webnovel

Chapter 10 - Berpencar

Locked dan Vivien terlihat masuk ke dalam sebuah kedai. Suasana kedai sedang sepi, tapi mereka terus berjalan menghampiri seseorang yang sedang menikmati minuman sendirian di meja depan bartender.

Tanpa berkata apapun, mereka berdua duduk di sebelahnya. Orang itu sempat terkejut, tapi ia menjadi tenang kembali setelah mengetahui siapa yang duduk di sampingnya secara mendadak.

Vivien mengeluarkan sebuah kantung, dan melempar kantung tersebut ke depan orang itu. Dari suaranya saat dilempar, dapat diketahui bahwa kantung tersebut berisi cukup banyak uang logam.

"Tak perlu dihitung. Jumlahnya sudah cukup."

Orang itu hanya melirik kantung yang dilempar, dan lanjut menikmati minumannya.

"Apa yang kalian butuhkan?"

Locked menjawab, "Tahu sesuatu yang bisa membuat orang tertidur tanpa bisa bangun?"

Vivien kemudian melanjutkan pertanyaan Locked. "Sesuatu tersebut tidak meninggalkan jejak apapun, bahkan tidak ada hal aneh pada korban walau dilihat menggunakan Overseer sekalipun."

Orang itu meletakan gelasnya yang sudah kosong. "Tuan! Tolong tambahkan minumannya!"

Bartender yang ada di depannya langsung mengambil gelas orang tersebut, dan pergi mengisi gelasnya kembali.

"Kalian perlu lebih spesifik."

Vivien terus menatap orang itu dengan ekspresi serius."Hanya itu yang kami ketahui."

Orang itu berpikir sebentar. "Aku tidak memiliki informasi soal itu, tapi aku memiliki informasi lain yang sangat berharga. Mungkin tidak seberharga informasi yang kalian butuhkan, tapi informasi ini tetap menguntungkan."

Vivien dan Locked kemudian saling menatap, memikirkan penawaran orang tersebut.

Vivien melambai kepada bartender. "Pak, tolong minumannya 2!"

Orang itu kemudian mengambil kantong uang yang ada di depannya, dan memasukannya kedalam saku.

"Percayalah, kalian tidak akan menyesal membeli informasi ini."

Di sisi lain, di koridor istana kerajaan. Saki dan Shacchi sedang menatap pintu perpustakaan yang cukup besar.

Shacchi menjadi gugup ketika sampai di perpustakaan kerajaan. Ia mengepalkan tangannya untuk mengurangi rasa gugup tersebut.

"Jadi ini perpustakaan kerajaan?"

Saki mengangguk, dan meraih gagang pintu didepannya. "Ya, mari masuk senior."

Di dalam, terlihat berbagai buku yang tersusun dengan rapi pada rak dengan temanya masing-masing. Perpustakaan yang sangat luas, memiliki koleksi buku yang banyak, dan hampir semua isinya merupakan buku yang sangat sulit untuk didapat di pasaran. Shacchi yang merupakan pecinta buku merasa bahwa dirinya sedang berada disurga dengan kumpulan buku-buku yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Segudang informasi baru siap menanti untuk dibaca olehnya.

"Sakiiii, betapa enaknya menjadi dirimu ... " Shacchi memandangi rak buku satu persatu.

"Terimakasih senior. Kuharap kau bisa menikmatinya sembari kita mencari informasi disini."

Shacchi mencoba mengambil sebuah buku dengan sampul yang menarik perhatiannya. "Kira-kira kita akan mulai darimana?"

Saki berpikir sambil melihat-lihat sekeliling, mencari rak buku dengan tema yang sekiranya cocok dengan sesuatu yang mereka butuhkan.

Saki menunjuk salah satu rak buku yang berada di ujung ruangan. "Mungkin disitu?"

Shacchi mencoba membaca tulisan yang ada disana, tapi ia tidak bisa membacanya karena terlalu jauh. Ia menaruh kembali buku yang ia ambil, dan berjalan bersama Saki menuju rak buku tersebut.

"Nah Saki, kira-kira buku mana yang akan kita baca?"

Saki terdiam sesaat sambil terus memandangi rak buku di depannya. "Maaf senior, tapi aku belum pernah membaca isi dari bagian ini sama sekali."

Setelah sampai di depan rak tersebut, Sacchi memperhatikan satu persatu buku yang ada di rak tersebut dari atas hingga kebawah. Buku yang ada disana cukup banyak, membuatnya kesulitan memilih buku mana yang akan dibaca pertama.

"Yah, hari juga masih panjang. Sepertinya kita akan terjebak disini untuk waktu yang lama."

Disaat Saki dan Shacchi mencari informasi di perpustakaan, Rikka sedang duduk di meja kerja Ardent. Ia membaca salah satu buku tebal milik Ardent, dan menumpuk beberapa buku tebal lain di samping untuk ia baca setelahnya.

Saat Rikka sedang fokus membaca, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar.

"Masuk ... "

Pintu kemudian terbuka, dan Eevnyxz masuk menghampiri Rikka.

"Menemukan sesuatu?"

Rikka menghela nafasnya. "Hah ... masih belum."

Eevnyxz tertawa kecil mendengar jawaban Rikka. "Haha, berjuanglah Rikka. Mencari informasi memang tidak mudah."

"Begitupun denganmu Eev. Kau akan pergi kesana kemari, dan belum tentu mendapatkan informasi yang sesuai juga."

Rikka memperhatikan perlengkapan Yang digunakan Eevnyxz. "Kau akan berangkat sekarang? Hati-hati dijalan."

"Terimakasih. Barrier juga sudah kuperbaharui. Tolong jaga Ardent ya."

Rikka mengangguk. "Baiklah."

Eevnyxz keluar dan menutup kembali pintu ruang kerja Ardent. Rikka menandai baris terakhir pada buku yang ia baca dengan meletakan alat tulis pada baris tersebut.

Rikka meregangkan tubuhnya dan bergumam sendiri. "Huhh ... Ayolah Ardent. Kau seharusnya bisa bangun sendiri ..."

Ashborn dan Tan yang sedang berada di tujuannya masing-masing juga tidak mengalami kendala apapun. Dengan penampilan yang sangat rapih, Tan mengunjungi rumah salah satu pejabat kenalannya. Ia disambut dengan baik olehnya, dan diajak untuk makan siang bersama. Mereka berbincang-bincang sambil makan siang dengan berbagai hidangan mewah.

Berbeda dengan Tan yang mengunjungi satu per satu kenalannya, Ashborn langsung datang ke perkumpulan petualang pedagang dan berbicara dengan mereka. Karena ia juga merupakan anggota dari komunitas tersebut, ia cukup dikenal oleh banyak orang disana. Meski ia sudah tidak terlalu aktif sebagai pedagang, ia masih menjadi seorang petualang yang melakukan banyak transaksi perdagangan. Ia kesana juga tidak dengan tangan kosong, melainkan sambil membawa beberapa barang yang akan ia jual kepada kenalannya disana.

Sementara yang lainnya disibukkan dengan pencarian informasi, Army terlihat sedang santai menyeduh teh di rumahnya. Setelah tehnya jadi, ia meletakan gelas tersebut diatas kotatsu dan duduk disana. Suasana hening beberapa saat ketika ia menunggu teh miliknya sampai tidak terlalu panas.

"Tofu."

Menjawab panggilan Army, Tofu langsung muncul di hadapan wajahnya.

"Ada apa?"

"Kau sudah tahu kan apa yang sedang terjadi?"

Tofu melayang keatas dan kebawah. "Ya, kurang lebih aku tahu yang terjadi hanya dengan melihat saja. Jadi, apa yang ingin kau lakukan sampai memanggilku?"

Army mengaduk kembali gula yang belum terlarut sempurna dalam tehnya. "Aku ingin memintamu untuk masuk kedalam tubuh Ardent, dan memeriksa apa yang sebenarnya ada disana."

Tofu terkejut, ia melayang tak karuan setelah mendengar ucapan Army. "Tunggu tunggu tunggu! Masuk kedalam tubuh penyihir seperti Ardent itu memerlukan energi sihir yang sangat besar. Kau tahu itu kan?"

Army mengangkat gelas teh, hendak meminumnya. "Tentu saja."

"Kau kan tidak memiliki energi sihir yang banyak."

"Karena itu aku meminta Shiro untuk membuatkan sesuatu."

Army menyeruput sedikit tehnya, dan meletakan kembali gelasnya di meja. "Kau ingat Akane? Gadis penyihir yang serba merah itu?"

"Oh, penyihir teman Cherry itu?"

Army mengangguk. "Kau tahu kalau energi sihirnya sangat cocok dengan kekuatan kegelapan kan?"

"Ya, aku mengingat dengan jelas saat kejadian sebelumnya."

"Aku meminta Shiro untuk bicara kepada Akane agar ia membuatkan kristal sihir yang akan kita gunakan."

"Hmm ... Kalau begitu, aku yakin kita bisa menggunakannya."

Army tersenyum. "Tentu saja."

Hari terus berjalan bagi para anggota Fallen Orions yang sibuk mencari informasi. Saat mengetahui bahwa hari sudah mulai sore, Shiro segera bergegas menuju akademi, sebelum jam pelajaran benar-benar berakhir. Karena ia tidak memiliki kepentingan khusus ataupun izin, maka ia hanya diizinkan untuk menunggu di lobi utama.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara bel akademi yang menandakan berakhirnya jam pelajaran. Para murid segera keluar dari ruang kelas, dan pulang menuju rumahnya masing-masing. Saat Akane sedang berjalan bersama dengan anggota Slow Kill Party lainnya, ia menyadari Shiro yang sedang berdiri di lobi utama. Shiro terlihat bersandar pada tembok sambil melipat tangannya, dan pandangannya terus tertuju pada jam yang berada diatas dinding.

Akane menoleh kearah teman-temannya. "Ah, semuanya, maaf ... "

"Ada apa?" Cherry bertanya sambil melihat kearah yang sama dengan Akane.

Chery kemudian menyadari keberadaan Shiro disana. "Oh ..."

Kurosaki yang penasaran pun akhirnya bertanya, "Kenapa?"

"Aku sedang ditunggu seseorang."

Dengan cepat, Cherry menggenggam tangan Kurosaki dan Reina. "Baiklah Akane, kami dulan ya!" Ia menarik mereka berdua berlari keluar. Kurosaki dan Reina yang kebingungan hanya mengikuti tarikan Cherry dan ikut bersamanya meninggalkan Akane.

"Aku tak mengerti ..."

Sebelum Reina berkata lebih jauh, Cherry memotongnya. "Tak apa Reina! Akane sedang ada keperluan, jadi kita akan pulang duluan."

Kurosaki hanya tersenyum kecil sambil berlari ditarik oleh Cherry. "Yah, aku tidak mengerti, jadi terserahmu saja Cherry."

Saat berpapasan dengan Shiro, Cherry melepaskan tangannya dari Kurosaki, dan melambai kearah Shiro sambil terus berjalan keluar. "Kak Shiro!"

Mendengar panggilan Cherry, Shiro langsung melihat kearah mereka bertiga, dan melambai balik sambil tersenyum.

"Dia yang waktu itu kan?" Reina teringat dengan peristiwa saat mereka pergi ke hutan.

Kurosaki mengangguk. "Ya, itu tunangan Akane."

Melihat Cherry serta 2 anggota Slow Kill Party lainnya, Shiro tahu bahwa Akane juga ada disana. Ia menengok ke belakang, dan melihat Akane yang sedang berjalan menghampirinya.

"Ada apa? Tidak biasanya kau menemuiku?"

Shiro mendekati Akane dan mengulurkan tangannya, mengajak Akane untuk menggenggam tangannya. "Tentu saja untuk menjemput tuan puteri."

Akane diam sesaat sambil menatap tangan Shiro. "Katakan saja apa tujuanmu."

"Sudah kukatakan bukan? Apakah tuan putri tidak senang dijemput olehku?"

Akane menghela nafas sambil melipat tangannya. "Hah ... Tentu saja aku senang, tapi melihatmu disini sudah membuatku cemas akan sesuatu yang sedang terjadi."

Shiro menarik kembali tangannya dan tertawa karena Akane mengetahui bahwa ia datang kesini dengan tujuan tertentu. "Hahaha, tuan putri memang hebat."

"Jadi, ada apa?"

"Akan kuceritakan sambil jalan, jadi mari kita pulang bersama."

Akane menurunkan kembali tangannya, dan berjalan berdampingan dengan Shiro. "Baiklah."

Sambil berjalan, Shiro menceritakan sedikit hal kepada Akane tentang sesuatu yang terjadi. Ia mengerti bahwa ada hal buruk yang sedang terjadi, tapi ia tidak diberitahu detailnya oleh Shiro.

"Begitulah kira-kira yang sedang terjadi."

Akane berpikir sebentar setelah mendengar Shiro. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dari cerita dan Shiro yang menemuinya. "Lalu kenapa kau menungguku? Kau kan bisa langsung mencarinya di rumah?"

"Aku tidak ingin repot untuk menemui para tetua terlebih dahulu. Jika kau yang menemaniku, maka aku bisa masuk lebih mudah."

"Yah ... aku paham bagaimana repotnya meminta izin mereka."

"Begitulah, padahal aku sudah tinggal lama disana ... "

Saat berjalan, Shiro tiba-tiba teringat dengan permintaan Army yang hampir ia lupakan. "Oh iya!"

Akane kaget dengan Shiro yang mendadak bersuara dengan lebih kencang.

"Akane, apakah kau bisa membuat kristal sihir?"

"Kristal sihir? Untuk apa?"

"Army minta tolong untuk dibuatkan kristal sihir olehmu. Karena ia sendiri juga sedang sibuk, maka ia menitipkannya padaku."

"Army? Kakaknya Cherry?"

Shiro mengangguk. "Ya. Ia bilang bahwa kristal itu akan digunakan untuk menyelesaikan masalah kali ini."

Akane kembali berpikir mengenai permintaan Army yang disampaikan oleh Shiro. "Sepertinya bisa. Beberapa hari ini aku tidak akan sibuk, karena seluruh tugas sudah kuselesaikan sejak hari pertama."

"Kau memang bisa diharapkan! Berapa lama kira-kira sampai kristal tersebut jadi?"

"3-4 hari."

"Baiklah, kuserahkan itu padamu."

Sesampainya di rumah, mereka berdua langsung pergi menuju ruangan khusus milik keluarga Akane. Ruangan tersebut seperti sebuah perpustakaan yang luas, tapi juga terdapat berbagai barang selain buku seperti, alat sihir, perkamen, senjata, dan lainnya yang terpajang sepanjang ruangan. Mereka dengan mudah diizinkan masuk oleh para tetua karena Akane langsung yang meminta izin.

Akane bersandar pada salah satu rak buku disamping Shiro. "Jadi, apa saja yang akan kau butuhkan?"

Shiro melihat sekeliling, memperkirakan dari mana ia memulai pencariannya. "Sepertinya tidak ada."

Akane berhenti bersandar, dan mulai berjalan keluar. "Baiklah, kalau begitu aku akan pergi membuat kris ..."

Sebelum Akane pergi keluar, Shiro meraih tangan kiri akane dengan tangan kanannya. "Aku berubah pikiran."

"Apa yang kau bu ... "

"Kau." Sebelum Akane selesai bertanya, Shiro menjawab duluan pertanyaan tersebut.

Akane menjadi bingung terhadap Shiro yang berubah secara tiba-tiba. "Hah?"

Sambil terus menggenggam tangan Akane, Shiro menatap langsung kearah matanya. "Aku ingin kau membuat kristal itu disini, sambil menemaniku."

"S--Shirooo ... Tidak disini ..." Akane memalingkan pandangannya ke pintu, khawatir jika ada seseorang yang melihat mereka.

Shiro mempererat genggamannya. "Akane... kumohon, untuk kali ini saja."

"Bagaimana dengan tugasmu?"

"Kau bukanlah pengganggu bagiku, Akane."

Shiro kemudian menurunkan pandangannya kearah lantai. "Aku hanya berpikir ... kalau semakin lama, kita semakin memiliki sedikit waktu untuk bersama, karena pekerjaanku dan tugas akademi mu. Mungkin aku tidak terlihat seperti itu, tapi percayalah, aku sangat merindukan saat dimana kita memiliki banyak waktu untuk dihabiskan bersama-sama."

Suasana menjadi hening untuk sesaat, sebelum Shiro melanjutkan kata-katanya.

"Akane, aku tidak tahu kapan kita bisa menghabiskan waktu seperti ini lagi ... "

Shiro tersenyum kepada Akane, memohon dengan sangan tulus. "Karena itu, kumohon untuk beberapa hari ini saja, kau membuat kristal tersebut disini bersamaku, dan menghilangkan rasa rindu yang terus ada dalam diriku."

Melihat Shiro yang memohon seperti itu, Akane menjadi tidak bisa menolak permohonan tersebut. "Ahhh! Baiklah. Aku akan membawa alat-alat lebih dahulu kesini."

Shiro melepaskan genggamannya untuk membiarkan Akane pergi mengambil alat yang ia butuhkan. "Terimakasih, Akane."

Akane kemudian keluar dan menutup pintu ruangan tersebut, meninggalkan Shiro yang melihat-lihat segala macam barang disana. Selama berjalan di koridor, ia tidak bisa berhenti menutup wajahnya yang memerah akibat ulah Shiro.

"Hahhh ... Shiro ... Aku akan menembakmu dengan Qadal Cannon 200% kalau kau melakukan itu kepada wanita lain."

Sang penyihir merah yang membara seperti api sudah dibuat meleleh oleh pangerannya.