webnovel

Bab 17 Jalur Pendakian

Hari demi hari telah terlewati. Kala itu terjadi di tahun 2016. Waktu yang dinanti akan segera tiba. Waktu di mana aku harus menjawab ajakan Indra untuk menikah. Setelah melakukan shalat istikhoroh hampir setiap malam, akhirnya Allah memberikan ku petunjuk. Salat istikharah adalah shalat sunnah yang dikerjakan oleh orang muslim ketika membutuhkan petunjuk dari Allah atas kebimbangan yang dihadapinya atau sedang dalam pilihan-pilihan yang diragukannya. Salat istikharah dikerjakan di waktu malam hari setelah salat isya dan setelah bangun tidur.

Indra adalah seorang laki-laki baik, cakap dalam bersikap, dan yang paling penting adalah Indra seorang muslim yang taat beribadah. Sebenarnya, malam di mana Indra melamarku, aku sudah menyiapkan jawaban kalau-kalau aku diharusksn untuk menjawab saat itu juga. Berhubung aku bisa memberikan jawabannya menyusul, yaitu sebulan setelahnya yang jatuh pada minggu depan, aku pun menyimpan jawabanku dan meyakinkan diri bahwa pilihanku tidaklah salah.

Aku ingin meyakinkan diri bahwa Indra memang laki-laki yang tepat untuk menjadi calon imamku dan calon bapak dari anak-anakku kelak. Aku ingin sebelum memberikan jawaban, aku mendaki gunung lagi bersamanya. Karena ketika mendaki gunung, kita bisa melihat sifat dan sikap asli seseorang. Secara, orang yang mendaki gunung pasti merasa sudah capek, tenaga habis, tetapi masih harus melanjutkan perjalanan demi mencapai puncak yang diinginkan.

Selain itu, setelah menikah nanti aku tidak bisa lagi mendapat julukan gadis pendaki gunung. Entahlah, menurutku sebutan gadis pendaki gunung itu keren. Mungkin bagi orang lain, itu sebutan yang biasa saja, tapi menurutku sebaliknya.

Selain karna aku yang lebih sering berada di ibukota yang lengkap dengan kebisingan dan hiruk pikuknya, daripada menikmati keindahan alam terbuka. Gunung bisa memberikanku banyak pelajaran. Belajar mensyukuri karunia Tuhan dengan menghadirkan alam yang begitu indah dan mempesona, mengajarkanku untuk menahan ego dan terus bangkit serta percaya bahwa aku mampu melakukan yang kumau, untuk saling menjaga dan melindungi, untuk terus gigih, kuat dan pantang menyerah demi mencapai puncak tertinggi, dan untuk tahu bahwa dia mencintaiku. Yang terakhir sih bisanya aku saja.

Sebenarnya, selama hidup di ibukota pun mengajarkanku banyak hal, tapi aku sudah berhasil menaklukkan ibukota, jadi aku pun harus mampu menaklukkan puncak gunung. Banyak yang aku pelajari selama hidup di Jakarta. Selain aku banyak belajar dari apa yang aku alami sendiri, aku juga banyak belajar dari pengalaman orang lain. Seperti misalnya, orang-orang yang bekerja di Jakarta dan tinggal di pinggiran ibukota atau bahkan di kota tetangga. Semua orang pasti tahu bagaimana perjuangan para pekerja yang sering dibilang budak korporat ini. Harus pagi-pagi sekali bangun, bahkan ada yang sampai sebelum subuh berangkat agar mendapat kursi penumpang di atas kereta listrik. Hasilnya, mereka yang berangkat sebelum subuh, menjalankan salat subuh di stasiun kereta.

Sementara, bagi para pengendara umum lain harus berdesak-desakan agar tidak terlambat masuk kantor. Karena, sangat jarang bisa menemukan kendaraan umum yang lega di jam berangkat dan pulang kerja. Kemacetan juga harus dinikmati para pengendara kendaraan bermotor. Entah itu pengguna tol atau pun pengguna ruas jalan protokol, keduanya tetap mengalami kemacetan panjang. Belum lagi jika ada jalur tertentu yang menerapkan aturan seperti ganjil-genap, pengendara harus mencari rute yang dapat dilewatinya. Tak jarang rute tersebut lebih jauh dan lebih macet dari jalan yang biasa dilewati.

Bagi yang belum pernah tinggal di Jakarta dan sekitarnya, mungkin membayangkannya saja sudah merasa lelah. Namun, itulah perjuangan dan prestasi yang diraih para budak korporat maupun warga JABODETABEK. Prestasi yang patut kami banggakan. Jangankan berdesak-desakan di kendaraan umum dan kemacetan di jalanan, gagal datang ke kantor tepat waktu gara-gara ada demo pun sudah menjadi makanan sehari-hari bagi kami.

Hiruk pikuk ibukota memang membuat sebagian orang sering merasa lelah dan penat, tapi banyaknya perusahaan dan lapangan pekerjaan dibandingkan dengan daerah pinggiran ataupun di desa membuat masyarakat berbondong-bongdong berpindah ke Jakarta dan BODETABEK. Namun, kepindahan yang dilakukan akan menjadi kesengsaraan, jika tanpa spekulasi yang matang. Misal, tanpa tahu nantinya akan tinggal di mana dan bersama siapa, tanpa tahu akan melamar kerja di mana, tanpa bekal keterampilan sebagai modal kerja, yang akhirnya ketika sampai di ibukota bukan pendapatan yang diterima, tapi malah ketidakjelasan bahkan kesengsaraan. Jangan sampai kita menambah angka pengangguran dan gelandangan yang sudah cukup tinggi di ibukota.

Terkadang aku sangat kagum kepada para wirausaha muda yang berani menetap di daerahnya dan membangun kesejahteraan bersama masyarakat. Selain mengurangi angka pengangguran dan urbanisasi, seorang wirausaha lokal juga mampu berbagi manfaat. Tak hanya menerima manfaat bagi dirinya sendiri, tapi bermanfaat juga bagi orang lain di sekitarnya. Itu semua adalah pilihan dan jalan hidup seseorang. Semua berhak memilih dan berjuang di jalannya masing-masing. Yang pasti, jangan sampai kita berhenti berharap apa lagi berhenti berjuang. Karena, semua perjuangan tidak akan sia-sia. Yakinlah, semua akan membuahkan hasil di waktu yang semestinya.

Setelah mengantongi restu orang tua, aku dan Indra bersama Andre dan Nindi melakukan pendakian kembali. Nevan tidak bisa bergabung bersama kami, karena dia tengah sibuk-sibuknya bekerja. Pendakian kali ini adalah pendakian Gunung Merbabu yang selama ini aku inginkan. Sudah terbayang sabana yang luas dan hijau Gunung Merbabu danlautan awan yang menawan melambai-lambai bagaikan kapas putih yang lembut.

Sebenarnya, semula Indra menolak ketika aku berkata bahwa aku ingin mendaki Gunung Merbabu, tapi karena aku terus merengek dan memohon. Akhirnya, dia mengabulkan keinginanku itu dengan satu syarat. Syaratnya adalah aku harus mempersiapkan pendakian lebih matang, berolahraga sebagai persiapan fisik dan menjaga kesehatan tubuhku. Indra bilang kalau di Gunung Merbabu sering kali terjadi badai, terutama di musim penghujan yang biasa terjadi di akhir tahun.

Aku pun berjanji akan memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Indra tersebut. Jadi, Indra pun mengabulkan permohonanku untuk mendaki Gunung Merbabu bersamanya. Supaya kami tidak hanya berdua, kami mengajak Andre dan Nindi untuk ikut serta. Seperti yang sudah kusampaikan sebelumnya, Nevan tidak dapat ikut pendakian kami kali ini. Jadi, rasanya malah seperti sedang double date.

Aku berusaha sebisa mungkin menikmati momen kebersamaanku dengan Indra kali ini. Sembari memperhatikan dan menilai tingkah lakunya sepanjang perjalanan bersama kali. Tantu saja, sejauh ini dia belum pernah sekali pun mengecewakanku dengan sikap buruk dan tidak menyenangkan bagiku. Rasanya semakin memperhatikan Indra, aku semakin tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kebaikannya terhadapku selama ini. Aku lebih banyak merepotkan dan menyusahkannya yang selama ini begitu baik terhadapku.

Indra tidak segan-segan menjagaku, tidak kalah dengan teman mendaki kita lainnya yang benar-benar merupakan sepasang kekasih yang sebenarnya. Sampai-sampai terkadang Nindi merasa iri terhadapku yang mendapat perlakuan begitu manis dari Indra. Dia merasa Indra bersikap jauh lebih manis dari pasangannya sendiri.