webnovel

GARA-GARA SEPATU

Metha melemparkan pandangannya ke sembarang arah, memastikan bahwa barusan dirinya memang mendengar sebuah suara seseorang yang meminta tolong.

"Tolong ... tolong!"

Metha menegang kala suara itu kian kencang. Ia menoleh ke arah kiri terlihat banyak orang yang tengah berlari-lari. Kemudian, tatapannya beralih pada satu pria berpakaian serba hitam serta wajah yang ditutup berlari cepat di depan mereka.

"Perampok!" pekik Metha. Ia langsung berlari dan menjegat perampok tersebut dari arah depan. Membiarkan sepedanya berdiri sendiri di samping jalan.

Bugh!

Seketika, Metha melemparkan sebelah sepatu milik dirinya tepat ke arah kepala perampok kurang ajar itu membuat dia langsung berhenti berlari.

"Tangkap dia, sebelum kabur!" seru Metha dan orang-orang yang tadi tengah mengejar pun langsung menangkap perampok itu.

Metha tersenyum kecil, ia melangkah cepat ke arah orang-orang itu. Kemudian, kembali membawa sepatunya namun tidak kembali dipakai, ia hanya menjinjingnya saja.

"Ayo, bawa dia ke kantor polisi," titah salah seorang yang memegang tangan perampok yang terlihat sudah berpasrah.

Hingga orang-orang tersebut membawa pria berpakaian serba hitam itu menjauh dari hadapannya.

"Terima kasih, Nona. Berkat nona perampok itu dapat ditangkap." Metha menolehkan kepalanya kala sebuah suara menginterupsi dari samping.

Metha tersenyum tipis kala kedua netranya menangkap sosok pria tua yang baru saja berucap kepada dirinya. "Sama-sama, Pak. Tadi juga aku hanya kebetulan," balasnya yang diiringi dengan kekehan kecilnya.

Pria tua tersebut ikut terkekeh. "Kalau seperti itu, saya tinggal dulu mau ikut melaporkan perampok itu yang telah mencuri dana-dana di toko emas," jelasnya sekaligus memberi tahu.

Metha menganggukan kepalanya. "Silahkan, Pak. Semoga lancar."

Setelah mendengar jawaban tersebut, pria tua itu pun langsung melangkahkan kakinya menjauhi Metha dan menyusul para kawannya yang sudah jauh di depannya.

Metha menatap kepergian orang itu. Lalu, ia menggeleng-gelengkan kepalanya kecil. "Ada-ada saja kejadian di siang bolong seperti ini," ucapnya bergumam.

Tit!

Tit!

"Astaga!"

Metha terperanjat kaget saat sebuah klakson mobil memecahkan lamunannya dan menusuk kedua indra pendengarannya. Ia membalikan badannya.

"Heh, kalau kau mau mati jangan di sini, di tengah jalan saja sekalian!"

Seorang pria berjas keluar dari dalam mobil dengan gaya angkuhnya, tak lupa sebuah kacamata hitam bertengger rapi di hidung mancungnya. Ia berkata seperti itu dengan nada terkesan tegas namun meremehkan.

Metha memutar kedua bola matanya malas. Lagi dan lagi, ia harus dipertemukan dengan pria yang super menyebalkan, siapa lagi kalau bukan Peter.

"Mohon maaf, Tuan. Ini samping jalan, dan seharusnya tuan berkendara mobil di tengah jalan bukan di samping jalan. Jadi sudah tahu kan siapa di sini yang salah?" tutur Metha dengan sinisnya.

Peter terdiam, benar juga apa yang dikatakan wanita dihadapannya itu. Akan tetapi ia tidak ingin kalah! "Jalan raya itu khusus untuk orang yang berkendara entah itu di samping atau di tengah sedangkan yang jalan kaki seharusnya ada di trotoar, bukankah itu tempatnya?"

Kali ini, Metha yang dibuat terbungkam oleh penuturan Peter tersebut.

Tampaknya Peter tersenyum miring melihat ekspresi yang ditunjukan Metha. Sudah ia katakan, seorang Peter tidak dapat dikalahkan dengan begitu mudahnya.

Terhitung seperkian detik waktu terlewati, akhirnya Metha mendengus. "Aku juga berdiri di sini karena memiliki sebuah tujuan," ungkapnya terkesan sinis, kembali seperti semula.

"Hah, tujuan apa?" tanya Peter teerlihat heran. Ia menatap Metha dari atas sampai ujung kaki hingga berkali-kali. "Apakah kau memiliki tujuan untuk memulung sampah?" lanjutnya bertanya kali ini suaranya terdengar begitu meremehkan.

Metha mengeram kesal. "Terserah kau saja," finalnya. Tanpa menunggu apa pun lagi ia langsung berbalik dan ....

Bruk!

Dugh!

"Aduuhhh." Metha meringis mengusap pantatnya yang terasa ngilu, dirinya terjatuh begitu saja. Ia menatap ke bawah. "Sial, siapa yang menaruh kulit pisang di sini?" kesalnya.

Metha celingukan, ternyata banyak orang yang tengah menatap dirinya. Tidak sedikit dari mereka menertawai kenaasan yang ia alami barusan.

Dengan kesal Metha bangkit dari duduknya. Wajahnya terlihat memerah pertanda dirinya sedang menahan malu. Kendatipun ia pura-pura tidak melihat dan tidak tahu.

Akan tetapi, ia merasa ada sesuatu yang kurang pada dirinya. Ia menatap ke bawah dan ternyata ....

"Heh, pahlawan kesiangan kemari kau!"

Deg!

Lagi-lagi kesialan akan menimpa dirinya. Sepatu yang belum Metha pakai dan sedari tadi yang ada dalam jinjingannya kini sudah tidak ada, melayang entah ke arah mana tepat saat dirinya terjatuh.

Dengan jantung yang berdebar-debar kencang Metha membalikan badannya. Seketika, badannya sontak menegang kala sepatu dirinya ternyata ada di atas kap mobil mewah milik Peter. Ia meneguk ludahnya kasar, habis sudah riwayat dirinya jika harus berurusan dengan Peter lagi.

Kedua tangan Peter terlihat terkepal kuat hingga membuat buku-buku jarinya memutih. Ia melepaskan kacamata hitam yang sedari tadi bertengger di hidungnya dengan kasar. "Ke sini kau!" titahnya menetap Metha lekat penuh ketajaman.

Kalau sudah seperti ini Metha tidak dapat lagi berprotes. Ia langsung patuh dan melangkah pelan mendekati Peter.

"Ya, ma-maafkan aku ...." Sial, kenapa Metha malah jadi gugup seperti ini? Ia sedikit menundukan kepalanya, menautkan kedua tangannya dan meremas-remas jari-jemarinya yang sudah berkeringat dingin. Sungguh, sekarang Peter malah terlihat seperti monster.

"Kau tahu sesuatu apa yang membuatku marah seperti ini, hah?" tanya Peter masih saja menatap Metha lekat, nada suaranya terdengar rendah menciptakan aura menegangkan pada Metha.

Layaknya seekor anak kucing, Metha menatap Peter dengan cicitan. "Se-sepatuku," jawabnya terbata-bata.

Lagi-lagi Peter menggeram, ia tengah menahan emosi yang berada di atas ubun-ubun dan sudah siap untuk diluapkan. "Ambil sepatumu sekarang dan lihat apa yang terjadi dengan mobil mahalku!" titahnya menekan setiap kata seolah dirinya tidak ingin dibantah.

Akibat tidak ingin mendapatkan amukan dari manusia bak monster itu, Metha langsung patuh lagi. Ia mengambil sepatu dirinya dengan pelan seolah dirinya tidak membiarkan satu nada pun bunyi yang terjadi di sana.

Rasanya kedua bola mata Metha ingin keluar dari tempatnya saat itu juga kala dirinya melihat apa yang terjadi pada kap mobil Peter.

Harus berapa kali lagi ia menelan ludahnya bulat-bulat. "Lecet," gumamnya dengan perasaan yang terasa dicabik-cabikan.

"Lecet! Kau lihat sendirikan mobil mahalku jadi lecet hanya karena sepatu rongsokanmu itu!" desis Peter menjelaskan. Ia tidak peduli dengan orang-orang yang tengah menonton dirinya layaknya sebuah siaran tv.

Peter tengah dilingkupi oleh amarah yang menggebu!

"Maaf, tapi ... a-aku tidak sengaja," ungkap Metha berusaha memberanikan diri untuk membeli diri.

"Aku tidak peduli itu!" balas Peter masih dengan desisan tajamnya. Ia kembali menatap lekat wajah Metha yang tampak memerah kemudian ia menyunggingkan sebuah senyuman miring bak iblis.

"Aku ingin kau bertanggung jawab!"

"Apa?"