webnovel

Chapter 6

Ferisha duduk sembari mengemasi barang-barangnya ke dalam koper, dirinya sangat berterimakasih pada pekerjaan yang baru saja menghentikan niat buruk Gavin padanya, ya— pada saat Gavin baru saja hendak meraba paha mulusnya, tiba-tiba saja ponsel Gavin berbunyi, dan ya dengan terpaksa Gavin harus menghentikan niat buruknya, dan mengeluarkan Ferisha saat setelah mengecup kening Ferisha dengan penuh perasaan. Bohong jika Ferisha tak terpengaruh akan hal itu, toh Ferisha yakin semua wanita pun akan luluh pada perlakuan Gavin.

"My parents baru saja berangkat untuk mengurus pekerjaan, turunlah bersama ku, dan lakukan sarapan terlebih dahulu," kata Alodie tiba-tiba saja duduk di samping Ferisha sembari membantu Ferisha memasukan barang-barangnya.

Ferisha menoleh, ia menatap Alodie dengan tatapan yang begitu sulit diartikan, terbesit ingin mengatakan apa yang Gavin perbuat, namun Ferisha segera menggelengkan kepalanya, dan kembali fokus pada barang-barangnya.

"Ku pikir kau akan menginap semalam lagi dan menemani diri ku," keluh Alodie.

Mendengar itu Ferisha berdecak sebal, "Berhenti mengatakan itu, kita akan bertemu lagi nanti," kesal Ferisha bersamaan dengan itu menutup kopernya rapat-rapat.

Alodie tersenyum lebar, menampilkan deretan giginya, "Aku akan menagih janji mu!"

Belum sempat Ferisha menjawab, Alodie sudah kembali buka suara, "Jadi ayo kita sarapan terlebih dahulu, kakak ku sudah menunggu!"

Deg!

Ferisha ingin menolak, namun Alodie sudah berjalan gontai meninggalkannya, menyisakan Ferisha dengan perasaan yang sangat sulit diartikan.

Namun mau bagaimana pun juga Ferisha harus mengikuti apa yang Alodie inginkan, dan ya, Ferisha berjalan mengikuti kemana Alodie pergi, masuk ke dalam lift bersama dengan Alodie yang tampak begitu bahagia.

Ting!

Pintu lift terbuka, Alodie segera menarik Ferisha ke arah meja makan berada, dari kejauhan Ferisha dapat melihat - sosok yang sangat Ferisha hindari.

Ya, Gavin.

"Morning, kak." sapa Alodie duduk di salah satu kursi yang kosong, diikuti oleh Ferisha yang sialnya terpaksa harus duduk di hadapan Gavin, samping Alodie.

Gavin hanya berdehem, namun tatapan datarnya menyusuri setiap jengkal wajah Ferisha, membuat Ferisha sendiri merasa gugup dibuatnya.

Sembari menunggu para pelayan memasukan berbagai macam menu makanan ke dalam piring, Ferisha tampak menunduk dalam, tak berani hanya sekedar mengangkat kepalanya.

"Ah, ya. Kak! Kau akan berangkat bekerja, bukan? Maukah kau membawa teman ku bersama mu?" tanya Alodie tiba-tiba, sontak membuat Ferisha menoleh ke arah Alodie.

Apa-apaan ini?

"Kau mau, bukan? Lagipula aku tidak bisa mengantarmu," sambung Alodie dengan tatapan polosnya.

Ferisha tertawa gugup, "Tidak, Alodie. Aku bi–

"Ya, kita bisa berangkat bersama," tukas Gavin sambil tersenyum miring.

Ferisha tak bisa tinggal diam, ia mengangkat dagunya sembari menatap Gavin berani, "Tak perlu repot-repot Mr. Stevenson. Aku bisa meminta supir ku untuk menjemput ku disini."

Mendengar itu, Alodie berdecak sebal, "Sudahlah, ikut saja dengan kakak ku," desaknya membuat Ferisha tak dapat berkutik sedikitpun.

Belum sempat Ferisha menyela, Alodie tampak menyipitkan matanya lalu berkata, "Apa kau takut pada kakak ku?"

Uhuk! Uhuk!

"Makanlah dengan perlahan," kata Gavin sembari menyodorkan segelas air kehadapan Ferisha, untuk beberapa saat tatapan mereka bertemu, namun dengan cepat Ferisha memutuskan kontak matanya dengan mata gelap Gavin.

"Terimakasih," kata Ferisha saat setelah meneguk air dalam gelas.

Jika sudah begini, Ferisha tak memiliki pilihan lain selain mengikuti apa yang Gavin katakan.

***

Keadaan dalam mobil sangatlah hening, Ferisha tak berani buka suara, sedangkan Gavin memilih untuk melajukan mobilnya dengan kecepatan sepelan mungkin tanpa mengatakan sepatah katapun, tentu saja Ferisha menyadarinya.

"Dimana rumahmu?" tanya Gavin tiba-tiba dengan suara yang begitu dingin, auranya yang pekat sukses mendominasi keheningan ini. Tak ada yang tau, jika Gavin mengatakan hal itu hanya demi mengisi perjalanan mereka, sudah jelas jika Gavin tau akan miliknya, segala tentang Ferisha— Gavin mengetahuinya.

"Turunkan saja aku di halte," balas Ferisha membuat Gavin tiba-tiba mengernyitkan dahinya bingung, lantas menepikan mobilnya.

Gavin membuka seatbeltnya, setelah itu mendekatkan diri ke arah Ferisha, "Aku tak sesabar yang kau pikirkan, baby." bisik Gavin semakin mendekat ke arah Ferisha, sangat dekat.

Merasa gugup dengan jarak diantara mereka yang hanya beberapa senti saja, Ferisha mengangkat kedua alisnya dan melepas tawa gemetar, "A– apa maksud mu?" tanya Ferisha gugup.

Gavin mengulurkan tangannya, mengusap bibir Ferisha dengan ibu jarinya, "Katakan." ujarnya dengan suara yang begitu rendah, kelembutan didasari ancaman mematikan.

Tak mengerti dengan apa yang Gavin tanyakan, Ferisha mengernyitkan dahinya bingung, membuat Gavin kembali buka suara, "Katakan kemana aku harus membawamu, baby. Apa perlu kita pergi ke penthouse ku, hm?" Tatapan datar pria itu menyusuri setiap jengkal wajahnya.

"Tolong, jangan lagi," ujar Ferisha lemas, tak ingin kejadian beberapa jam lalu terulang lagi.

Gavin mengangkat sebelah alisnya sambil tersenyum miring, "Bukankah kau menikmatinya? Bahkan kita belum sempat melakukannya, itu hanya pemanasan, baby." bisik Gavin sembari menyatukan dahi mereka.

Persetan dengan segala hal yang Gavin lontarkan, Ferisha tak bisa mengatakan apapun sekarang, selain menjawab apa yang Gavin pertanyakan.

Dengan sisa keberaniannya, Ferisha mendorong dada bidang Gavin hingga menjauh darinya, "Jones' mansion," ujarnya datar.

Ferisha menghembuskan nafasnya perlahan, ia menoleh ke arah Gavin yang masih menatapnya dengan tatapan yang begitu sulit diartikan, "Antarkan aku ke Jones' mansion," sambung Ferisha.

Tiba-tiba saja Gavin menarik kedua sudut bibirnya ke atas, seketika denyut nadi Ferisha berpacu.

"Aku tau," kata Gavin sembari mulai memasangkan kembali seatbeltnya, dan melajukan mobilnya.

Ferisha ingin bertanya, namun dirinya terlalu malas, biarkan saja Gavin melakukan apapun, toh Ferisha tak peduli sekalipun Gavin mencari tau apapun tentangnya.

Hingga beberapa saat kemudian, mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan mansion kediaman Jones, mansion yang begitu megah, tak heran jika penampilan Ferisha memang terkesan dari keluarga berada, toh Gavin memang tau betul seberapa kaya keluarga Jones, ya sekalipun tak lebih kaya daripadanya dirinya.

Gavin membuka kembali seatbeltnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arah Ferisha, membuka seatbelt yang melingkar di tubuh Ferisha, sebelum kembali menjauhkan tubuhnya, Gavin menyempatkan diri untuk mengecup bibir Ferisha sedikit lebih lama.

Ferisha tak bergeming, namun jantungnya berpacu tak karuan, melihat tatapan tajam Gavin membuatnya bungkam.

"Bertahanlah sebentar saja, baby. Aku akan dengan segera membawaku keluar dari neraka itu," kata Gavin sembari mengusap rahang tak seberapa Ferisha, tatapannya tiba-tiba saja berubah menjadi begitu teduh, hingga Ferisha sendiri seolah hilang kesadarannya.

Lalu, apa maksud dari ucapan Gavin saat ini?

Cup

Lagi dan lagi Gavin mencium bibir Ferisha dengan penuh kasih sayang, tangan kekar Gavin menekan tengkuk Ferisha, berniat memperdalam ciuman mereka, namun sebelum itu benar-benar terjadi, Ferisha sudah dengan cepat mendorong dada bidang Gavin agar menjauh darinya.