Brian harap dia bisa membagi kesedihan adik-adiknya. Tapi karena dirinya tahu bahwa dia masih hidup, dia tidak bisa sedih.
'Kenapa aku harus sedih padahal aku selamat dan masih hidup?'
Dipikir-pikir situasi ini bisa berubah jadi lebih baik. Dia bukan orang yang takut bekerja keras, dan menjadi 'orang lain' mungkin terkesan menipu orang di sekitarnya, tapi ini bukanlah keinginannya, jadi tidak ada yang bisa dia lakukan kecuali menjalaninya.
"Brian Anderson, apa kau sakit jiwa?" Ferdi di seberang menukas setelah sekian lama diam.
Brian sudah menyangka permintaannya akan sulit untuk diterima. Tapi, dia harus berusaha. Dia bukan orang yang mudah menyerah. Namun, sebelum dia sempat berkata-kata, Ferdi sudah bertanya lebih dulu.
"Berapa banyak anak?"
"Ya? Ah, ya, lima orang."
"Lima? Kau pikir kau bisa mengurus sebanyak itu?"
Paling tidak, pria tua ini tidak menolaknya.
"Tentu saja, kau bisa melakukannya. DFF grup punya satu lembaga khusus untuk mengembangkan bakat anak. Semua biaya ditanggung DFF, kau tidak perlu khawatir. Cukup daftarkan mereka ke lembaga."
"...." Brian pikir itu bukan hal yang sulit. Dia merasa juga adik-adiknya tidak sebodoh dia yang hanya lulusan SMP. Bagus kalau bakat mereka bisa di kembangkan dengan bahan maksimal.
"Tapi aku tidak ingin mereka terikat dengan perusahaan."
"....Maksudmu kau tidak ingin mereka terikat dan berakhir untuk hanya bisa bekerja di DFF grup?"
Kalau penerus DFF grup berkata demikian, ketertarikan orang tersebut tentunya sudah melenceng. Ferdi merasa perubahan anaknya ini mencurigakan. Tidak hanya hal ini akan membantu anak-anak itu, tapi juga bermanfaat untuk perusahaan. Apalagi alasan untuk Brian sampai ingin mengadopsi anak-anak ini?
Mungkinkah dia sungguh tertarik dan menyukai a, anak kecil?!
"Ayah kenal seorang psikiatri handal soal seksualitas. Kau mau coba untuk datang kesana, hm?"
"...." Brian tidak tahu apa yang ada di pikiran orang tua ini. "Aku tidak sakit jiwa, dan aku tidak memiliki pandangan demikian pada anak-anak."
"Oh..., begitukah." jawaban Ferdi seakan dia mengiyakan orang gila yang mengaku waras.
"Aku serius! Aku suka dada besar! Sebesar melon kalau bisa!!"
.
.
Krik-krik.
Dari dalam rumah, Erika dan Felix yang tersentak karena Brian yang tanpa sadar berteriak, bertatapan satu sama lain. Sana dan Sani terlalu fokus makan untuk sadar.
"Kau yakin dia orang baik?" Erika menurunkan sumpitnya.
Felix berdehem, melirik dada kakaknya. "Setidaknya punyamu tidak sebesar melon, ini melegakan." jeda. "Tapi kurasa kita harus berpikir ulang."
Kembali ke telepon, Ferdi yang mendengar jawaban itu tercenung dan kembali mengingat perempuan yang pernah dikencani putranya. Kalau di pikir-pikir, hal itu tidak salah juga. Meski sebenarnya dia tidak pernah melihat yang sebesar melon....
"Kau tahu, biasanya yang besar itu hasil suntikan. Kau harus berhati-hati... ah lupakan." Ferdi berdehem menyadari sekretaris dan asistennya menatap aneh didekatnya.
"Baiklah, begini saja. Masukan mereka di bawah namamu. Tapi untuk sementara mereka akan berada di bawah pengawasan lembaga. Aku akan memeriksa data-data mereka dan memeriksa kemungkinan tidak ada melon diantara... ah, maksudku." dalam hati Ferdi mengutuk Brian karena apa yang dia katakan. Ini semua gara-gara putra jahanamnya.
"Kau bisa langsung melakukannya, tapi ada syaratnya."
Brian yang sejak tadi mendengarkan, segera menyiapkan dirinya.
"Kau harus menghadiri wisuda Yuna dan mengawalnya pulang ke Negeri I."
"Aku mengerti." dia berinteraksi lewat chat sebelumnya, dan dia pikir Yuna bukan perempuan yang tidak masuk akal.
Di seberang, Ferdi seperti kehabisan kata-kata saking kagetnya. Kenapa anaknya yang berandal, tengil, dan tidak berotak ini tiba-tiba bersedia untuk hadir rapat, mengajukan membantu anak malang, lalu bersedia untuk mulai berinteraksi dengan tunangannya?
Apakah mungkin dia melakukan tindakan kriminal dan melakukan ini untuk menebus dosanya?
"Selidiki pengeluaran Brian dan kegiatannya selama sebulan terakhir." Ferdi menutup speaker dan berbisik pada asistennya. Dia sudah setua ini, tapi masih mengkhawatirkan sikap anaknya yang tak berakhlak. Kalau bukan karena perasaan sebagai seorang ayah, anaknya ini sudah dia buang ke tempat daur ulang.
Sudahlah, ini hal bagus untuk masa depan grup, dan juga untuk dirinya.
"Kau juga harus pulang ke rumah dan memberi hormat pada tetuamu." mengetahui anaknya tiba-tiba jadi jinak, Ferdi dengan tidak tahu malu mengambil satu langkah lagi untuk meminta.
"Ya, tentu saja!"
Banzai.
"Kau harus datang bersama Yuna."
Brian memikirkan waktu wisuda Yuna, masih lebih dari sebulan lagi. Dia masih ada waktu untuk mempersiapkan diri. "Baiklah."
"Bagus! Bagus sekali! Kau bilang sekarang kau sedang di rumah temanmu?"
"Ya."
"Besok kau tidak perlu ke kantor, ajak mereka bermain ke BumbiLand. Soal lembaga dan seterusnya biar anak buah ayah yang tangani."
"Kurasa itu tidak perlu. Tapi aku akan membawa mereka untuk mencari udara segar besok." kakak adik-adiknya baru 'meninggal', mana mungkin dia bisa membawa mereka di BumbiLand dan semacamnya?
"Oh, benar, kakak mereka kan baru pergi ya. Hm. Hm. Baiklah, kau urus saja mereka disana. Tidak perlu khawatir soal sisanya."
"Terimakasih, ayah." tanpa sadar Brian mengutarakan isi hatinya. Dia benar-benar bersyukur ayah tubuh ini adalah seorang yang perhatian. Meskipun dia merasa sedikit cringe, memanggil orang lain 'ayah'.
Sementara itu Ferdi, dia merasa bahwa ini kali pertama putranya berterima kasih sedemikian seriusnya. Sungguh membuat hati tuanya tersentuh.
"Kau anak bodoh, aku kan ayahmu." Ferdi menggumam setelah sambungan terputus. Dia merasa putranya sungguh berbeda. Kalau dia tidak percaya takhayul, dia pasti menyangka yang tadi bicara padanya itu bukan anaknya.
"Serahkan daftarkan anak-anak ini ke bawah lembaga dan .... ya, lalu..." Ferdi meminta sekretarisnya untuk mengurusi dokumen adik-adik Brian. Sekretarisnya, tentu saja mengiyakan. Namun begitu keluar pintu, dia langsung menelepon Rio dan menyerahkan tugas itu padanya.
"Ini adalah permintaan langsung dari Ketua. Laporkan begitu selesai, ini darurat."
Rio, yang sedang terjebak karena pekerjaan tuannya masih menumpuk, melap keringat dingin karena tahu dia akan begadang lagi malam ini.
"Dan besok Tuan muda tidak akan masuk kerja karena urusan penting." tambah sekretaris Ferdi, membuat Rio ingin menangis darah, namun tidak bisa karena darahnya sudah... terikat pada DFF grup....
***
Brian kembali masuk setelah menyelesaikan urusannya. Dia duduk di meja yang hidangannya sudah habis dan di ganti dengan cangkir teh.
"Ehem, sebelumnya aku ingin membicarakan hubungan kakak kalian denganku. Aku berhutang sesuatu padanya.. Dan aku pikir ini bukan hal yang salah untuk membalas jasanya.."
Namun sebelum dia melanjutkan kata-katanya, sekelompok orang masuk menerobos ke rumah dan mulai berteriak.
Seorang pria masuk bersama seorang wanita dan dua orang remaja.
"Jadi ini rumah baru kita? Payah seperti gubuk. Tapi lebih baik daripada tempat yang dulu." kata salah satu remaja berambut spike. Telinganya bertindik sementara tubuhnya lamban dan matanya cekung.
"Oh, rumah ini hanya ada dua kamar. Tapi cukup luas." Yang lebih muda berkeliaran masuk ke tiap ruangan. Lalu tanpa tahu diri membuka satu-satunya lemari di kamar pertama, lemari itu berisi pakaian milik Brian, Aciel, dan Felix.
"Hentikan!!" Felix yang entah sejak kapan berdiri sudah mendorong jauh anak itu dari menyentuh barang kakaknya.
"Kau!!" Remaja itu jauh lebih besar, sudah pasti. Namun, tidak membalas perbuatan Felix, anak itu justru menyeringai. Nadanya penuh ejekan, tanpa sedikitpun rasa simpati.
"Hei, sepupu. Kau seharusnya lebih menghargai yang masih hidup daripada menangisi yang sudah mati."
Remaja ini sepertinya masih SMP, tapi yang diucapkan antipati.
"Bukankah kakakmu sudah mati? Apa gunanya disimpan?"
"Kenapa kalian kemari?" Erika yang sejak tadi diam, menyerahkan Aciel pada si kembar dan menghadap pasangan paruh baya yang Brian kenal jelas siapa.
Mereka merupakan adik kandung ayahnya. Paman dan bibinya yang dari ayahnya ini terkenal berjiwa miskin dan menjengkelkan.
Kedua pasangan itu baru menyampaikan doa jauh dari tulus, lalu mulai berkilah,
"Erika, kau masih kecil. Masih SMA, kan? Geral dan Reez tidak jauh usianya denganmu. Tapi lihatlah, kalian begitu kesepian tiada orang tua dan kini kakakmu pergi. Aku tidak bisa membayangkan kehidupanmu tanpa kasih sayang dan didikan orangtua. Bibi sungguh sedih."
Brian melipat tangannya dan menyaksikan, ingin tahu omong kosong apa yang mereka buat kali ini.
Ini bukan kali pertama keluarga mereka mendatangi rumah ini. Meskipun rumah ini tidak besar dan terletak di area terpencil, hal itu tidak menghentikan mereka untuk menghisap, selayaknya lintah.
Pamannya seorang pemalas, bibinya banyak bekerja namun ketidakjujurannya memperburuk kepribadiannya. Anak pertamanya, Geral, drop out saat SMP karena pergaulannya sulit di atur. Brian curiga anak itu kini minum-minum dan menghisap obat tanpa sepengetahuan orangtuanya.
Anak keduanya, Reez tidak jauh lebih baik. Geral setidaknya jujur dan tidak berotak soal merencanakan muslihat. Tapi adiknya, kecil-kecil sudah menyerupai sifat-sifat orang tuanya.
Biasanya setiap kali mereka datang kemari, Brian tidak pernah membiarkan mereka masuk dan langsung mengunci pagar. Mereka akan berteriak sampai tetangga sekitar memaki mereka. Kadang para tetangga juga marah pada dirinya, tapi daerah kecil seperti ini tidak banyak yang peduli. Saat hal seperti itu terjadi, biasanya Brian mengabaikan dan membiarkan mereka berkelahi satu sama lain karena membuat jengkel tetangga. Setelah itu, kadang keluarga pamannya tidak akan datang untuk waktu yang lama.
Tapi kini, mereka punya kesempatan untuk datang dan melakukan sesukanya karena ketidak-hadirannya.
"Hey, kakak sepupu," Reez mengabaikan Felix dan berjalan ke depan Erika. "Kau tidak tahu sopan santun pada orang tua?"
"Huh, anak tidak tahu diri mengoceh soal sopan santun." Felix tidak membiarkan Reez begitu saja.
Sementara Erika, dia terlalu malas meladeni Reez. Anak ini, masih SMP, tapi lihatlah tatapan anak ini. Memandang dadanya dengan kurang ajar dan terang-terangan.
Felix tahu persis otak apa yang ada di balik otak kotornya, kalau dia membiarkan orang itu dekat-dekat dengan saudara perempuannya, dia akan mencincang tubuh itu.
Brian yang tadinya mau diam dan mendengarkan, berubah pikiran. Kalau dia orang lain, dia mungkin akan menunggu sampai keadaan jadi dramatis sebelum turun tangan.
Tapi ini, mereka kan adiknya!
'Para bajingan ini, beraninya pada adik-adikku.'
"Ya, meskipun tempat ini kecil, tapi kalian bisa menggunakan ruang tengah untuk tidur bersama. Ruangan kedua untuk Geral dan Reez, bisa kan? Karena mereka sudah dewasa. Bibi dan paman akan memastikan kalian makan layak dan teratur. Jangan khawatir."
"Dengarkan bibimu dengan baik." pria baya itu berusaha mengelus bahu Erika. "Kau masih gadis dan tidak mengerti soal kehidupan yang keras. Kau perlu kami dan kami bisa mengurusmu juga adik-adikmu. Pikirkan soal sekolahmu dan sekolah adik-adikmu..."
"Hey, pak tua." Brian menahan tangan pamannya yang hendak menyentuh bahu adiknya. Matanya melotot seperti hendak keluar, sementara urat kejengkelan tercetak jelas di dahinya. "Sebaiknya kalian keluar sekarang dan berhenti berpikir macam-macam sebelum kulubangi otak kalian."
"Siapa kau!!"
"!"
Keempat orang itu akhirnya sadar ada satu orang lain di rumah ini. Apa? Apakah mereka kira Brian adalah arwah gentayangan hingga mereka kompak tidak menyadarinya?
Pria baya itu menepis tangan Brian sementara Brian tak membiarkan adik-adiknya maju sedikitpun dan berhadapan dengan paman-bibinya.
Seharusnya dia memprediksi kemunculan mereka sebelum datang kemari. Salahkan dirinya yang lupa.
"Kau..!" melihat penampilan Brian yang mencolok dan menggunakan barang bermerk, Reez lagi-lagi mengencarkan mulutnya. Kata-katanya penuh hinaan namun matanya tidak bisa menyangkal kekalahan.
'Lihat anak ini, matanya seperti bunglon tanpa sadar diri. Benar-benar tidak bisa diharapkan.'
"Erika, apa kau menjual diri sekarang? Abang ini kelihatan kaya raya, heh, tidak heran sih, kau terlihat sok suci menghindari kami, padahal hanya menunggu dan menyukai orang yang kaya. Jangan alim begitu! Tidak ada bedanya kaya atau miskin kalau kau hanya memikirkan soal--"
Pak!
Brian menampar Reez di depan semuanya. Dia tidak sadar rupanya tubuh ini memiliki tenaga yang jauh lebih kuat daripada tubuhnya yang dulu. Tidak heran satu tamparan itu langsung membuat Reez tersungkur. Kekagetan itu hanya sesaat sebelum Brian menatap bocah di bawahnya.
"Adik kecil, jaga mulutmu baik-baik. Kau tahu aku kaya kan? Kalian akan jadi gelandangan kalau macam-macam denganku."
Brian mengeluarkan ponselnya dan menghubungi nomor yang di kirim ayahnya sebelumnya.
Nomor salah satu asistennya yang tinggal dekat daerah Brian kini duduk.
"Kirim jemputan kemari sekarang juga. Ya, juga siapkan tukang bersih-bersih handal. Ada kecoak menjengkelkan yang mengganggu anak-anak ini... ya.." tatapan Brian seperti menusuk dan membekukan tubuh mereka. Saat dia berkata 'kecoak' rasanya persis seperti dia sedang memandang mereka seperti memandang serangga.
"K-kau!!" bibinya menarik Reez untuk berdiri. Sementara itu pamannya dan Geral yang pengecut, sudah memutuskan untuk melarikan diri.
"Ajari anakmu dengan benar."
"Ayo pergi dari sini!"
Reez yang tidak menyangka satu tamparan itu akan membuatnya pusing dan mimisan, memandang Brian seakan ingin melahapnya hidup-hidup.
Brian tidak pernah berhadapan sejauh ini dengan keluarga pamannya, karena biasanya mereka hanya berdiri di pintu pagar tanpa anak-anaknya. Tapi kini, melihat Reez, dia tahu dia tidak bisa membiarkan anak ini begitu saja. Hidupnya selama di tempat ini mengajarinya bagaimana untuk mengambil tindakan keras.
Tidak mudah untuknya tetap bertahan tanpa terluka, selagi melindungi adik-adiknya, terutama yang perempuan.
Sepuluh menit setelah keluarga pamannya pergi, seorang pria berjas, tua dan berkumis, muncul di depan pintu bersama seorang pria lain yang bertubuh kekar dengan kacamata hitam di belakangnya. Mungkin pengawal.
"Tuan muda, saya sudah menyiapkan mobilnya. Tapi karena jalannya terlalu kecil, kami tidak bisa membawanya masuk. Mohon maafkan ketidak-nyamanan ini." pria itu membungkuk rendah.
"Maaf merepotkanmu." Brian lalu beralih pada adik-adiknya yang duduk saling berdekatan dan was-was. Tidak hanya pamannya mengagetkan mereka, sikap Brian juga membuat anak-anak ini mau tidak mau jadi gelisah.
"Kita tidak tahu kapan orang tadi akan kemari lagi, jadi lebih baik kalian tidak diam disini. Aku juga tidak tenang meninggalkan kalian disini." Brian menghela napas melihat tatapan adik-adiknya yang meragu.
"Kalian akan bermalam di tempat lain untuk tidur. Besok, baru kita bicara. Aku benar-benar tidak berniat buruk, hm?"
Erika yang sejak tadi menatap Brian seperti elang, menurunkan pertahanannya dan bertanya, "Apa kau benar-benar teman kakakku?"
Brian tersenyum sedih. 'Tatapanmu seperti bilang kalau aku ini tidak punya teman, dik.'
"Mungkin disebut 'teman' terlalu jauh. Kami hanya saling kenal, tapi dia sudah menyelamatkanku."
'wahai pemilik asli tubuh ini, maaf karena aku sudah membual. Tapi kau sudah membuatku pindah tubuh jadi tak apa, kan?'
"Baiklah." Erika juga menyadari kalau dia tidak berdaya menjaga adik-adiknya di tempat ini. Bahkan sekali pun Brian orang jahat dan licik, Erika pikir tatapan pria di depannya ini tidak akan seburuk paman dan bibinya. Dan dengan kemampuan Brian, dia tidak perlu membujuk mereka, dia bisa langsung menyeret dan membawa pergi.
"Apa ada barang yang perlu kalian bawa?"
"Apa? Tidak." jawabannya tegas itu menyatakan bahwa Erika akan kembali ke tempat ini bersama adik-adiknya.
Benar juga, Brian menggumam.
Mungkin sebaiknya dia membicarakan kesepakatannya dengan ayahnya pada Erika besok setelah mereka beristirahat.
"Baiklah, tidak apa-apa. Aku akan mengantar kalian lagi kemari nanti. Ayo."
****