleh hantaman kuat dari Mamon yang tiba-tiba bergabung menjadi satu. Terlihat, bentuk mereka lebih aneh dari sebelumnya, seperti laba-laba tapi, bermata enam yang memancarkan cahaya merah menyala, dan kaki berjumlah delapan dengan tubuh mereka yang menjijikan.
"Jadi, mereka sebenarnya belum kalah ya?" ucap Rafael yang terdesak di bawah pohon.