Viola POV
"Alfa…"
"Ya, ada apa?" sahut seorang pria.
"Kau memanggilku?" tanyanya lagi.
Aku mematung seperti batu. Detak jantungku mendadak meningkat. Entah apa yang baru saja kutelan. Aku mengedarkan pandangan. Dinding-dinding warna cream di ruangan entah apa ini. Sebuah selimut menutupi tubuhku. Aku terduduk, tercengang akan sesuatu seperti gila.
"Hey, ada apa denganmu? Kau baik-baik saja," tanya pria itu lagi. Ia menyentuh kedua bahu kecilku. Aku baru tersadar akan keberadaannya di sisi ranjang yang kutempati.
"Kenapa kau tanya begitu? Memangnya aku kenapa?" aku kebingungan.
"Kenapa malah balik nanya" pria itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Tadi sepertinya kau memanggil namaku. Kau terus mengigau dalam tidur. Apa tidurmu kurang nyenyak?"
"Ah begitukah? Aku pasti tertidur lama sekali ya."
"Kau tidur atau tidak, semuanya tetap sama. Kau akan baik-baik saja. Percayalah."
Bagaimana bisa aku mengigau nama pria itu. Aku saja tidak tahu namanya. Ini semakin aneh. Dimana hidupku yang sesungguhnya? Aku seperti hilang setiap aku membuka mata. Seperti lenyap di Gunung Sahara, tersesat di Pegunungan Alpen. Atau di zebra cross jalanan Tokyo yang terlalu lebar. Dan tak mendapati siapapun yang menganaliku. Hanya aku. Selalu berpura-pura lemah. Aku benci, tapi tak bisa berbuat apapun. Seolah Tuhan memberi takdir yang tidak adil untukku. Dan mengenai pria yang di hadapanku. Siapa lagi ini?
Aku melihat obat di meja sisi ranjang. Teduh akibat sinar lampu kuning. Ditemani segelas air putih. Aku meraih obat itu dan mengeluarkan beberapa butir dan bersiap menelannya.
"Jangan menelan itu lagi!" pria itu mencekal tanganku yang terangkat. Ia menarik paksa pil di telapak tanganku. Lalu membuangnya ke dalam tong sampah dengan kasar. Air mukanya berubah dengan cepat.
"Apa yang kau lakukan!" sergahku. Aku marah padanya.
"Apa kau terlalu gila untuk menelannya setiap hari? Setiap malam?" ia membentak. Matanya memerah entah kenapa. "Kumohon, hindarilah benda-benda seperti ini. Aku tidak tahan melihatmu yang terus begini!"
"Memangnya siapa kau memberiku perintah!" aku melemparkan lengannya yang mencengkeram erat pergelangan tanganku. "Sebenarnya kau ini kenapa? Aku sama sekali tidak mengerti!"
Aku memberontak. Menyakiti diriku sendiri. Secepat kilat kuraih gelas bernas air di meja. Lalu membantingnya sekuat tenaga. Lantai penuh ceceran kaca bening. Kacau. Aku menjerit tak karuan. Kepalaku semakin pening, aku memegangi kepalaku yang hampir pecah. Tanpa obat penenang itu, aku tak akan baik-baik saja. Kecanduan, impulsif dan sebagainya. Amarahku mencuat tanpa batas. Kuhentakan kakiku. Selimut di atas tubuhku kusingkap dan kubuang ke dalam tong sampah. Detak jantung dan suara napas yang tak teratur. Pria itu masih berusaha menghentikan kegilaanku. Ia menarik pergelangan tanganku, aku ingin menampiknya. Aku berontak dalam dekapannya. Seolah aku tak mau lagi dikasihani. Pria itu memegangi jari-jari tanganku yang berdarah akibat gelas kaca. Bergetar hebat. Tatapan mata yang kosong. Semakin lama wajah pria itu buram hampir menghilang. Penglihatanku memburuk lagi. Frustasi. Depresi.
"Tidak apa-apa. Tidak apa-apa. Aku bersamamu. Kau akan baik-baik saja," pria itu menenangkan, merengkuh tubuh kecilku yang gemetaran.
Aku menangis meronta tertahan. Namun air mata menyembunyikan diri tak mau keluar. Semakin sakit. Sakit seperti mau.…"
"A...aku mau mati saja. Tolong bunuh aku," ujarku padanya dengan gagap gemetar.
Situasi yang membuatku semakin lelah. Mereka menyuruhku bertahan tetapi mereka juga yang seperti menyuruhku segera mati. Wanita itu... Wanita itu...
"Aku tidak akan membiarkanmu mati. Karena aku di sini. Jadi kau tak akan mati,"
Aku tersenyum pedih. Pedih yang menyuruh lenyap dari bumi. Kalimat itu terasa asing. Asing sekali sampai ingin tertawa hebat. Aroma tubuh pria itu. Harum dan menenangkan.
Perlahan aku mulai berhenti menggila. Pelan-pelan ia melepaskan pelukannya. Aku takut jika seseorang pergi meninggalkanku lagi. Memberi harapan, memberi sebuah nama, dan memberi kenangan. Aku sungguh tak ingin percaya pada siapapun lagi. Ingin kuakhiri rasa kepercayaanku pada semua orang. Biar saja hidupku yang runyam ini hanya bersama obat-obat tak berguna itu. Supaya cepat mati. Bukankah ini memang rencana Tuhan? Ya kurasa.
"Kau ingat," ucapnya tiba-tiba. "Cahaya, kabut, hadiah, kereta, tongkat, pena, dan cinta. Kau bilang padaku kau tidak mengerti mengenai itu semua."
Aku menggeleng meminta penjelasan.
"Cahaya itu...seperti dirimu di kegelapan. Kau akan tahu semuanya satu persatu. Yang perlu kau lakukan hanyalah bersabar dan menunggu. Semuanya akan membaik. Aku yakin."
"Tidak ada yang bisa membuatku lebih baik. Karena semuanya membosankan." aku memalingkan wajah darinya.
Apa yang sebenarnya ia pikirkan? Dirinya sedang tak berada di posisiku. Ia sama sekali tak paham apa maksudku. Terus saja pria itu berbicara seenaknya. Kadang-kadang mulutnya itu bisa sangat berbisa untuk dipercaya.
Semuanya terhenti. Waktu yang tak berdetak lagi. Sesaat aku mengumpat. Sebuah kata mencuat terabaikan. Lengannya yang mampu merengkuh musim dalam kebohongan. Menguraikan partikel-partikel yang terlalu dominan di saraf-saraf memori. Semacam epos bagi diriku. Sesekali terasa animo. Aku memeluk anestesi di serambi. Menuju paling dasar dalamnya laut. Bahwa aku yang sebenarnya adalah Ikan Dalam. Terhenyak menyusuri lorong masa lalu. Air mataku dingin. Terjatuh, diam lalu merapat. Meringkuk berbisik seolah tak bisu. Aku mendengar detak jantungku. Menggenggam Chlorpromazine. Mana ragaku mana jiwaku. Bagian terdalam adalah bagian yang paling menyakitkan.
Sekitarku buram. Pria itu menghilang. Lagi. Tanpa permisi. Memelukku tanpa sarat. Perasaanku bernas. Memaki menangisi. Seseorang membisikiku. Bahwa aku harus mati. Aku harus mati.
Debu bercampur buritan. Kerikil bercampur topan. Diriku yang bercampur badai. Retorika manusia. Yah aku mengerti agaknya. Mereka berkata kalau aku harus mengerti mereka. Tetapi merekalah yang tak bisa melakukan itu padaku. Mereka berkata, besok akan datang hari menyenangkan. Menuju dewasa itu indah. Tak apa, bagiku lebih indah bersama psikiater gila itu. Aku tertawa.
***
"Kau masih perlu kurawat." mendadak psikiater itu ada di hadapanku. "Aku tidak akan memberimu obat. Kita bisa berbicara santai. Jangan menghabiskan waktumu di dalam kamar."
Celotehnya yang tak pernah berubah. Sudah sejak lama ia bersamaku. Dokter itu masih muda. Tapi mungkin ia terlalu bodoh mau mengurusku. Mungkin aku terlalu luar biasa untuk dikasihani. Pakaian putih panjang yang selalu membuat jengkel ketika kulihat.
Itu adalah Dr. Roy Casano, kakakku.
"Dokter, kau tahu. Kau adalah dokter tergila yang pernah kutemui. Sekalipun kita tinggal di satu atap, tetap saja. Itu tidak berubah."
Aku duduk di hadapannya. Ruangan putih tertutup. Meja yang memisahkan kursi antara dokter dan diriku.
"Pasien Skizofrenia harus dalam pengawasan sepanjang hidupnya. Jika kau ingin melakukannya, aku tak akan memakai pakaian putih lagi. Anggap saja ini konseling biasa. Tak perlu bersitegang denganku."
Ia duduk dengan tenang.