"Suci, maukah kau menikah denganku? Dengan duda yang pernah gagal membina rumah tangga? Bisakah kamu menjaga kepercayaanku, bahkan saat aku tidak ada?" Ardi melamarku setelah dua kali kami bertemu lewat perantara ibuku. Sebuah lamaran yang istimewa karena tidak didahului pacaran sebelumnya.
Kami juga tidak saling mengenal kecuali hanya lewat ibu masing-masing. Orangtua kami berteman. Dan perkenalan aku dengan Ardi tak lain adalah ide orangtua yang ingin anak-anaknya segera berumah tangga.
Pertama melihat Ardi, aku sudah suka. Pembawaannya tenang, tatapan matanya tajam, tubuhnya atletis. Sebagai seorang wartawan, Ardi Sanjaya, 32 tahun, juga termasuk tipe pria yang pintar. Ia cerdas. Sering mendapat tugas dari kantornya untuk liputan ke luar kota, luar pulau, bahkan luar negeri. Masalah kemapanan, tak perlu ditanya. Ardi punya segalanya.
Aku sendiri berusia 28 tahun. Seorang pengusaha. Aku punya bisnis fashion wanita yang cukup berjaya. Aku sudah mandiri secara finansial. Namun belum ada pria yang hendak melamar. Jomlo tulen.
Kejomloanku bukan tanpa alasan. Dahulu aku liar.
Sebagai pegawai di salah satu kantor swasta yang suka mengenakan rok mini, aku bergaul bebas dengan teman kerja. Aku menyerahkan kesucianku padanya di suatu malam. Saat ada dinas luar. One night stand.
Jangan tanya, apa aku menyesal sesudahnya? Tidak, aku menikmatinya. Gairah adalah bagian dari pergaulan masa kini, sudah menjadi sebuah peristiwa alami jika wanita dan lelaki berduaan, maka yang ketiganya adalah setan.
Dengan rekan sekantorku itu, akhirnya aku berpacaran. Tapi tidak lama. Karena aturan kantor, karyawan tidak boleh punya hubungan asmara. Begitu ketahuan kami dipanggil atasan. Lalu dipisahkan. Dia dipindahkan di kota yang jauh. Tiga bulan kami LDR-an. Lalu putus karena dia bilang jatuh cinta pada wanita lain. Wanita di kota ia berada.
Setelah bersedih karena dicampakkan, bulan berikutnya aku bertemu mantan teman SMA dalam sebuah reuni. Cinta monyet yang dulu pernah mewarnai masa remaja, kembali berbunga-bunga. Sekali lagi, kami pacaran kebablasan. Dia tak heran, kenapa aku sudah tak perawan. Justru dia maklum. Seolah, gadis tanpa keperawanan wajar adanya.
Dengan pria ini aku menjalani hubungan cukup lama. Dua tahun lebih dengan intensitas hubungan badan yang lumayan sering. Bisa dibilang setiap kencan kami berhubungan. Lalu aku hamil. Dia terkejut. Tak siap menerima. Bahkan menuduhku berhubungan dengan pria lainnya. Ia berdalih sudah main aman. Tak mungkin hamil dengannya.
Aku terpana melihat reaksinya. Kukira, ia mencintaiku sepenuhnya. Itulah alasan aku rela setia pada satu pria hingga begitu lamanya. Saking stresnya dituduh begitu, kandunganku yang masih sangat muda gugur dengan sendirinya. Seolah jabang bayi tahu, kehadirannya dari hubungan haram tak diinginkan ayahnya.
Aku sedih. Menangis depresi. Mengurung diri di kamar dan kemudian dipecat dari pekerjaan. Sungguh, aku wanita bodoh yang tidak bertanggung jawab.
Setelah dua bulan mengalami fase depresi. Ibu berhasil menarikku kembali agar tetap semangat menjalani hidup. Aku diajak mengurus bisnis ibu.
Perlahan aku mulai membuka hati. Hingga hatiku kembali terpaut pada seorang pria yang kuharap bisa jadi suami. Pria baru yang sebaya denganku.
Pria ini tidak agresif. Ia tak menghendaki hubungan suami istri sebelum janur kuning melengkung. Tapi ciuman hangat sering ia layangkan untukku. Jika aku menuntut lebih, ia menahannya. Ia bilang, tak ingin jadi bahan guncingan orang. Ia mau kami melakukan itu setelah menjadi suami istri. Aku suka, dia sangat menjaga hubungan kami.
Tak butuh waktu lama, setahun kemudian kami bertunangan. Ia bilang bahagia menemukanku sebagai calon istrinya. Dia tak segan mengumbar kata cinta yang membuat hatiku berbunga-bunga.
Ia juga memberikan aku banyak hadiah yang membuat hati ini tertancap cinta nan menggoda. Orangtuaku bahkan untuk pertama kalinya menunjukkan respect pada teman priaku ini. Mereka sangat berharap bisa mengangkatnya jadi menantu.
Harapanku melambung untuk hidup bahagia bersamanya. Berharap bisa menata hidup baru tanpa menoleh ke masa lalu. Mengira pria itu sudah jatuh cinta padaku sebesar aku jatuh cinta padanya, sehingga tak ada apa pun yang bisa memisahkan kami berdua.
Berbekal keyakinan tersebut, sebulan sebelum menikah aku berusaha jujur dengan menceritakan masa laluku. Tak ingin dia keheranan mengetahui diriku adalah gadis tak perawan. Tentu saja ia terkejut. Tetapi kupikir itu hanya reaksi spontan yang tak berakibat fatal. Namun, aku keliru. Tunanganku jadi ragu. Seminggu sebelum hari pernikahan, ia menghilang. Tak tahu ke mana rimbanya.
Pihak keluarganya juga menunjukkan rasa enggan untuk menjalin kekerabatan dengan keluargaku lagi. Kakaknya bilang, adiknya pergi karena takut dengan masa laluku. Ia takut aku berkhianat saat sudah menikah nanti. Ia takut melihat betapa liar hidupku dulu.
Pernyataan kakaknya membuatku kembali terhempas. Kali ini lebih dalam. Karena setumpuk undangan yang sebagian besar telah disebar, terpaksa dibatalkan. Saat itu aku merasa limbung. Tak kuat lagi berdiri di atas kakiku ini.
Aku ambruk!
Dua minggu dirawat di rumah sakit karena kekurangan gizi. Sejatinya bukan masalah fisik, tapi sakit hati yang mana dokter pun tak mampu mengobati. Aku tak doyan makan, segan minum, hanya tidur dan menangis. Bahkan jarang mandi.
Aku berada lama di rumah sakit, tetapi setelah pulang ke rumah lebih menyiksa lagi. Kulihat ibu tak kalah depresinya denganku. Wajar saja orangtua kecewa, putrinya telah rusak. Berkali-kali terciderai oleh lelaki.
Aku merasa hina dan mulai minum beberapa pil penenang. Hingga akhirnya kembali berlabuh di rumah sakit.
Kata ibu, aku hilang kesadaran sehari semalam. Namun, dapat kuingat jelas perjalanan spiritualku di dalam alam bawah sadar.
Di sana, terdengar lantunan ayat Qur'an dibacakan. Ada isak tangis ibu dan ayah. Ada banyak orang berpakaian serba hitam. Mengerumuni satu jasad yang terbujur kaku dangan kulit pucat.
Saat aku masih belum mengenali jasad siapa yang ditangisi, dua sosok bertubuh besar berjubah hitam menarikku kuat-kuat. Membuatku berontak dengan meronta-ronta sekuat tenaga, menangis ketakutan. Mereka bilang hendak melemparku ke neraka. Membakar tubuhku yang kotor disentuh banyak pria.
Aku menjerit, memanggil kencang ibu dan bapak. Tak ada yang mendengar. Aku memohon diijinkan pulang kepada dua sosok besar itu. Terasa panasnya api neraka yang sudah berkobar. Merah membara!
Begitu sadar dari koma, aku hanya mengingat satu hal. Panasnya api neraka yang seolah, tanpa perlu aku mendekat, sudah mampu membuat sekujur kulitku melepuh. Kulit putih halus mulus ini terlihat sangat keriput berjelaga.
Ketika itu, air mata penyesalan terus meluap. Tak dapat dibendung. Ada sesak dalam dada yang tak dapat kutanggung. Aku takut dibakar api neraka, tapi jiwaku tak layak masuk surga. Tak ada jalan lain, aku harus bertaubat sebelum kembali bersua Malaikat Pencabut Nyawa.
***