Gelora 💗 SMA
Pagi sekitar pukul 10.10 WIB. Rombongan telah sampai di pelataran sekolah. Para orang tua atau saudara sudah pada siap menjemput anak-anak mereka di luar. Dan ketika kami keluar dari Bus mereka pun berbondong-bondong menyambut kami dengan perasaan yang gembira. Wajah-wajah mereka sumringah seolah sudah lama tak bertemu dengan anak-anaknya. Padahal kami pergi berwisata cuma 4 hari, itu pun termasuk dengan waktu perjalanan yang sangat melelahkan.
Aku pun turun dari bus, aku melihat Rudy sudah dijemput oleh ayahnya dan mereka segera pulang. Lalu, aku juga melihat orang tua teman se-grupku yang memeluk anak-anak mereka. Yopi, Awan, dan Yadi mereka disambut pelukan hangat oleh Ibu mereka. Sementara Boni, nampakanya dia dijemput oleh kakak laki-lakinya. Hmm ... Cucok juga kakaknya. Tinggi, putih, berotot dan modis. Dan Akim ... dia dijemput oleh siapa? Kok, dia berbincang-bincang dengan seorang perempuan muda. Berambut panjang, kulit putih dan berparas cantik. Perempuan itu mirip sekali seperti yang ada di foto yang pernah ditunjukan Akim kepadaku. Ya ... aku yakin, itu adalah Amelia Gendhis Jawira, cewek yang diakui Akim sebagai pacarnya. Hmmm ... mereka nampak serasi. Gadis itu sangat cocok buat si Akim. Semoga langgeng ya, Kim!
Aku mengalihkan pandanganku, saat itu aku melihat Randy yang sedang dipeluk oleh laki-laki parobaya. Mungkin dia Ayah Randy. Dari segi garis wajahnya nampak mirip sekali dengan Randy. Tak kuduga ternyata Randy mewarisi ketampanan wajah dari ayahnya. Nampak jelas sekali Randy itu seperti hasil copy paste dari gen Ayahnya. Sama-sama tinggi, sama-sama ganteng dan sama-sama putih. Bedanya hanya ayah Randy telah berkaca mata. Duh ... ingin rasanya aku menghampiri mereka dan bilang, ''Om ... Om itu makannya apa sih, kok punya anak setampan dan segagah Randy? Boleh gak, Om, anak Om buatku aja!''
__Hmmm ... khayalan setinggi-tingginya. Awas jatuh Poo!
Oh ya, dari tadi aku belum melihat gerak-gerik sosok dari orang tuaku. Di manakah mereka? Apakah mereka tidak jadi menjemputku? Apakah mereka tidak kangen dengan anaknya ini? Huffft .... Ayah ... Ibu ... kok, aku tidak ada yang jemput, sih! Hiks ...hiks ... hiks ....
Aku merogoh kantong celanaku dan mengambil handphone kesayanganku. Ah, sial ... lowbat! Tidak bisa buat melakukan panggilan suara. Aduh ... bagaimana ini. Terpaksa deh, aku panggil tukang becak. Karena barang bawaanku lumayan banyak.
''Pak!'' seruku pada tukang becak. Dan si tukang becak itu langsung ngibrit menghampiriku.
''Mau mbecak, Dek?'' ujar si Tukang becak itu tepat di depanku. Oh Tuhan ... ganteng sekali Tukang Becaknya. Masih muda pula. Badannya kekar seperti binaragawan, kulitnya eksotis mungkin karena sering terpapar sinar matahari. Dadanya bidang, punggungnya lebar dan aroma tubuhnya ... mmm ... sangat jantan. Berkeringat tapi malah terlihat menggoda. Aku jadi terpana pada pandangan pertama.
''Dek ... kok, malah bengong, sih?'' tegur si Tukang Becak ini membuyarkan lamunanaku.
''Eh ....'' Aku jadi mendadak gagap.
''Dek ... jadi ndak naik becak saya?'' ujar si Tukang Becak ganteng ini dengan logat Jawa yang kental.
''I ... I ... Iya, Pak ... eh, Bang .... jadi ... jadi ...'' Tuh 'kan, aku jadi gugup begini kalau berhadapan dengan makhluk laki-laki yang berkategori tampan!
''Baiklah ... monggo, Dek!'' Laki-laki ini dengan sumringah menyilahkan aku untuk naik ke atas jok becaknya. Terlebih dulu dia membersihkan jok becak itu dengan menggunakan handuk yang melingkar di lehernya.
''Terima kasih, Bang!'' jawabku sembari mengangkat barang-barang bawaanku ke atas Becak. Abang Tukang Becak itu juga membantuku.
''Diantar ke mana, Dek?'' tanya Tukang Becak berbadan tegap ini setelah aku duduk manis di dalam becaknya.
''Ke Desa Sidomulyo, Bang!'' jawabku.
''Oke!''
''Berapa ongkosnya, Bang?''
''Selawe (Dua Puluh lima)!''
''Gak bisa kurang Bang!?'' Limolas (Lima belas), ya!''
''Jangan, Dek!''
''Aku anak sekolahan, Bang ....''
''Yo, wis paling Rongpuluh (dua puluh), gimana?''
''Ya, udah deh! Gapapa!''
Well, setelah sepakat dengan ongkos di angka Dua Puluh Ribu Rupiah si Tukang Becak ini pun langsung mengkayuh pedal becaknya dengan semangat empat lima! Luar biasa ... aku masih tidak percaya melihat tukang becak yang masih muda itu di jaman semodern ini. Padahal dengan tampang sekeren itu, dia bisa bekerja di tempat yang jauh lebih baik. Tapi mungkin ini pilihan dia, aku juga tidak tahu latar belakang mengapa dia memilih pekerjaan ini, apakah karena terpaksa atau punya tujuan lain. Ah ... entahlah, mungkin baginya pekerjaan apa pun yang penting halal.