Semenjak perubahan Petra, banyak karyawan perempuan lebih suka berkonsultasi kepada Roni dan masuk ke ruang desain hanya untuk menikmati ketampanan yang disuguhkan wajah Petra.
Tapi memang, sudah tidak diragukan. Divisi desain memang karyawannya mumpuni. Dari segi finansial dan fisiknya. Tidak perlu dipertanyakan. Chindy adalah salah satu contoh cita-cita para karyawan perempuan di perusahaan ini.
Tak berbeda dengan salah satu dari divisi pelayanan, Irine. Perempuan dengan tubuh semok, montok, dan suka menggunakan pakaian minim itu setiap hari datang ke ruang desain. Perkara klien yang ribut dengan desain jadinya atau konsultasi ringan yang seharusnya bisa diselesaikan tanpa bantuan Roni.
"Anu, Irine. Bisa kirim via WhatsApp, kan?" tanya Roni sudah mulai jenuh dengan kedatangan Irine.
Namun Irine menolak, beralasan jika hal ini harus diperhatikan dan dibicarakan secara langsung.
"Minggu minggu sebelumnya, lu malah susah diajak bahas masalah klien," sindir Petra sembari berjalan ke meja Wendy untuk memberikan revisi.
Sandi tertawa renyah, diikuti tawa Roni yang tertahan. Irine menatap Roni bengis, kemudian menoleh Petra yang tidak memperdulikannya. Padahal dari tempat Petra berada, pria itu bisa melihat kemolekan tubuhnya yang digadang-gadang sebagai idaman seluruh pria.
"Kan sibuk," jawab Irine sambil berjalan pelan ke arah Petra sembari berharap Petra menatapnya. Namun hingga di depan meja Wendy, Petra sama sekali tidak meliriknya.
Petra tak membalas sama sekali. Pria itu memilih beradu dengan Wendy yang tidak terima dengan penolakan Petra tentang desain yang dibuatnya.
Seolah ingin menjadi superior, Irine membantu menyangkal Wendy. "Jelek. Mana mau klien kayak gitu. Aku aja ga mau pake," ketus Irine, yang lagi-lagi berharap mendapat respon baik.
Namun berbalik, Petra kini meliriknya. Ia menatap tajam Irine, geli. "Apaan maksudnya? Ga ngerti urusannya ga usah ikutan."
Irine mengrenyit. Ia tidak tahu harus apa. "Kan.., katanya ga bagus," bela dirinya mencoba untuk tampil baik.
"Iya, tapi ga ada bilang kalo klien ga mau. Ish, Ron. Nape, sih? Suruh bahas di luar, deh. Ganggu banget, anjing."
Dengan cepat Roni mengajak Irine keluar dari ruangannya. Karena sudah sangat dipastikan semua anak desain tidak suka dengan kehadiran Irine.
Daripada dia nantinya yang kena semprot, ada baiknya Irine yang dia semprot duluan.
=====
"Ape sih, Pet?! Itu udah bener warnanya sama yang diminta!"
"Lu mau kasih kayak ginian ke klien? Totalitas napa, Wen?!"
"Hah?! Totalitas totalitas tai babi, lu kira gua ga totalitas?! Gua mikir sampe otak gua pusing butuh healing!"
"Ga. Tolak. Gua kasih rinciannya."
Petra mengembalikan desain yang dibuat Wendy seharian ini. Memang cukup rumit yang diinginkan klien dan Wendy harus menguras otaknya sekaligus beradu dengan Petra.
Sudah menjadi makanan sehari-hari jika ruang desain ramai di siang hari ketika jam istirahat usai. Beberapa yang sudah disetujui dikerjakan oleh Sandi yang kemudian diberikan ke Roni untuk diperiksa kembali. Sementara yang tertahan di meja Petra harus dikembalikan ke Wendy dan bertengkar hebat. Terkadang Roni ikut membantu, begitupun Surya.
"Dia minta bulu di pundak kanan, gue kasih, dong! Lo ga baca konsep yang dia mau? Ini pesta tema black swan, Pet!"
"Diem lo. Keestetikan lo mana, Wen? Kalo emang black swan, trus ngapain lo kasih warna putih di bagian dadanya? Model gaunnya bisa lo ganti tanpa harus pake warna putih. Sini ah gua ajarin, bego banget," balas Petra ngotot.
Ia menarik kursinya ke samping meja Wendy. Kini keduanya seperti biasa menjadi semeja karena jika berjauhan akan semakin ribet. Di dalam revisi, Wendy masih suka disemprot Petra. Membuat gadis itu makin gila.
"Tapi dia mintanya ada warna putih!" ngotot Wendy.
"Kan bisa dikombinasi lebih cantik, Wendy. Wendy paling cantik, paling manis di sini. Ayo dong, Cakep. Otaknya dipake," perintah Petra sambil membimbing Wendy untuk membenarkan desainnya.
Wendy kini kalah. Ia memang tidak bisa lebih luas mengartikan permintaan kliennya. Dengan bantuan Petra, Wendy membuat ulang hampir keseluruhan desain gaunnya.
"Wen, Pet. Mau minum apa? Ku beliin," tawar Surya yang sudah selesai dengan pekerjaan hari ini. Seperti mengerti keadaan keduanya, Surya dan lainnya memilih untuk memberikan tempat untuk melanjutkan keributan.
"Air putih aja. Nona Wendy butuh buat melek, buat bangun," jawab Petra. Wendy tak menyangkal sehingga Surya hanya akan membelikan sesuai yang dipesan. Mungkin dia akan menambahkan sesuatu nantinya.
Sementara Roni yang sudah selesai dengan pekerjaannya segera membawa pekerjaan anak-anaknya ke bagian pelayanan kedua, di mana tempat Irine berada. Bagian yang akan memberikan hasil desain terhadap klien sebelum akhirnya disetor ke bagian produksi.
"Wen. Kenapa sih kamu?"
Kini suara Petra lebih lembut dari sebelumnya. Wendy masih bergelut dengan desain barunya. Ia tidak menjawab.
Petra menoleh ke Sandi yang masih di ruangan. Ia tahu Sandi sudah selesai pekerjaannya dan hanya menunggu hasil dari Petra. Seolah mengerti dengan tatapan Petra, Sandi segera pergi dari ruangan tersebut. Memberikan waktu untuk keduanya menyelesaikan pertengkaran.
Kini menjadi sunyi. Hanya terdengar suara gesekan pensil dengan kertas.
"Wen, stop."
Tangan Petra menahan tangan Wendy. Gadis itu tampak tidak stabil. Ia berdecak kesal, melirik Petra sinis.
"Kenapa, sih? Ga fokus gini. Udah seminggu ini. Kenapa?" tanya Petra dengan tatapan datarnya, namun di balik itu ada perhatian yang tidak bisa dimengerti empunya.
Tangan lain milik Petra menarik dagu Wendy supaya gadis itu bisa menatap wajahnya. Saling berpadang dengan jarak terdekat yang belum pernah mereka jajah.
"Masih sakit hati karena Roni sama Chindy? Aku tahu kok perasaanmu ke dia kayak gimana."
Wendy terbelalak. Dirinya tak berpikir jika Petra benar tahu soal hal ini, Wendy pikir pria ini hanya menebak-nebak. Ia diam, tidak menjawab. Mematung.
"Udah, ya. Gapapa, kok. Wajar kehilangan. Nanti juga dateng yang lebih baik. Kasihan banget Si Mungil ini," ledek Petra yang masih tidak direspon Wendy.
Keduanya diam, hening. Seolah tak ada tanda-tanda kehidupan. Wendy yang awalnya syok dengan Petra, kini mulai melemas. Bukan rileks, namun teringat dengan Roni ketika Petra menyinggung tentang perasaannya.
Memang belum lama mereka memutuskan untuk berhenti dari status tidak jelas, tapi perasaan yang sudah dipupuk Wendy sulit untuk layu. Tidak bisa semudah membalikkan telapak tangan. Tidak semudah meniup secuil kapas untuk terbang.
Kini perasaan yang sudah ia sembunyikan, kembali muncul. Melucuti semua armor yang telah ia tempa sedemikian rupa, yang seharusnya menguatkan dirinya, kini sia-sia.
Netranya berkaca. Kedua pipi Wendy memerah. Ia sekarang menangis mengingat derita hatinya yang selama ini diabaikan. Denial dengan kesakitannya dan pura-pura tuli akan tangis kalbunya.
Petra, diam melihat Wendy yang mulai meneteskan bulir air mata. Tangannya mengelus pipi Wendy. Perlahan tapi pasti, Petra mengurangi jarak keduanya. Sebuah kecupan mendarat di bibir ranum Wendy. Berharap gadis itu berhenti menggulirkan isaknya.
Ah, Petra terlena dengan suasana. Perasaan sedih dan empati mendorongnya untuk menenangkan gadis di depannya. Tidak tega, entah mungkin merasa dirinya pernah berada di posisi tersebut juga. Hanya sebuah kecupan kecil sebagai obat penenang darinya, sama halnya ketika Petra mengurus adik-adik kecilnya di rumah ketika menangis.
"Nanti malam mau jalan-jalan?" tanya Petra lembut. Ia masih mengelus pipi Wendy, menyeka air mata yang mengalir.
Keduanya saling berpandangan dengan perasaan campur aduk. Anggukan kecil Wendy menyunggingkan senyum Petra. Kemudian, Petra kembali mendaratkan kecupan manis di hidung Wendy sebagai tanda kasih sayang.
"Yuk, lanjut lagi. Pelan pelan aja."
Wendy tersenyum tipis. Setelah menyeka wajahnya dengan tisu basah, ia kembali melanjutkan pekerjaannya. Petra kembali membantunya dengan lebih lembut.
Tak disadari keduanya, ada sosok yang melihat adegan mesra Petra dan Wendy. Sosok itu berada di balik kaca buram meski tidak begitu terlihat, namun adegan itu sudah cukup jelas. Tak lama, ia pun meninggalkan tempat itu. Mengurungkan niatnya untuk masuk.
== === ==