"Aku seorang jurnalis. Sering pula dikirim ke luar kota untuk liputan," kata Ardi saat memperkenalkan diri padaku dulu.
Saat itu, ia mengenakan kemeja warna biru laut yang semakin menegaskan warna kulitnya yang kecoklatan. Celana jeans dengan warna senada melengkapi penampilannya. Ia keren. Begitulah kesan pertama melihatnya.
"Iya, Mas, saya sudah dengar dari Ibu. Saya sendiri, Mas pasti sudah tahu. Hanya seorang pedagang," balasku merendah.
"Pasti sibuk ya, mengurus semua sendirian? Bukankah ada dua butik?" tanyanya kemudian.
"Alhamdulillah, ada satu asisten yang membantu manajemennya, Mas. Teman saat kuliah dulu."
"Dia bisa dipercaya?"
"Insya Allah, sudah setahun kami bekerja bersama. Selama ini belum ada keluhan." Aku mulai heran, kenapa ia menanyakan temanku?
"Jadi setiap hari kamu ke butik? Standby di sana?"
"Iya, Mas, setiap hari. Butik buka terus. Liburnya karyawan dibuat shift. Saat libur butik ramai, jadi kami anti libur di saat yang lain liburan."
"Ngapain aja di sana? Kamu 'kan bos?"
"Banyak yang harus kukerjakan, Mas. Seperti melakukan pengecekan ke masing-masing butik. Mengontrol koleksi butik. Juga berhubungan dengan tim produksi yang lokasinya berbeda dengan butik. Mengecek pembukuan, mengatur strategi dagang, dan masih banyak lagi. Tapi yang terpenting adalah untuk menyapa para pelanggan dan mendekatkan diri dengan karyawan."
Aku semakin heran, kenapa ia menanyakan semua itu? Bahkan orang tuaku tidak sedetail dia untuk cari tahu caraku mengelola butik. Akan tetapi, tetap kujelaskan, mungkin dia hendak belajar.
"Aku jarang di rumah, sering di jalan. Apa kamu juga akan jarang di rumah dan lebih banyak mengurus pekerjaan?"
"Insya Allah tidak. Aku bisa mengontrol cashflow keuangan dari rumah, juga bisa lewat rekaman CCTV untuk memantau aktivitas karyawan. Mungkin hanya menghadiri rapat-rapat singkat yang tidak memakan waktu berjam-jam. Juga meninjau lokasi produksi untuk memastikan kualitas produk." Akhirnya aku paham kenapa ia bertanya. Rupanya dia khawatir kami akan sulit bertemu karena kesibukanku.
"Ada rencana menunda momongan?" Ia bertanya lagi. Ya Rabbi, inikah rasanya ketika hendak menikah dengan seorang jurnalis? Pertanyaannya melompat-lompat dan seakan-akan tak ada habisnya.
"Tidak. Insya Allah ingin secepatnya juga menjadi ibu," jawabku sabar.
"Bagaimana pendapatmu tentang memberi ASI?"
"Sangat setuju. Harus dua tahun lamanya, sesuai ayat Al Qur'an. Itu adalah hak anak, dan saya tidak akan menahannya."
"Selain mengelola butik, apakah kamu punya aktivitas lain?"
Sejenak aku berfikir. Apa ya? Ke salon sudah jarang, nongkrong sama teman apalagi. Belanja juga seperlunya. Oh ya ada, "Biasanya ke kajian, Mas. Ada beberapa kajian yang aku ikuti. Karena memang pemahaman agama saya masih kurang. Keimanan itu sifatnya pasang surut. Karenanya dengan rutin ke kajian, Insya Allah bisa lebih meningkatkan serta menguatkan keimanan dan ketaqwaan," terangku jujur.
Dia manggut-manggut. Aku merasa seperti calon karyawan yang hendak melamar kerja dan kini menjalani tes wawancara. Banyak sekali yang ditanyakan. Rasanya deg-degan. Takut tidak diterima. Itu artinya, target menikah harus mundur lagi. Padahal usia terus bertambah. Selain itu, aku pun terlanjur berharap pria ini menjadi pelabuhan terakhirku.
"Kamu mau ikut aku, tinggal di rumah yang sederhana? Sebuah perumahan dengan tipe 36. Tidak besar seperti rumah ibumu atau mamaku. Aku ingin membuka lembaran baru, di tempat yang baru," katanya.
"Mau. Kemana pun suami memerintahku, jika itu surgaku, maka akan kutuju," jawabku mantap. Memang iya. Rumah kecil, seiring waktu bisa kurenovasi agar lebih lapang dan memiliki banyak ruang.
Mata Ardi berkaca-kaca. Ia terharu. Sepertinya jawabanku mengena.
Ia lalu membuka dompetnya. Dikeluarkannya satu kartu ATM. Terlihat ada beberapa kartu ATM lain di sana.
"Gunakanlah. Untuk belanja keperluan pernikahan kita. Juga mendekorasi rumah. Ada sebuah rumah yang sudah kubeli di pusat kota. Masih kosong. Isilah sesuka hatimu. Sesuaikan dengan saldo di ATM itu," katanya kemudian, sambil meletakkan ATM itu di meja ruang tamu ibu. Ia tak berusaha menyentuhku, meski hanya seujung kuku.
Aku tercengang. Tak menyangka secepat itu ia memutuskan dan mempercayakan hartanya untuk kukelola. Aku terharu, tak membayangkan ada pria semacam dia. Penuh selidik, namun menarik.
"Apa kamu bersedia menerimanya?"
"Iya, Insya Allah aku menerimanya," jawabku mantap.
Begitulah cara Ardi melamarku. Setelah berbagai pertanyaan ia lemparkan, lalu ditutup dengan sebuah ATM sebagai tanda perikatan. Ingatan itu masih sangat lekat di benakku.
Sebelum pergi, ia berjanji seminggu lagi akan kembali untuk melamarku secara resmi. Pria yang minim senyum itu, kemudian menyusul mamanya yang asyik ngobrol dengan ibuku di ruang tengah. Ardi pun mengutarakan maksud hatinya pada wali sahku, ayah.
"Insya Allah, jika diijinkan saya akan melamar putri bapak ibu secara resmi seminggu lagi. Sekaligus untuk menentukan tanggal pernikahannya," katanya pada orang tuaku. Tanpa ada ragu sedikit pun di situ.
"Semoga bapak dan ibu bisa menerima saya sebagai menantu. Dan mempercayakan putri bapak ibu untuk saya jaga sepenuh hati," pintanya bersungguh-sungguh.
Sangat singkat, terlihat jelas ia bukan orang yang suka berbasa-basi atau mengumbar banyak kata. Selalu to the point, fokus pada titik yang hendak ia bidik.
Mendengar pernyataannya, mata ibuku dan mama Ardi saling berpandangan. Lalu, mama Ardi memeluk putranya itu sambil meneteskan air mata bahagia. Begitupun ibu dan bapakku yang langsung berpelukan penuh kelegaan.
Sementara aku? Diam-diam aku mengusap air mata yang meleleh di pipi. Akhirnya Allah menjawab doa-doaku. Alhamdulillah wa syukurillah.
***
Dulu, aku tak berfikir panjang saat hendak menikah dengan seorang jurnalis. Meskipun serangkaian pertanyaan ia ajukan. Bagiku wajar bagi dua insan yang ingin mengenal lebih dalam.
Apalagi setiap kali tak sengaja mataku memandang wajahnya, ada rasa yang terpatri kuat sekali. Ada debar dan getar yang sulit aku jabarkan. Seolah ingin menyentuh, namun ia belum halal bagiku. Ingin terus memandang, ia belum jadi milikku. Dan ada rasa tenang, saat pria itu di sampingku.
Dia tampan. Dia menawan. Dia pria yang kuimpikan. Hasil munajat panjang memohon jodoh dunia akhirat, dijawab Allah dengan mendatangkan Ardi bersama mamanya. Lewat perantara ibuku. Jadi tak ada ruang untuk ragu.
Satu-satunya ketakutanku dulu adalah ia tahu, aku seorang gadis yang sudah tidak perawan. Meski dalam hati, aku berharap ia tak mempermasalahkannya. Sebab aku pun tak mempermasalahkan statusnya sebagai duda.
Dan akhirnya kusadari, aku salah. Rasa tenang yang dulu kudapatkan, telah berganti rasa terkekang. Ardi ternyata memiliki sifat posesif yang sangat akut. Mudah cemburu. Bahkan pendendam.
Sekeras itukah hatinya? Sepicik itukah jiwanya? Hingga setiap ada kesempatan, ia pasti melakukan panggilan video call. Jika lama tidak diangkat, maka pesan-pesan tuduhan akan berhamburan.
Seperti siang tadi, saat aku rapat tim untuk merencanakan strategi promosi menyambut liburan panjang, Ardi kembali video call. Ketika panggilannya kuabaikan dan kubuat nada silent, maka teleponnya tak henti-henti berdering. Masih kuabaikan. Sejumlah pesan pun dikirimnya. Aku yakin berisi kalimat-kalimat tuduhan pula. Karena itu, aku menunggu di rumah untuk membukanya agar konsentrasiku tidak pecah.
Dalam perjalanan pulang, ponsel kembali berdering. Namun karena masih mode silent, aku tak tahu ada panggilan masuk. Malamnya, baru teringat dan menelfon balik. Tak diangkat.
Sebelum tidur, aku masih menyempatkan mengirim chat WA untuk membalas semua pesan masuk darinya. Tak lupa aku minta maaf sudah mengabaikan panggilannya, dan berpesan agar dia jaga diri di sana dan fokus kerja tanpa menaruh berbagai prasangka. Namun chatku tak dibalas, notifnya belum dibaca. Aku berfikir positif bahwa Ardi masih sibuk dan akhirnya aku tidur karena kelelahan.
Semoga dia tidak marah dan baik-baik saja di sana.
***