Sudah menjadi kebiasaan bagi Gibran pagi-pagi harus berangkat ke kantor. Ia hidup sebatang kara tanpa orang tua. Orang tuanya sudah meninggal sejak Gibran masih kecil. Ibu Gibran meninggal saat Gibran berusia 5 tahun. Sedangkan Ayahnya meninggal saat Gibran berusia 15 tahun.
Kehidupan Gibran tidaklah mudah, ia harus berjuang sendirian sejak ia berusia 15 tahun. Gibran harus mencari makan sejak ia masih kecil, soal pekerjaan sudah menjadi kebiasaan sehari-hari Gibran.
Gibran merupakan laki-laki yang pandai sejak kecil, juara satu atau dua sudah ia nikmati sepanjang hidupnya.
Gibran sekarang sudah berusia 25 tahun, ia menjadi wakil direktur di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Banyak perusahaan yang mengetahui kepintaran Gibran dalam berbisnis. Banyak perusahaan yang tertarik dengan cara kerja Gibran yang selalu membuat perusahaan semakin maju dan sukses.
Kalau saja Gibran punya banyak uang untuk membangun perusahaan, tentu ia sudah berjaya sekarang, tetapi kendala Gibran saat ini adalah modal. Gibran harus berjuang keras untuk hidupnya sehari-hari. Hidup Gibran saat ini memang sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Dulu ia hanya makan sehari satu kali. Namun, sekarang ia bisa menikmati hasil jeri payahnya yang sudah membuahkan hasil.
Paras Gibran yang tampan membuat Gibran menjadi pria idaman di kantor. Badan tinggi tegap, kulit putih, tampilan selalu rapi membuat para pekerja wanita di kantor seolah di hipnotis karenanya.
"Selamat pagi," sapa Gibran saat baru masuk kantor dengan para sesama kerjanya.
"Selamat pagi," balas mereka serempak.
Gibran melangkah cepat untuk masuk kantor. Ia pagi ini sedikit terlambat dari biasanya, pasalnya laki-laki itu tidak pernah terlambat datang ke kantor karena pagi tadi jalanan begitu macet membuatnya harus bersabar untuk mencapai kantor.
Gibran duduk di ruanganya dengan tatapan tegas dan serius. Tidak ada yang berani menganggunya jika posisi Gibran sedang seperti ini. Laki-laki itu tengah tenggelam dalam tugas yang ada di hadapanya.
"Gibran, tolong ke ruangan saya!" Pinta sang pemilik kantor dengan tegas.
"Baik, Pak."
Gibran segera berdiri untuk menuju ruangan Pak Abraham. Pak Abraham adalah pemilik kantor yang selalu bersikap tegas kepada semua karyawanya. Pak Abraham sangat di kenal keras, ia tidak suka pekerja yang bertele-tele, alias lelet. Begitu juga jiwa yang di miliki Gibran, ia tidak suka sesuatu yang tidak pada tempatnya. Gibran juga tidak suka sesuatu yang dilakukan dengan bertele-tele, persis dengan apa tidak di sukai Pak Abraham.
"Gibran, bulan ini omset cukup melambung tinggi. Aku suka sekali cara kerja kamu. Aku memutuskan buat menaikkan gaji kamu," ujar Pak Abraham.
"Pak! Sungguh? Terimakasih, Pak," balas Gibran.
"Iya, Gibran." Pak Abraham menepuk-nepuk pundak Gibran dengan pelan.
Gibran melangkah keluar dengan rasa bahagia yang tidak bisa ia jabarkan lagi. Gibran keluar kantor untuk mencari makanan sesuai permintaan Pak Abraham. Pak Abraham menyuruh Gibran membeli makanan untuknya. Sebenarnya ada banyak OB, tetapi Gibran yang ingin keluar untuk membeli makanan itu sendiri.
Di tempat makan itu ada seorang wanita tua yang sering Gibran temui, Pak Abraham juga mengenal wanita tua itu cukup baik. Jadi, Gibran selalu ingin ke sana sendiri saat Pak Abraham menginginkan makanan. Gibran hanya ingin meringankan beban wanita tua itu.
Gibran sudah sampai di sebuah warung kecil di kota Jakarta. Ia segera masuk dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
"Bu ... gado-gado dua," ujar Gibran dengan senang.
"Eh, Nak Gibran. Mau di bungkus atau dimakan disini?" tanya Ibu Aminah dengan senang.
"Dibungkus, Bu. Lagi ada perlu, lain waktu saya makan di sini, Bu," kata Gibran tidak ingin membuat Ibu Aminah sedih.
"Iya, Nak Gibran. Ibu tau kamu sibuk," balas Ibu Aminah memahami.
****
Setelah selesai dari warung Ibu Aminah, Gibran segera pergi menuju tempat foto copy-an. Gibran membawa dua bungkus gado-gado dari warung Ibu Aminah yang ia letakkan di bagian mobil depan.
Gibran melihat tempat foto copy-an itu sangat penuh antrian, ia jadi ragu untuk foto copy di tempat itu. Gibran memilih mencari tempat lain saja, yaitu didekat rumah sakit.
Gibran bernafas lega saat melihat tempat foto copy-an itu hanya ada dua orang saja. Gibran memutuskan untuk memarkirkan mobilnya terlebih dahulu, lalu ia turun untuk menuju tempat foto copy-an.
Ini baru pertama kalinya Gibran foto copy di tempat lain, selain tempat langganannya tadi. Gibran berharap foto copyan disini memuaskan.
Kini giliran Gibran saat antrian dua orang itu sudah pergi.
"Mas ---," perempuan itu langsung terdiam saat melihat orang yang ada di hadapannya.
Gibran merasa membeku di tempat, ia merasakan bibirnya keluh. Tatapannya hanya tertuju dengan perempuan yang tengah ada di hadapnya.
"Gi -- Gi -- Gibran." Perempuan itu menyebut nama Gibran dengan susah payah.
"Kanaya," sahut Gibran.
"Mau, foto copy apa?" Tanya Kanaya berusaha menghilangkan kecanggungan di antara mereka.
"Ini." Gibran menyodorkan kertas yang perlu di foto copy.
"Berapa lembar?" tanya Kanaya.
"10."
Keduanya lalu sama-sama terdiam. Hanya terdengar suara mesin foto copy yang menemani mereka.
"Ini sudah." Kanaya meletakkan kertas itu di meja etalase.
"Berapa?"
"Lima ribu," balas Kanaya.
Gibran berusaha mencari uang yang pas agar bisa cepat pergi dari tempat tersebut, nyatanya alam berkata lain. Ia hanya punya uang 50 ribuan di dompetnya, dengan terpaksa Gibran memberikan yang ada.
"Sebentar." Kanaya berusaha mencari kembalian untuk Gibran. Namun, uangnya hanya ada Rp.20.000. Kanaya berusaha mencari di tasnya juga agar mendapat kembalian yang cukup tetapi ia juga tidak memilikinya.
"Gibran, aku tukar uang dulu nggak papa ya? Soalnya kembalianya kurang," ujar Kanaya dengan malu.
"Kurang berapa sih?" tanya Gibran.
"Kurang 20.000," balas Kanaya.
"Udah nggak papa. Itu aja mana?" balas Gibran mulai tak santai.
"Bentar kok."
"Nggak usah, Nay," kekuh Gibran. Pasalnya laki-laki itu tidak ingin lama-lama di tempat itu.
"Aduh, aku nggak enak. Nanti kamu pulang kerja kesini lagi aja, pasti sudah ada uangnya," kata Kanaya.
"Kamu kasih nggak uangnya? Kalau nggak aku pergi." Gibran mulai gerah dengan sikap Kanaya.
"Iya, iya. Masih banget nggak sabaran, nggak suka bertele-tele, apa-apa harus cepat gitu," gerutu Kanaya.
"Nay, masih lama nggak?"
Kanaya segera mengambil uang 20.000 itu untuk ia sodorkan pada Gibran. Gibran langsung melenggang pergi dari hadapan Kanaya yang masih memandang kepergiannya.
Kanaya merasa terpesona lagi seperti dulu. Iya, dulu saat mereka masih berhubungan dekat. Sudah hampir tiga tahun Kanaya tidak bertemu Gibran, dan hari ini mereka bertemu lagi.
BACA TERUS KISAH GIBRAN
NANTIKAN PART SELANJUTNYA
SEE YOU
SALAM
NUR KHUSNA.