"Nay," panggil Gibran saat perempuan itu tidak kunjung menjawab.
"Emm, iya. Jadi kamu belum tau?" kata Kanaya dengan serius.
"Tau apa?" bingung Gibran.
"Soal ---"
"Mbak, tolong fotocopy-kan. Saya ambil nanti ya. Aku mau beli makanan dulu," tiba-tiba ada pelanggan yang datang. Kanaya langsung berdiri.
"Iya, Mas." balas Kanaya.
Kanaya mengambil lembaran fotocopy-an punya Gibran, lalu ia merapikanya.
Gibran mendekat pada Kanaya, "Soal apa?" tagih Gibran.
"Apa?" Kanaya tidak mengingatnya.
Gibran menghela nafas lelah. "Baru saja ngomong, masak sudah lupa sih?" geram Gibran.
"Oh, tadi. Soal pernikahan aku," kata Kanaya.
Gibran langsung di buat bungkam mendengarnya. Mendengar kata pernikahan saja sudah membuat Gibran sesak.
"Kenapa?" tanya Gibran dengan susah payah.
"Pernikahan aku ---"
Ddrrrttt ...
Ponsel Gibran tiba-tiba bergetar. Ia harus mengurungkan niatnya untuk mendengar penjelasan Kanaya.
"Hallo," Gibran mengangkat panggilan di ponselnya.
"Gibran, meeting mau di mulai."
"Baik, Pak. Saya segera kesana."
Gibran mematikan panggilanya dengan Pak Abraham.
"Nay, aku ke kantor dulu," pamit Gibran.
"Ini berkas kamu belum selesai lo," ujar Kanaya.
"Emm, itu masih ada berapa lembar?" tanya Gibran.
"100 lembar."
"Itu aja dulu aku bawa."
Kanaya mengambil 100 lembar itu lalu ia siapkan di kantong plastik.
"Nih!" Kanaya memberikan fotocopy-an itu pada Gibran.
"Aku pergi dulu!" pamit Gibran.
"Gibran," panggil Kanaya saat laki-laki itu beranjak pergi.
"Hmm," Gibran membalikkan kepalanya menghadap Kanaya.
"Hati-hati." ucap Kanaya dengan tersenyum.
Gibran mengangkat sudut bibirnya untuk tersenyum, lalu Gibran mengangguk. Gibran melangkah pergi dari toko Kanaya dengan rasa bahagia di hatinya. Sungguh, Gibran merindukan kalimat itu dari bibir Kanaya.
Kanaya memandang kepergian Gibran yang semakin menjauh, ia tidak bisa menahan senyuman yang terpancar di wajahnya saat ini.
****
"Mana fotocopy-annya Gibran?" tanya Pak Abraham.
"Ini, Pak."
Pak Abraham mengamati lembaran yang di berikan Gibran.
"Ini kok banyak sekali?" bingung Pak Abraham.
"Hah?" Gibran jadi tidak mengerti, padahal itu belum selesai. Kenapa Pak Abraham sudah bilang banyak.
"Kamu fotocopy berapa?"
"Itu masih 100 lembar," kata Gibran.
"100 lembar? Aku minta 30 lembar Gibran ..."
"Hah? Apa? 30 lembar?" Gibran merasa benar-benar bodoh sekarang. Bodoh karena memikirkan Kanaya, Mungkin!
"Sudah, nggak papa." Pak Abraham menepuk pundak Gibran dengan pelan.
Setelah kepergian Pak Abraham, Gibran masih tidak menyangka ia bisa membuat kecerobohan seperti itu. Terus untuk apa sisa 900 lembar di toko Kanaya? Entah, Gibran merasa tiba-tiba pusing. Kalau saja Pak Abraham tahu, kalau Gibran mengfotocopy 1000 lembar. Mungkin beliau akan semakin menertawakanya.
****
Setelah selesai meeting, Gibran membereskan beberapa berkas untuk ia bawa lagi ke ruanganya.
"Gibran," sapa seorang perempuan sexy pada Gibran.
"Iya, San," balas Gibran tanpa mengalihkan pandanganya dari beberapa berkas di meja.
"Nanti bisa makan bareng kan?"
"Maaf, nggak bisa."
Gibran beranjak pergi setelah menolak keinginan Sania. Sania merupakan salah satu perempuan yang cukup terobsesi dengan Gibran. Bahkan, perempuan itu selalu berjuang dengan segala cara agar bisa mendekat pada Gibran.
Sania merasa kesal pada Gibran. Sudah beribu-ribu kali ia mengajak Gibran makan. Namun, belum sekalipun ia menerima permintaan Sania. Pernah makan bersama itupun saat bersama semua karyawan kantor.
Gibran melangkah cepat menuju ruangan. Ia cukup terganggu saat ada perempuan yang terlalu menekanya seperti yang di lakukan oleh Sania.
Gibran segera duduk dan menyenderkan kepalanya di kursi yang ia duduki. Bayangan Kanaya tiba-tiba saja muncul kembali kali ini. Entah, ia tidak bisa membohongi rasa yang masih utuh untuk Kanaya sampai hari ini.
****
Kanaya hari ini tidak ke toko foto copy. Namun, ada teman dia yang menggantikannya hari ini. Ratu. Ratu adalah sahabat yang sangat dekat demgan Kanaya. Ratu juga sangat tulus pada Kanaya selama ini. Kisah cintanya dengan Gibranpun ia juga sangat-sangat mengerti.
Kanaya hari ini berniat untuk pergi ke suatu tempat bersama sepupunya, yaitu Surya. Surya berusia tiga tahun lebij muda dari Kanaya. Surya sebenarnya meminta Kanaya untuk tinggal di rumahnya. Supaya Kanaya tinggal di tempat yang lebih layak dari sebelumnya.
Kanaya tengah berdiri di halaman untuk menanti datangnya Surya. Namun, ia sudah menunggu hampir setengah jam, Surya masih tak kunjung terlihat.
"Kay," sapa Surya saat sudah tiba.
"Lama." Kanaya benar-benar tidak suka di buat menunggu. Namun, Kanaya tetap wanita yang sangat sabat pada semua orang.
"Maaf."
Kanaya segera naik mobil Surya agar ia tidak pulang larut malam. Surya hanya menatap sang saudara dengan tatapan bingung.
"Kamu, tumben dandan?" yang biasa Surya lihat, Kanaya jarang sekali bermake up. Namun, kenapa hari ini tampak berbeda. Mungkin karena suasana hatinya yang sudah berubah.
"Iya, mau bertemu teman SMA. Nggak mungkin kan aku terlihat tidak terawat," ujar Kanaya.
Kalimat itu selalu berhasil membuat semua orang diam termasuk Surya. Surya sebenarnya sangat kasihan dengan Kanaya yang hidup apa adanya. Orang tua Surya juga sudah berusaha membujuk perempuan itu. Namun, nyatanya dia tidak tergiur sama sekali.
Surya memilih menjalankan mobilnya dengan pelan. Ia tidak tau harus bertanya apa lagi. Surya suka bercanda, tetapi jika Kanaya sudah berucap tentang kehidupan, iapun juga akan sangat ikut sedih.
"Maaf," ujar Surya dengan rasa tidak enak.
"Kenapa sih? Ini mau aku, kamu nggak usah merasa bersalah."
Surya mengangguk meskipun tidak sejalan dengan hatinya.
"Sebelum ke restoran, kita ke supermarket dulu ya," pinta Kanaya.
"Iya, Kay."
Perjalanan yang sudah di tempuh sekitar 20 menit, kini sudah sampai di supermarket. Kanaya sepertinya ingin membeli sesuatu yang ia butuhkan nanti.
"Mau ikut?" ajak Kanaya.
"Enggak. Aku tunggu disini ya," balas Surya dengan mengambil ponsel pada saku.
"Emm ... yaudah."
Kanaya melangkah masuk menuju supermarket untuk membeli yang ia butuhkan untuk dia beli. Kanaya membuka pintu pelan, ia mencari di mana sebuah minuman berada. Kanaya ingin membeli minuman juga. Setelah dapat minuman, Kanaya berjalan menuju sebuah tempat roti.
"Ini dia." Kanaya mengambil satu bungkus roti krim coklat yang sangat ia sukai.
Setelahnya ia membalikkan badan, ia melihat seseorang yang tentu sangat tidak asing baginya.
"Gibran," panggil Kanaya pada Gibran yang berdiri menatapnya.
Entah darimana asal muasal laki-laki itu yang tiba-tiba berada di supermarket yang sama denganya.
Gibran berjalan mendekat pada Kanaya dengan tatapan yang tidak bisa di artikan. Kanaya cukup panik saat melihat Gibran yang langkahnya semakin mendekat ke arahnya.
"Gibran --- apa?" Kanaya masih cukup terkejut dengan kehadiran Gibran.
Gibran berdiri tepat di depan Kanaya dengan kedua tangan yang ia masukkan kedalam saku celananya.
BACA TERUS KISAH GIBRAN
NANTIKAN PART SELANJUTNYA
SALAM
NURKHUSNA.