webnovel

FIREFLIES : first love

Simon merasa tak pernah merasakan cinta sekalipun dirinya telah banyak berpacaran dan tak jarang berhubungan intim dengan wanita bahkan yang umurnya jauh lebih tua darinya. Ia selalu merasa hampa dan tak mengerti apa itu cinta ? kasih sayang ? mungkin tak hanya sebatas itu. Ia menjadi dingin dan tak berperasaan. Ia telah mati rasa. Namun semua berubah saat seorang pemuda yang adalah adik tingkatnya datang untuk memintanya menjadi model majalah kampus. Pemuda tinggi dengan rambut cepak yang suka sekali membawa kamera ternyata adalah anggota club jurnalistik. Di balik lensa kamera itu, hatinya berdebar. Mungkinkah ia sedang jatuh cinta ? Pada lelaki juga ?!!! "YANG BENAR SAJA !!" "sebaiknya kau terima saja jati dirimu sebenarnya~" "Pergi atau sepatu ini akan masuk ke mulutmu !"

JieRamaDhan · LGBT+
分數不夠
165 Chs

Bertemu Teman Baru

Suara berdenting dari dua benda berbahan alumunium dan stainless yang saling beradu menyambut pagi hari yang cerah. Udara berubah sedikit lebih panas karena terkena asap dari wajan penggorengan, menerpa wajah seseorang yang asik berkutat di dapur.

Sosok pemuda berambut cepak dengan apron merah muda melilit bagian depan tubuhnya yang besar, sementara tangannya sibuk mengotak atik panggangan dengan spatula tangan kanan. Mengoseng, lalu mengaduk dan sedikit memberi tekanan pada hasil karya di atas penggorengan. Aroma sedap dengan sensasi pedas langsung merasuk ke dalam indera penciuman, semakin dalam sampai tersekat pada pangkal tenggorokan. Menggelitik rongga hidung dan pernafasannya hingga membuat sesak.

"Uhuuk!"

Dan akhirnya batuk.

Ashley cepat mematikan kompor lalu segera melarikan diri ke arah lemari pendingin. Membuka pintunya dengan gegabah lalu meraih botol plastik berisi air putih dingin. Tanpa ragu dia menenggak air tersebut sampai setengah, beberapa cairan mengalir keluar dari mulut dan menetes ke lantai.

"UHUUUK!"

Ashley batuk lagi. Kali ini alasannya berbeda, dia tersedak karena berusaha meringankan batuk pertamanya.

Ashley mengelap ceceran air di ujung bibir dengan punggung tangan, mengembalikan lagi botol minuman sebelum dirinya berjalan mendekati kompor yang telah dimatikan. Meskipun begitu, aroma pedas menyengat masih dapat tercium, membuatnya harus menutup hidung karena tak ingin tersedak udara pedas.

Di atas wajan terdapat seporsi nasi goreng lengkap dengan telur dan ham. Yang membedakan dari nasi goreng pada umumnya adalah karena tak lagi berwarna cokelat menggoda, melainkan merah menyala, berkat tercampurnya bubuk cabai Carolina, pemberian dari pamannya yang seorang petani.

Ashley menatap ngeri penampakan benda yang harusnya disebut sebagai makanan, tapi kali ini dia ragu bisa memakan nasi goreng buatannya sendiri. Sejujurnya, Ashley bukanlah orang yang tidak kuat makan pedas, dia bahkan pernah memenangkan perlombaan makan cabai di kampung halamannya setiap kali diadakan festival panen musim panas. Meski tak pernah mendapat juara satu, tetapi dia cukup mampu menempati posisi dua ataupun tiga. Lihat, dia benar-benar bukan orang yang takut makan pedas.

Namun, kali ini bubuk pedas yang dia tuangkan sebanyak tiga sendok makan saja mampu membuat nafasnya sesak, seperti berada di dalam gedung terbakar dengan asap hitam memenuhi seisi ruangan. Ashley tak sedang membual atau melebih-lebihkan, dapat di lihat dari ujung hidungnya mulai memerah dan matanya juga berair.

'Glup!'

Ashley meneguk kasar saliva yang terbendung di bawah lidah, membasahi tenggorokan keringnya. Penampakan nasi goreng tersebut memang merah menyala dan itu malah membuat nafsu makannya meningkat. Seketika dia lupa bagaimana aroma menyengat berhasil membuatnya batuk kencang tanpa perlu mencicipinya lebih dulu.

Dia meraih sebuah sendok kayu, menyendok penuh nasi goreng yang masih mengeluarkan uap putih, pertanda masih cukup panas untuk di makan. Ashley tak mau ambil resiko membakar mulutnya, maka dia meniup butiran nasi hingga dirasa mulai agak dingin lalu menyantapnya.

Satu kunyahan masih terasa biasa saja, lidahnya hanya mengecap asin manis dari bumbu biasa belum ada sensasi pedas membakar, Ashley pikir dia terlalu paranoid karena aroma menyengat beberapa saat lalu. Makan, dengan sangat percaya diri, dia melahap hampir setengah porsi nasi goreng yang masih berada di dalam wajan penggorengan.

Lalu tanpa diduga, tendangan besar dia dapatkan dari dalam rongga mulut, memukul bringas lidahnya. Sensasi menyakitkan seperti terbakar dan dikuliti hidup-hidup dia rasakan. Ashley tercengang untuk beberapa saat, kepalanya seketika kosong melompong seperti bekas cangkak siput, lalu setelah wajahnya sudah sangat memerah padam, dia cepat bergegas ke sisi lain dari pantri. Tergesa-gesa menyalakan keran, Ashley dengan kalap menenggelamkan dirinya ke dalam guyuran air keran. Membasahi seluruh wajah, mengisi mulut serta membasahi tenggorokannya yang terluka akibat bubuk cabai iblis.

"Hey.. hey... kau baik-baik saja?" suara bariton berasal dari belakangnya.

Ashley ingin menjawab bahwa dia tak sedang dalam kondisi baik-baik saja, bahkan dia tak bisa menjawab dengan mulutnya yang terus dipenuhi oleh dinginnya air keran.

"Hey, Bung! Kalau kau mau mengakhiri hidup, tenggelam dalam wastafel tak akan cukup."

Entah apa maksud dari seseorang di belakang sana, sedang mengejek atau memberi nasihat yang tidak masuk akal. Saat rasa pedas tadi perlahan pudar, Ashley menjauhkan wajah dari kucuran air keran dan menatap sinis pada siapapun sosok di belakangnya. Mendapati pemuda berambut merah acak-acakan dengan tubuh jauh lebih pendek darinya. Ashley pikir di tempat ini tak ada anak SMP karena gedung ini cukup jauh dari Sekolah menengah manapun. Ashley jadi mengurungkan niatnya untuk balas mengatakan hal-hal pedas, mungkin saja anak lelaki satu ini sedang mengalami masa pubertas dimana selalu melakukan pembrotakan kecil-kecilan.

"Wow, kau habis mabuk pagi-pagi begini?"

"Aku tak pernah mabuk," jawab Ashley sambil mengelap wajah dengan kain celemek. Bibirnya teras tebal dan kebas, sisa amukan dari bubuk cabai.

"Lalu karena apa?" Sebelum Ashley menjawab, si anak lelaki sudah terlanjur mencondongkan tubuhnya ke arah wajan penggorengan, dimana masih terdapat sisa nasi goreng. "Kau tak kuat makan pedas yah?"

Perempatan imajiner muncul tepat di pelipis Ashley, dia tak terima mendapat ejekan dari anak kecil. "Hey, aku ini lelaki dewasa yang bisa menghabiskan setoples acar cabai!" kilahnya.

"Dasar pembual~" si anak lelaki kurus menurunkan pandangannya seakan mengolok-olok pembelaan Ashley.

"Aku berkata jujur! Lidahku sudah sangat kebal dengan sensasi pedas asal tahu saja!"

"Aku tak mempercayai ucapan seorang yang baru saja menenggelamkan dirinya ke wastafel hanya karena memakan nasi goreng," sahut anak lelaki tersebut yang semakin membuat Ashley kesal.

"Aku yakin kau tak akan bilang begitu jika merasakannya sendiri!"

"Berani taruhan kalau ini hanya sepedas saos tomat saja."

Ashley tak benar-benar menantang si anak lelaki, dia terpancing emosi dan melakukan hal yang tak sepantasnya dilakukan oleh pria dewasa. Begitu dia menyadari kesalahannya, semua sudah terlambat karena si anak lelaki telah menyendok penuh nasi goreng 'Iblis' tersebut lalu memasukkannya ke dalam rongga mulut. Pipi anak itu menggembung dan bergerak-gerak, mengunyah sebelum mendorong dengan lidah ke kerongkongan.

"H—hpoy! Sebaiknya kau berhenti saja!"

Hardikan Ashley tak berguna karena si anak lelaki masih tetap menyantap nasi goreng dengan santai, seolah tak merasa kepedasan sama sekali. Ashley menatap horor ketika mendapati sisa nasi goreng tadi telah berpindah seluruhnya ke perut si anak lelaki. Dia menghitung dalam hati, hitung mundur dari mulai angka sepuluh sembari berjalan ke arah keran untuk membukanya.

9...

8...

7...

Berbeda dengan ekspresi Ashley, si anak lelaki malah memandangnya dengan dahi berkerut.

3...

2...

1....

Ashley lalu memutar keran air, membiarkan cairan bening memenuhi wastafel yang sebelumnya dia bendung dengan penutup.

"Kau mau menenggelamkan diri lagi ke dalam sana?" tanya anak itu, mengejek tentu saja.

"Aku melakukan ini demi kau! Cepat masuk ke sini sebelum tenggorokanmu terbakar!" seru Ashley, matanya melotot lebar.

Sedangkan, si anak lelaki tambah memandangnya sebagai orang aneh. "Aku tak perlu melakukan hal bodoh semacam itu."

"Kau sudah gila!"

"Kau yang gila," anak itu menghela nafas. "Aku tak bisa merasakan sensasi pedas yang kau maksud, jadi jangan khawatir."

Ashley menatap tak percaya, dia memicingkan mata dan memandangi lekat-lekat, tak ada tanda-tanda kepedasan. Dia memutar kembali keran air untuk menutup aliran dan berjalan ke arah si anak lelaki. Dia menatap lekat-lekat sampai membuat anak itu mundur karena risih.

"Hey.. hey... aku tidak suka lelaki asal kau tahu," tukasnya.

"Aku tak masalah kalau sekarang kau mengakui jika ini pedas," ujar Ashley sedikit melembutkan suaranya, barangkali sikapnya yang tadi malah membuat anak lelaki ini tak nyaman.

"Memangnya wajahku terlihat tersiksa sepertimu huh?"

"Hoy! Aku ini lebih tua darimu, jadi sopanlah!" Ashley memberikan jitakan cukup keras di pucuk kepala si bocah. "Aku ini sedang khawatir tahu! Bagaimana kalau pemilik kosan mengusirku karena membiarkan anaknya makan makanan pedas."

"Selain berlebihan, kau juga hobi menarik kesimpulan sendiri ya?" Anak lelaki itu berjalan menjauh meja pantry, mendudukan diri di ruang tengah yang hanya berjarak sekitaran sepuluh langkah dari dapur, tidak ada dinding penyekat.

Entah kenapa sekarang Ashley tak terlalu merasa tersinggung, dia justru menjadi penasaran dengan si anak lelaki, ada yang janggal pada pernyataan mengenai tak bisa merasakan pedas. Maka, secara reflek, Ashley mengikuti anak itu dan duduk tepat di sofa seberang.

"Aku bilang aku tak tertarik dengan lelaki, jangan mengikutiku, pergi sana!" ketus si anak.

"Aku juga tak suka anak kecil sepertimu."

"Heh! Kita ini sepantaran asal tahu saja," ucapan anak itu tiba-tiba. "Kau mahasiswa tingkat satu di Salt Lake Universitas kan?"

"Kau peramal?"

Pertanyaan bodoh dari Ashley sontak membuat anak lelaki lain menepuk dahinya keras.

"Kau tak mengingatku yah? Kita pernah berada satu barisan saat masa orientasi dan aku tepat berdiri di depanmu," jelas anak itu berapi-api.

"Eh, masa sih?" Ashley menggaruk pipinya sambil berusaha mengingat-ingat. Sayangnya, dia tetap tak menemukan potongan ingatan mengenai si anak lelaki di hadapannya.

"Astaga~" Raut wajah kesal tergambar jelas ketika anak itu memberi tatapan tajam pada Ashley. "Serius? Kau tak mengingat orang yang kakinya kau injak?"

Mendengar itu bola mata Ashley seketika terbelalak beserta pupilnya yang juga melebar. Sekelebar ingatan telah dia dapatkan, meski bukan ingatan yang cukup baik untuk diingat kembali. "Maaf, aku tak melihatmu waktu itu~"

Anak lelaki tersebut mendengus keras, dia lalu menyibukkan diri dengan ponsel di tangannya, mengabaikan tatapan bersalah yang dilayangkan oleh Ashley terhadapnya.

"Aku tak terlalu jago dalam hal mengingat, apalagi kau terlalu—"

"Apa? Kau mau bilang kalau tubuhku terlewat kecil huh?" tukas si anak lelaki. "Kau saja yang terlalu besar, memangnya kau apa? Titan? Giant? Raksasa?"

"Ku rasa semuanya sama saja."

"Badan besarmu itu sama sekali berbeda dengan otakmu ternyata."

Ashley ingin sekali meratakan pemuda di depannya menjadi seperti perkedel. Tak memerlukan banyak tenaga untuk menumbuk bongkahan daging mungil yang pasti tak memiliki banyak otot. Astaga, saking kesalnya dia hampir saja menjadi seorang kriminal. "Kita baru bertemu lagi dan kau sudah sebenci itu padaku."

Menyingkirkan ponselnya, si anak lelaki memberi tatapan menelisik yang membuat Ashley tak nyaman dalam duduknya. "Jangan bilang kau juga lupa namaku?"

"Em..."

"YA TUHAN!" Anak itu memekik tertahan sembari menutupi sebagian wajahnya. "Namaku, Sean Willson!"