Rafael melepas jaket yang menutupi identitasnya itu. Berbaring di atas ranjang empuknya dan tak pakai lama terlelap lelah, usai memasang Alarm.
Tepat pada waktu alarm berbunyi, setelah fajar pagi hari menyingsing. Membangunkannya yang masih terkantuk-kantuk, dengan mata panda. "Ha... ternyata, Aku bisa bangun setepat ini?" Rafael menguap. "Tiga menit lagi lah. Aku masih sedikit lelah, apalagi karena kemarin."
Akhirnya ia terlelap kembali di atas kasurnya, hingga tiga puluh menit telah berlalu. "Gawat! Sudah tiga puluh menit Aku tertidur. Aku tidak bisa sarapan di apartemen," ucap Rafael sebelum dengan cepat pergi ke kamar mandi, melepas pakaian dan menyalakan showernya.
Dua puluh menit lagi sekolah akan mengeluarkan bel masuk, dan Rafael sedang di jalan, menaiki sepeda pinjaman tetangga apartemennya, sambil memakan roti yang tak sempat ia makan di apartemen. Tibalah Rafael di sekolahnya itu, berlari dari tempat parkir sepeda menuju lift yang biasa ia pakai. "Ayolah. Lambat sekali lift ini, tidak seperti biasanya." Sebenarnya, lift tersebut tidak pernah berubah kecepatannya, hanya rasa buru-burunyalah yang membuatnya merasa lamban.
Rafael akhirnya tiba di depan kelasnya, tepat dua detik sebelum bel masuk berbunyi, mengeluarkan suara yang begitu kencang. "Huft... hampir saja."
"Kau baik-baik saja? Tumben sekali Kau hampir terlambat?" tanya Ivana, mengagetkan Rafael yang baru saja terduduk.
"Iy- hah... Kau kenapa ada di sini?" tanya Rafael dengan wajah nyeleneh, melihat Ivana yang tiba-tiba duduk di sebelahnya.
"Apa ada masalah?" tanya Ivana dengan tatapan tajam.
Rafael menggelengkan kepalanya, seolah tak mau memperpanjang perkara yang tidak penting.
Istirahat pertama.
Rafael terheran, dengan Ivana yang entah kenapa sejak tadi menempel dekat padanya, dari kelas hingga ke kantin. Tentu saja, hal itu membuat Rafa merasa risih dan bertanya kepadanya. "Kau kenapa tidak bergabung dengan geng mu? Tempat ini hanya cukup untuk dua orang saja."
"Iya Aku tahu. Aku sudah izin dengan mereka sejak kemarin hari. Untuk sebuah misi rahasia yang harus kulakukan," jawabnya.
"Misi apa? Apakah sepenting itu, sampai Kau mau melakukannya?" heran Rafael padanya.
"Iya. Mengenai misinya, tidak akan kuberitahu sedikitpun padamu. Karena sudah kubilang kan, ini misi Rahasia."
"Terserah Kau saja lah." Rafael menyantap makan siangnya. "Aku harus berhati-hati dengannya, jangan sampai Aku ketahuan oleh mereka," dalam hatinya.
"Kenapa, Kenapa Kau tidak memakai barang branded, satu jenis pun? Padahal hampir semua orang di sekolah ini, memakai barang-barang branded loh, apalagi dari kalangan para guru."
"Tidak. Aku tidak tertarik sama sekali dengan hal itu, dan juga tidak peduli."
"Kenapa? Apakah Kau tidak punya uang untuk membelinya?" tanya lagi Ivana.
"Sekalipun Kau memberikannya padaku. Akan ku jual kembali dan ku sumbangkan uangnya."
"Lalu, alasan yang sebenarnya apa dong?" penasaran Ivana.
"Tidak mau. Ini rahasiaku."
"Jangan begitu dong, Aku benar-benar serius menanyakan ini padamu." Ivana menulis sesuatu di kertas rahasianya.
"Aku juga serius. Kalau Kau sangat memaksa, tukar saja informasi ku dengan misi rahasia mu itu. Kan sama-sama rahasia, adil bukan?" kata Rafael dengan wajah santai.
"Ya sudahlah, Aku akan mencari cara yang lain saja."
Rafael yang tengah menikmati makan siangnya, terpikirkan sesuatu. "Kalau dipikir-pikir, Ivana benar juga. Di sekolah ini banyak sekali orang-orang yang memakai barang branded, termasuk guru. Apa mungkin, sama seperti kejadian di bukit itu, ada penghasut alias Mamon yang menyamar di tempat ini?" dalam hatinya.
"Kau kenapa termenung Rafael? Apakah sekarang Kau sudah berubah pikiran?" tanya Ivana sambil menaikan alis matanya dua kali.
"Tidak mau." Rafael kembali termenung. "Sepertinya Aku harus menyelidiki sekolah swasta ini dulu. Tapi dimulai dari mana?" dalam hatinya.
Kemudian, ia melihat ke bawah dari jendela yang persis berada di sampingnya. Dilihatnya, terdapat sekelompok guru yang terlihat senang dengan barang-barang branded. "Baiklah, Aku mulai dari wali kelasku sendiri dan dari Bu Mentari."
"Mulai apanya?" tanya Ivana yang mendengar ucapan Rafael baru saja. Ia lupa untuk mengatakannya di dalam hati, Rafael pun tercengang lebar karena kecerobohannya.
"A-Anu.. maksudku tadi. Aku ingin mulai, bertanya kepada mereka soal ulangan besok. Ya begitulah maksudku."
"Memangnya besok ulangan?" tanya Ivana yang heran dengan sikap Rafael.
"A... maksudku, ulangan yang akan datang. Jadi ulangan yang akan datang, kapan dan apa, itu yang ingin kutanyakan. Maaf, jika tadi membuatmu heran." Ivana sudah tidak terlihat memperhatikannya lagi dan melanjutkan makan siangnya. Begitu pun Rafael yang dapat menarik nafas lega.
Istirahat kedua.
Tepat pada bel istirahat kedua yang baru saja berbunyi, Rafael dengan segera menuju ruang guru untuk menemui Pak Yohan, wali kelasnya dan Bu Mentari, Guru yang paling baik diantara para Gurunya. Tiba di depan kantornya, secara tak terduga Rafael bertemu dengan Pak Yohan di sana, Guru setengah plontos itu.
"Permisi Pak?" sapa Rafael ketika bertemu di depan kantor.
"Iya," jawabnya yang baru saja keluar dari kantor, sambil berteleponan dengan seseorang.
"Apa boleh Saya bertanya sesuatu?" tanya Rafael yang menghampirinya. Pak Yohan yang sedang menatap ke depan, menoleh ke arah Rafael dengan tatapan tajam. "Bertanya soal apa?" tegasnya, seakan menunjukan tidak mau diganggu.
Rafael yang merasa tidak enak dengan tatapan itu, tetap menanyakan pertanyaannya. "Kenapa Bapak sangat menyukai sepatu dan jam tangan mahal itu?" tanya Rafael yang langsung ke intinya, meskipun sudah merasa tak enak dari awal.
"Ada apa Kau tanya-tanya seperti itu?! Apa urusanmu penting dengan privasi ku?" kasarnya.
"Maksudku, Bapak tidak memakainya karena saran dari seseorang bukan? Atau tidak dipaksa oleh seseorang? Maaf jikalau pertanyaan ku sangat lancang, tapi Aku hanya ingin memastikan Bapak tidak dipengaruhi oleh sesuatu."
"Bicara apa Kau ini? Aneh sekali. Jangan-jangan, terlalu banyak membaca buku fiksi."
"Jadi?" ucap Rafael yang masih berusaha menggali.
"Sudah-sudah sana! Jangan bertanya lagi atau Kau, Bapak skors hari ini!" tegas Pak Yohan dengan wajah yang terlihat kesal. Dan membuat Rafael pergi begitu saja mau tak mau, tanpa mendapat jawaban. "Iya Bu Hana," lanjut Pak Yohan di telponnya yang terdengar Rafael ketika masuk kantor.
"Pertama, pertanyaan ku tadi salah. Kedua, Aku bertanya kepada orang yang salah. Semoga saja Bu Mentari ingin menjawab ku dengan jujur," dalam hatinya.
Ia melihat Bu Mentari tengah membaca santai sebuah Novel, di meja kerjanya. Dengan hati yang senang, Rafael mendatanginya untuk penyelidikan mengenai Mamon yang berkeliaran bebas di sekolahnya.
"Selamat siang Bu Mentari?" sapa Rafael dengan hangat.
"Iya, ada apa Rafael?" sahut Bu Mentari dengan suara lembutnya.
"Maaf Bu, jika Aku telah mengganggu waktu santainya. Tapi, apa boleh Aku bertanya sesuatu?"
"Baiklah, silahkan duduk. Sama sekali tidak mengganggu kok."
"Jadi begini, Ibu memakai jam tangan yang sepertinya mahal. Apa boleh Aku tahu, alasan Ibu kenapa mau mengenakannya?" tanya Rafael dengan malu-malu.
"Kau ini bicara apa?" tanya Bu Mentari yang terlihat heran dengannya.
"Maksudku, Apa Ibu pernah diiming-imingi seseorang, untuk mengikutinya memakai barang-barang mahal. Atau Ibu memang sengaja memakainya karena tren mewah, dan agar tidak dipandang sebelah mata oleh orang-orang?"
Beberapa detik reaksi Bu Mentari terhening, sebelum akhirnya tertawa lepas. Rafael kaget sekaligus terheran dengan reaksi dari Guru baiknya itu.
"Ibu kenapa tertawa?" tanya Rafael yang mengira ada yang salah dari ucapannya.
"Jam tanganku ini hanyalah hadiah dari calon suami Ibu. Aku sengaja mengenakannya, ya karena menghargai pemberian dari orang istimewa Ibu. Kenapa Kau berpikir, Ibu dihasut oleh seseorang?" terang Bu Mentari, sambil mengelap setetes air matanya yang sempat keluar.
"Begitu ya. Apakah Ibu benar-benar yakin, tidak mengikuti orang lain ataupun pengaruh sekitar?" tanya Rafael sekali lagi.
"Iya, Ibu sangat yakin. Kesukaan Ibu hanyalah membaca Novel ini, dan belakangan ini tidak pernah ada orang yang menyarankan Ibu sesuatu, apalagi sebelum pemberian jam tangan ini. Memangnya ada apa, sampai Kau bertanya seperti itu?"
"Ah, tidak. Aku hanya sedang memastikan tidak ada penghasut di sekolah ini. Dengan kata lain penyusup di sekolah ini."
Bu Mentari terdiam mendengarnya. Dan dengan cepat Rafael, langsung mengakhiri pembicaraannya. "Sudah ya Bu. Pertanyaan ku sudah terjawab semua."
Rafael pergi meninggalkan Bu Mentari begitu saja, yang masih terdiam heran di meja kerjanya. Rafael kembali memikirkan suatu cara, sambil berjalan pelan-pelan menuju kelasnya.
"Ternyata, Bu Mentari tidak termasuk dari yang ku curigai. Apakah Aku harus bertanya ke semua orang yang ada di sekolah ini? Pastinya tidak mungkin, keburu diketahui Mamon itu duluan sebelum ketemu. Tapi Aku masih mencurigai Pak Yohan."
Tak sengaja, ia mendengar suara berisik ketika melewati suatu tempat sepi, kemudian terlihatlah antara Guru dan Murid yang sedang berkumpul. Ini adalah kejadian yang tak biasa dan tak pernah terjadi dari biasanya. Rafael mengintip dan menguping pembicaraan mereka, lalu mendengar suatu topik yang sangat persis dengan yang diselidikinya.
"Benar sekali, Pak Alam. Semua pelajar dan Guru di sekolah elit ini, mana mungkin kalah dari barang-barang branded Youtuber dan Selebriti nasional. Mereka pikir mereka saja, yang dapat terlihat keren dan punya barang branded."
"Yang benar saja?" ledek dari salah seorang temannya, yang membuat mereka tertawa lepas seketika.
"Jika bukan karena dari saran Bu Hana, yang sangat manis itu. Kami pasti lupa untuk menunjukan identitas kami kepada setiap orang," ujar salah seorang Guru yang memliki postur tubuh kekar, ya guru olahraga.
Tepat seperti pada waktu di bukit itu, ketika ia melihat Para Petani yang sedang bersenang-senang halu, singkatnya berfoya-foya halu. Saat Rafael mengintip, mereka sedang berada di depan mobil mewah dari milik salah seorang Guru di sana. Dan posisi mereka terletak di belakang sekolah, yang sangat sepi dari lalu-lalang orang.
Dengan berpose banyak gaya, sambil mengenakan masing-masing barang Branded nya, serta berfoto ria yang mereka upload di sosial media. Mereka terdiri dari Tiga orang Guru pria dan empat orang pelajar, yang diduganya sebagai pelajar nakal, sebab salah seorang dari mereka adalah Bos dari Preman sekolah yang pernah mengganggu Mickle, sahabatnya.
"Artinya, uang yang kuberikan waktu itu. Hanya untuk membeli barang-barang pamer dan foya-foya?" desis Rafael sebelum bersembunyi di balik pot besar. Empat pelajar nakal itu keluar dari tempat itu dengan di tangan mereka, memegang puntung rokok.
"Aku harus menyelidiki lebih, tentang Bu Hana dari mulut mereka. Akan ku intai mereka berempat," dalam hati Rafael.
Akhirnya bel istirahat kedua pun telah usai. Rafael kembali ke kelasnya, melanjutkan jam pelajaran yang akan datang, dengan Ivana yang masih duduk bersamanya.
Sampai pada bel pulang sekolah, dengan cepat Rafael berlari ke tempat parkir sepeda pinjamannya. Agar dapat mengembalikannya tepat waktu kepada yang punya.
"Oh, sudah sampai ya?" tanya yang punya dengan ramah, ketika Rafael tiba di depan pintunya.
"Iya, makasih banyak kaka. Maaf, jika membuatmu menunggu."
"Tidak kok. Santai saja," ucap yang punya sepeda, sebelum Rafael pergi dengan permisi.
Rafael membuka pintu apartemennya, dengan terlihat sedikit keringat pada wajahnya. "Syukurlah dia tidak marah. Meskipun sedikit lelah," ucapnya sebelum terkejut melihat sesuatu di depannya.
"Eh? Sudah pulang ya?" sambut Ibunya yang tengah menyapu lantai ruangan.