Sepanjang perjalanan menelusuri kota Bali Dea hanya diam, entah kenapa dia tidak ingin berbicara. Matanya hanya menatap jalanan yang kemarin pernah dia lewati bersama sang kekasih gelap, seketika mengingat itu rasa rindu Dea pada Abraham membuncah.
Rama yang melihat sang istri hanya diam sebenarnya sedikit frustasi, padahal tadi dia sudah mencoba memancing dengan beribu pertanyaan, tetapi oleh Dea hanya di jawab seperlunya wanita itu saja.
"Pak, kita ke bandara saja!" titah Rama pada supir, matanya melirik sang istri berharap wanita itu buka suara dengan cara protes. Akan tetapi sepertinya sia-sia, Rama mengambil ponsel yang berada di saku celananya.
Tangannya lincah menari di layar ponsel dan mencari nama sang asisten, segera Rama menekan nomer itu. Nada tunggu masih terdengar di telinga Rama, menunggu beberapa detik.
Tersambung.
"Halo, Bos," sapa sang asisten, "pesankan dua tiket ke Jakarta, SEKARANG!" perintah mutlak dari si bos.
"Baik, atas nama nona Dea dan anda'kan?" tanya sang asisten langsung, dan Rama hanya menjawab dengan deheman dan segera menutup sambungan tersebut.
"Mau membeli oleh-oleh apa buat Mama?" Rama mencoba bertanya dan membuka percakapan dengan Dea. Dea menggeleng tidak tahu, matanya masih menatap jalanan kota Bali tersebut.
Rama menatap kesal sang istri, ingin sekali dia memeluk dan meminta haknya jika seperti ini terus. Matanya memindai tubuh Dea, entah hanya penilaiannya saja atau memang kenyataan, tubuh Dea agak lebih berisi.
Pipinya tambah chubby, dua aset kembar Dea tampak lebih besar, perutnya agak buncit.
Pasti Dea kebanyakan makan saat bersenang-senang dengan para sahabatnya, tapi itu tidak mengapa asal sang istri bahagia.
Mungkin perlu sesekali mengundang para sahabat sang istri datang kerumah kecil mereka agar mereka, para sahabat Dea bisa bertemu dan berbincang, mungkin dengan begitu Dea bisa luluh dan mau memaafkan dirinya.
Dering ponsel membuyarkan lamunan Rama, dilihatnya si pemanggil, "dapat?" tanya Rama tanpa basa basi.
"Dapat bos, mungkin setengah jam lagi anda bisa terbang," jawab si asisten, Rama mendengus kesal dan segera mematikan telepon itu.
"Pak ngebut, dua puluh menit kita harus sampai di bandara!" perintah Rama sambil menepuk pundak Pak supir, pak supir hanya mengangguk menanggapi perintah bosnya.
Pak supir memutar tuas dan menginjak pesal gas, Dea yang belum siap kepala terbentur jendela.
"Hati-hati, Pak!" pekik Dea kesal, tangannya mengusap keningnya yang tampak merah. Rama tersenyum gemas, bahagia mendengar istrinya marah-marah. Bagi Rama lebih baik Dea marah-marah meluapkan amarahnya dari pada diam saja.
Rama bergeser mendekati Dea, kemudian menarik kepala Dea dan mengusap pelan kening itu, sesekali meniupnya.
"Sementara kita kerumah mama Abhel dulu ya," Rama mengecup kening Dea agak lama, menunggu jawaban sang istri.
"Nanti kamu tidur di kamar mas, di bawah di ruang tamu ada Raya," Rama berusaha berbicara hati-hati, tetapi Dea masih saja diam.
Dea sebenarnya sangat tahu kalau Rama masih sangat mencintai dirinya, tapi dia tidak bisa menerima di bohongi. Jika Rama tidak mencintai dia kenapa sekarang dia menyusul kemari, pikir Dea.
Seketika Dea menyeringai, ada beribu rencana yang dia olah dalam otak cerdasnya. Dea juga tahu, Raya, istri kedua suaminya itu kaya, tidak mungkin mengincar harta suaminya.
Sekarang tugasnya mencari tahu apa tujuan wanita itu menikah dengan suaminya, jika hanya ingin menolong ibu mertua dengan memberikan anak, bukankah sudah hampir setahun mereka menikah, tetapi Raya belum juga hamil.
Tidak mungkin kan kalau mas Rama mandul, bukan nya waktu tes kesuburan mereka berdua dinyatakan sehat semua? begitu pikiran yang terbesit di otak Dea.
Dea melirik tangan Rama yang sedang mengetik sesuatu dan mengirimkan pada nomer tidak diketahui namanya karena tidak terpampang namanya. Hanya ada di panggilan masuk saja.
Dua puluh menit kemudian mobil yang Dea dan Rama tumpangi tiba di bandara, tampak pria berjas hitam melihat kearah mobil itu lalu berlari, di tangannya menenteng paperbag.
Rama yang sudah keluar dan berdiri di samping pintu tempat duduk Dea menerima uluran paperbag yang disodorkan oleh pria berjas hitam tadi.
"Tiket dan pesanan Tuan ada di dalam tas ini," kata pria berjas hitam tersebut, Rama hanya mengangguk dan menepuk pundak pria itu.
Rama membuka pintu tempat dimana Dea duduk, kemudian mengulurkan tangan hendak membantu sang istri keluar, keduanya berjalan bergandengan menuju tempat boarding.
Lima menit kemudian panggilan keberangkatan pesawat terdengar, Rama menuntun Dea memasuki tempat pemeriksaan tiket, tak berselang lama keduanya naik keatas pesawat dan burung baja tersebut terbang menembus langit.
***
Pesawat telah tiba di bandara Jakarta, Dea yang merasa tubuhnya lelah akhirnya tertidur, karena tidak tega membangunkan sang istri, Rama mengendong Dea.
Sebelumnya Rama telah menyelimuti kaki Dea, ya paperbag tadi sebenarnya berisi selimut dan akan dia gunakan saat sang istri tidur, untuk menutupi paha Dea yang terpampang.
Rama tidak rela tubuh Dea dilihat pria lain. Rama tersenyum menatap wajah Dea yang damai saat tertidur, rasanya lama sekali tidak memandang se dekat ini. Rasa rindu membuncah di dada Rama, kepalanya tertunduk dan mengecup bibir pink milik Dea.
"Aku merindukan kamu, Sayang," bisik Rama lirih, sesampainya di tempat parkir sang asisten segera membukakan pintu dan membiarkan atasannya memasukkan istrinya.
"Kamu langsung pulang saja," Rama memerintah, bukannya tanpa alasan, karena ini sudah malam dan asisten pribadinya tentunya sangat lelah karena ini waktunya istirahat.
"Baik bos," sang asisten mengangguk patuh, di belakang mobil yang Rama tumpangi ada mobil lain, sang asisten menaiki mobil itu setelah Rama meninggalkan tempat parkir itu.
Rama sesekali mengelus pipi Dea dengan punggung tangannya, menggemaskan sekali istrinya ini jika tidur begitu pikir Rama.
Karena jalanan lenggang Rama sedkit menambah kecepatan mobil tersebut, lima belas menit kemudian mobil yang Rama kendarai sampai dirumah sang mama, beruntung saat dalam perjalanan dia sudah menghubungi satpam dan menyuruhnya menunggu dan membukakan gerbang untuknya, juga untuk memberi tahu salah satu asisten rumah tangganya untuk membuk pintu utama.
Rama kembali mengendong Dea dan membawanya masuk setelah menutup pintu mobil, "banyak makan kamu kayaknya," Rama terkekeh dengan perkataan nya sendiri, dan segera membawa Dea masuk setelah salah satu Art membukakan pintu.
Saat memasuki ruang tamu, Rama berdoa semoga Raya sudah tidur, sehingga dia bisa langsung naik dan menidurkan Dea. Rama bernafas lega saat mendapati pintu itu tertutup, dan kaki Rama melangkah menaiki tangga.
"Kalian dari mana?" suara bariton dari belakang membuat Rama terkejut, dia memutar tubuh menghadap sang pemilik suara.
Rama bernafas lega karena sang ayah sendiri, bisa bahaya jika sang mama juga melihat Dea ada di sini. Walau sebenarnya tidak ada masalah karena Dea juga istrinya.
"Ini pah, habis liburan. Dea capek jadi ketiduran," Papa Roy hanya mengangguk dan menepuk pelan pundak sang putra.
"Bahagia selalu, dan jaga menantu papa," kata Papa Roy yang kemudian melangkah menuruni tangga. Rama hanya mendesah pelan, Rama tahu sebenarnya sang papa juga tidak begitu suka dengan Raya istri keduanya, tapi mamanya sangat menyayangi istri keduanya.