Arnold kembali memacu mobilnya menuju ke pembangkit listrik Distrik 8. Ia pergi ke sana dengan harapan dirinya masih bisa menemui Victor. Jika tidak, maka ia harus pergi ke Distrik 10 menuju ke apartemen sahabatnya itu. Itu hanya akan membuang-buang waktu. Sedangkan ini sudah hampir tengah hari, acara pembukaan akan segera dimulai nanti malam. Sebenarnya, yang dibutuhkan Arnold adalah teman untuk mencari informasi. Terlalu beresiko untuk menyusup ke pesta nanti malam tanpa adanya bantuan sama sekali dari seorang teman. Lagipula, ia tak mau identitasnya diketahui banyak orang di Distrik 8. Ia memiliki citra buruk di hadapan semua penduduk di sana karena batu bara hasil pertambangannya.
Ketika mobilnya melewati gerbang depan, semua orang mengenali wajahnya. Dengan sigap para petugas jaga mengangkat portal dan membuka gerbang serta membiarkannya masuk. Ia pun segera memarkirkan kendaraannya di tempat parkir. Sebelum memasuki gedung, ia berniat untuk kembali menghubungi Victor, berharap pria itu masih di sini dan bisa ia temui. Ternyata, ada notifikasi panggilan tak terjawab di ponselnya, itu dari Victor. Arnold segera menelponnya balik.
"Victor, kau di mana?"
"Aku sedang di pembangkit listrik. Aku baru saja mengikuti pertemuan para pemegang saham di sini. Maaf jika aku tidak mengangkat telfonmu pagi tadi."
"Tidak masalah. Tapi, kau masih di sini, kan?"
"Di sini? Memangnya kau sedang di pembangkit listrik?"
"Iya, kata Kyle kau sedang di sini."
"Naik saja ke ruang pertemuan. Semua orang sudah keluar, kita bisa gunakan ruangan ini untuk mengobrol sebentar."
"Baiklah."
Arnold keluar dari mobilnya dan bergegas memasuki bangunan pembangkit listrik. Di sana, ada banyak sekali orang yang tengah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Arnold tahu persis di mana ruangan yang dimaksud oleh Victor. Ia pun melangkahkan kakinya menuju ke sana. Dalam perjalanan, ia sempat bertemu dengan orang-orang berpakaian formal. Sepertinya mereka adalah para pemegang saham yang baru saja selesai menghadiri rapat. Kemudian, tak berselang lama Arnold menemukan Victor tengah terduduk di sudut ruangan sembari menikmati secangkir kopi.
"Hei, Anak Senja," sapa Arnold sembari memasuki ruangan.
"Arnold, kemarilah. Kau mau kopi? Akan kubuatkan secangkir untukmu."
"Tidak usah. Aku tidak akan lama di sini."
"Baiklah, ada perlu apa kau kemari?"
"Aku hanya ingin tahu, apa kau ingin menghadiri pembukaan Fortuna's Gacha bersamaku? Aku perlu seorang teman unuk mengulik informasi dari sana. Kau adalah satu-satunya temanku yang bisa memperoleh informasi di segala tempat. Aku yakin nanti malam kita akan bertemu dengan Wanita Yunani itu."
Victor hanya tertawa kecil. "Memang aku bisa melakukannya untukmu. Sejujurnya, aku pribadi juga penasaran. Baiklah, aku akan menemanimu nanti. Dan satu hal lagi, kalau tidak keberatan, akan kuajak kau berkeliling tempat ini. Sebagai pemilik saham terbesar saat ini, aku bebas berkeliaran di tempat ini tanpa ada siapa pun yang berani melarang."
"Hm, sombong sekali kau sekarang."
Keduanya pun menghabiskan sisa hari mereka untuk berjalan-jalan di sekitar pembangkit listrik. Victor baru saja membeli sebagian besar saham tempat itu. Jadi, secara teknis tempat itu kini menjadi miliknya, walau tak seluruhnya.
***
Siang itu, Foxy dan Zack memutuskan untuk menemui Alice. Mereka ingin memastikan keadaan sebelum mereka beraksi nanti malam. Acara pembukaan Fortuna's Gacha akan menjadi acara terbesar selama beberapa tahun belakangan. Foxy dan kawan-kawannya tidak akan melewatkan kesempatan ini begitu saja. Terlebih lagi, mereka tengah membutuhkan uang untuk mengisi persediaan bahan makanan di gudang. Nanti malam, semua orang akan berkumpul di satu tempat. Itu adalah lumbung emas bagi Foxy dan kawan-kawannya. Mereka bisa dengan leluasa menyusup ke tengah kerumunan dan mengambil dompet orang-orang. Setelah itu, rencananya pendapatan malam nanti akan disalurkan sepenuhnya untuk kebutuhan pokok kelompok mereka. Selain gelandangan, kelompok itu juga harus diberi makan untuk menyambung hidup. Setelah sekiranya persediaan bahan makanan telah aman terkendali, mereka bisa kembali membuka acara pembagian sarapan gratis untuk para gelandangan.
Langkah kaki mereka membawa keduanya ke suatu sudut kota. Mereka biasa menemui Alice di sana. Wanita itu tampak tengah menghajar sekumpulan preman yang berani membuat masalah di wilayahnya. Entah permasalahan apa yang ada di antara mereka. Yang jelas, Foxy melihat ada seorang wanita dengan anaknya yang masih balita tengah meringkuk ketakutan di ujung gang sempit. Pertarungan itu jelas dimenangkan oleh Alice. Lantas, ketika preman-preman itu kabur, Alice mendatangi si wanita dan membantunya berdiri.
"Tidak apa-apa. Mereka sudah pergi. Ini, ambil tasmu. Pastikan isinya masih utuh."
Si wanita membuka tasnya dan memeriksa isinya. "Masih utuh. Terima kasih, Nona Polisi. Kau memang baik hati. Aku tidak tahu bagaimana nasibku jika tidak ada kau. Uang ini akan kugunakan untuk membayar pengobatan suamiku yang sedang sakit keras di rumah. Aku harus bekerja keras untuk mendapatkan semua uang ini. Sekali lagi, terima kasih banyak."
"Sama-sama. Itu sudah menjadi tugasku."
"Semoga kau selalu diikuti dengan kebaikan."
"Amin. Terima kasih atas doamu. Lihatlah, aku sudah memesankan taksi untukmu supaya kau bisa pulang dengan aman."
Sebuah taksi datang dan berhenti di bahu jalan. Alice mengantarkan wanita itu beserta anaknya ke dalam taksi. Ia membayar taksinya di awal supaya si wanita tak perlu lagi untuk membayar.
"Ternyata, kau bisa juga jadi seorang pahlawan," celetuk Foxy sembari mendekati Alice.
Alice belum menanggapi apapun. Ia masih mengamati kepergian taksi yang membawa orang yang baru saja ia tolong itu. "Aku bukan pahlawan, aku hanyalah seorang pendosa."
"Semua orang adalah pendosa, hanya dosanya saja yang berbeda-beda. Bicara soal dosa, nanti malam pesta pembukaan Fortuna's Gacha pasti akan berlangsung sangat meriah. Akan ada minuman, narkoba, wanita, dan uang yang dihambur-hamburkan. Daripada mereka menggunakannya untuk berjudi, lebih baik mereka menyumbangkannya kepada anak yatim piatu seperti kami. Kau paham maksudku, bukan?"
Alice menatap Foxy dengan mata yang sayu. Ia belum tidur selama berhari-hari. "Acara nanti malam bukanlah ranahku. Jika kau ingin beraksi di sana, kau akan melakukannya tanpa pengawalan. Sebaiknya, kau jauhi acara itu."
"Tapi, kami semua sedang membutuhkan uang."
"Baiklah, jangan katakan aku tidak memperingatkanmu soal ini. Perusahaan itu menyewa keamanan swasta yang cukup bagus. Kau tidak akan bisa bergerak dengan leluasa. Jika kau tetap nekat, pikirkan saja bagaimana cara melarikan diri dari tempat itu dengan cepat tanpa tertangkap."
Alice pun mulai melangkah pergi meninggalkan Foxy dan Zack. Foxy langsung berpikir keras, apakah ia akan melewatkan kesempatan emas ini begitu saja? Tapi, di sisi lain ada juga resiko besar yang harus mereka hadapi.
"Kita akan tetap melakukannya atau tidak?" tanya Zack.
"Tidak ada pilihan lain."
***