Nadia dan Bianca duduk di ruang tamu rumah Lucas. Keadaan di rumah Lucas tampak sepi karena orangtuanya masih belum pulang dari luar kota. Selama di tinggal ke luar kota, Lucas tinggal sendirian dan terkadang minta di temani oleh Mark untuk begadang atau ketika ada tugas kuliah.
Sementara kedua gadis itu duduk dengan tenang, dan Nadia terus memperhatikan sang adik dengan tatapan masih khawatir juga belum bisa tenang.
"Ada nya cuma air putih, maaf ya..." Lucas datang dengan tiba-tiba, lalu menyodorkan dua buah gelas air putih.
Nadia tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Terimakasih," sahutnya sambil meraih salah satu air di dalam gelas yang baru saja di sodorkan oleh Lucas itu untuk adiknya.
Sementara Bianca masih diam termenung. Sepertinya dia masih terkejut dengan apa yang barusan terjadi. Nadia pun berusaha menenangkan adiknya itu.
"Ca, kamu baik-baik saja? Apa ada yang sakit?" tanya Nadia dengan lembut.
Bianca menggeleng pelan. Gadis itu tidak mau bersuara. Sementara Lucas mengamati tubuh Bianca, atau lebih tepatnya dia melihat ada beberapa tanda merah di leher jenjang milik Bianca itu.
"Apa yang kamu lihat?! Rotasi kan bola matamu itu," ketus Nadia ketika menyadari adiknya di tatap lapar oleh Lucas.
"Ck, galak sekali kamu ini," cebik Lucas dan berlalu pergi ke kamarnya.
"Aku akan menghubungi Mama dan Papa. Kamu tenang saja, ya. Semua akan baik-baik saja. Jangan takut lagi karena ada aku di sini," ucap Nadia sambil mengelus lembut surai panjang Bianca.
"J-jangan. Jangan beritahu Mama dan Papa tentang ini," cegah Bianca saat Nadia mulai mencari kontak nama di ponselnya.
Nadia mengernyitkan keningnya bingung. "Kenapa tidak boleh? Kamu harus ke rumah sakit untuk memeriksa keadaan mu," tutur Nadia.
Bianca menggeleng kuat. "Aku baik-baik saja. Jangan khawatir kan aku. Jika kamu memberitahu mereka tentang ini, nanti kamu yang akan di salahkan sama Mama dan Papa," sahut Bianca dengan pelan.
"Bianca mengkhawatirkan aku lagi?" batin Nadia.
Nadia tersenyum tipis. "Kamu yakin baik-baik saja? Tidak perlu ke dokter?" tanya Nadia memastikan.
Bianca mengangguk. "Iya, jangan khawatir. Aku hanya terkejut saja, dan aku baik-baik saja," jawabnya dengan yakin.
Bianca memang tidak mau di bawa ke rumah sakit untuk di periksa keadaannya sebab ia memang merasa bahwa dirinya sudah lebih baik dan tidak merasakan sakit di tubuhnya. Terlebih lagi, Bianca memikirkan bagaimana nasib Nadia nanti jika sampai kedua orangtuanya tau apa yang sudah menimpa dirinya.
Meski ini semua murni bukan kesalahan Bianca atau Nadia, tetapi yang pasti jika Nadia terlibat maka sudah jelas jika Mama dan Papa nya akan menyalahkan Nadia. Bianca tidak mau jika hal itu sampai terjadi, dan pada akhirnya Nadia hanya bisa menuruti permintaan dari sang adik yang sangat ia sayangi itu.
"Baiklah. Tapi, jika kamu merasa ada yang tidak enak di badan mu, kamu harus segera memberitahu ku. Mengerti?" tutur Nadia sambil tersenyum tipis.
Bianca mengangguk lagi, dan kedua sudut bibirnya terangkat. Gadis itu tersenyum untuk pertama kalinya semenjak sikapnya berubah kepada Nadia. Nadia di buat senang bukan main.
Keadaan menjadi hening sesaat karena Nadia dan Bianca sama-sama canggung. Ini adalah pertama kalinya mereka duduk berdampingan lagi dan hanya berdua setelah sekian lama. Nadia sangat bahagia bisa mendapatkan sedikit perhatian dan pengertian dari Bianca, tetapi Bianca tampak seperti biasa saja dan tidak ada yang spesial.
Hingga beberapa saat kemudian, Rafa datang dari luar membawakan beberapa makanan dan minuman untuk Nadia dan Bianca. Remaja laki-laki itu penuh perhatian dan sangat khawatir pada Nadia maupun Bianca.
Terlebih lagi ia tau dengan pasti apa yang akan di lakukan oleh Dilan dan kedua temannya tadi.
"Makanlah, kalian pasti lapar kan. Apalagi kamu Bianca, kamu pasti sangat terkejut kan?" ucap Rafa sambil menyodorkan bungkus makanan itu.
Bianca hanya menatap datar Rafa yang juga melihat ke arahnya. Gadis itu tampak tidak perduli sama sekali. Sementara Nadia menatap Bianca dengan tatapan bingung sekaligus heran, kenapa Bianca tidak bisa menghargai kebaikan orang lain sedikitpun. Setidaknya Bianca memang harus mengatakan terima kasih sebab Rafa sudah menyelamatkan dirinya.
Nadia tersenyum tipis dan mengalihkan pandangannya menatap Rafa, "Terimakasih atas bantuan mu, Rafa. Jika kamu tidak datang, aku dan Bianca sudah tidak tau lagi akan jadi seperti apa," ucapnya.
"Tidak apa-apa. Jangan pikirkan itu lagi, sekarang kalian sudah aman," sahut Rafa cepat.
Nadia mengangguk dan masih tersenyum tipis.
"Bolehkah aku tidur di sini saja?" Bianca menyela pembicaraan mereka berdua.
"Tapi, Mama dan Pa--"
"Mereka sedang ke luar negeri selama satu Minggu, tadi sore Mama mengirim pesan padaku," potong Bianca sebelum Nadia menyelesaikan ucapannya.
Lucas menyembulkan kepalanya dari dalam kamar. "Ada yang ingin menginap di sini?" tanyanya dengan nada sok polos.
Bianca mengangguk. "Aku akan menginap di sini semalam," jawabnya antusias.
"Aku juga!" sahut Nadia.
"Dan aku juga!" sahut Rafa juga.
"Kamu juga?!" sahut Nadia, Bianca dan Lucas bersamaan.
Rafa mengangguk kuat. "Iya, kenapa?" tanyanya dengan raut wajah datar tak mengerti maksud ketiga orang itu.
"Kamu pikir rumahku penginapan atau bagaimana? Untuk apa kamu juga ikut menginap?" ketus Lucas.
"Hei! Kamu pikir aku bisa membiarkan orang mesum seperti mu bersama dengan dua gadis di malam seperti ini sendirian? Ck, jangan mencoba mengambil kesempatan," cebik Rafa sambil memutar kedua bola matanya malas.
"Wah... Kamu benar-benar ya. Tidak bisakah kamu berpikir positif sedikit saja tentang ku? Kenapa hidupmu selalu menaruh curiga padaku ha?" debat Lucas merasa di tuduh oleh Rafa.
"Memang kenyataannya seperti itu!" sarkas Rafa yang masih tak mau mengalah.
Nadia dan Bianca menghela nafas berat. Kedua remaja cantik itu sama sekali tidak mengerti dengan apa yang sedang di lakukan oleh kedua remaja laki-laki itu. Rafa dan Lucas benar-benar seperti layaknya anak kecil yang bertengkar hanya karena sebuah mainan saja.
"Aku tidak jadi menginap di sini," ucap Bianca pada akhirnya karena ia mulai muak dengan perdebatan Rafa dan Lucas.
"Aku juga. Lebih baik kita pulang saja," imbuh Nadia.
"Iya, itu lebih baik. Kalian jangan menginap di sini jika tidak bersama dengan ku," sahut Rafa menggebu-gebu.
"Baiklah, kita pulang sekarang? Kamu sudah bisa berjalan atau belum?" tanya Nadia pada Bianca.
"Biar aku gendong..." itu Lucas yang menyela.
Lucas segera mendekati Bianca dan mengambil ancang-ancang untuk menggendong nya. Namun Bianca sudah melemparkan tatapan matanya yang tajam pada pemuda tampan itu.
"Hentikan. Aku bisa berjalan sendiri," ucap Bianca dengan nada dinginnya yang mana langsung membuat nyali Lucas menciut seketika.
Lucas yang berada di depan Bianca itu pun memundurkan tubuhnya beberapa langkah. Lebih baik ia menjauhi Bianca daripada mendapatkan masalah yang lebih parah nantinya. Percayalah, Bianca yang bersikap dingin terlihat lebih menyeramkan di bandingkan orang yang sedang marah tak terkendali.
"Kenapa kamu lebih seram dari kakak mu," gerutu Lucas.
Nadia terkekeh melihat Lucas yang bergindik takut pada Bianca. Lalu gadis itu berdiri membantu Bianca untuk berjalan. Keduanya mengucapkan terimakasih pada Lucas karena sudah di izinkan untuk istirahat sejenak di rumahnya.
"Aku anter pulang ya?" tawar Rafa.
Nadia hanya tersenyum dan mengangguk. Tidak ada alasan untuk menolak karena sudah tentu mereka membutuhkan bantuan orang lain supaya tidak kerepotan jika pulang sendirian.
"Yeee si kadal, ngatain orang cari kesempatan dia nya sendiri sama aja," cebik Lucas .
"Diam kamu. Bilang ke Kak Mark aku mengantar mereka dulu," ketus Rafa.
"Ck, iya-iya. Ya udah sana. Hati-hati," sahut Lucas dengan ogah-ogahan.
"Iya. Cerewet sekali kamu ini!" pamit Rafa dan berlalu menghilang dari balik pintu rumah Lucas.
Setelah ketiga remaja SMA itu pergi, Lucas segera menutup pintu rumahnya karena keadaan sudah sangat sepi. Lucas sedikit lega karena mereka semua sudah dalam keadaan baik-baik saja.