webnovel

Expensive Baby

"Maukah kau tidur dengan suamiku hingga hamil dan melahirkan anaknya?" Elena Wasley bertemu kembali dengan kembarannya, Elise. Dia meminta bantuan Elena untuk mengandung anak dari suaminya, Brian Fernandez. Tentu saja, Elena menolak karena sebentar lagi dia akan menikah dengan kekasihnya, Diego Orlando. Tapi semua berubah karena satu insiden tak terduga. Elena mau mengandung bayi itu dengan meminta bayaran mahal. Membuat Brian dan Elise membuat perjanjian tertulis untuk kesepakatan bersama Elena itu. Di sisi lain, Tiara Jackson -mantan tunangan Brian masih mengharapkan pria itu menjadi miliknya. Dia bertekad menyingkirkan Elise dan bayi itu dengan berbagai cara untuk mendapatkan Brian. Apa alasan Elise meminta Elena mengandung anak Brian? Mengapa Elena menyetujui perjanjian gila itu? Bagaimana reaksi Diego jika mengetahui semuanya?Apa yang akan dilakukan Tiara untuk menyingkirkan Elise dan bayinya? Bisakah bayi itu terlahir ke dunia dengan selamat? Bagaimana akhir dari cerita ini saat cinta menggoyahkan segala?

MaylisaAzhura · 现代言情
分數不夠
211 Chs

Bab 10. Menunggumu

Elena tiba di rumah sakit tempat Diego di rawat. Dia langsung menemui dokter untuk konsultasi mengenai operasi Diego. Dengan keadaan Diego yang butuh penanganan dan operasi segera, dokter mengatakan mereka akan melakukan operasi siang ini juga. Elena langsung membayar biaya operasi di administrasi dan menemui Diego sebelum pria itu masuk ke ruang operasi.

"Kak, aku tau kau pasti akan sangat kecewa dan marah dengan keputusanku saat ini. Tapi hanya ini satu-satunya cara agar kau bisa di operasi." Elena mengenggam jemari Diego yang tidak diimpus.

"Kak, hanya kau satu-satunya harta paling berharga yang kumiliki. Kau harus berjuang untuk melawan penyakitmu. Dan bertahan untukku. Kau harus segera sadar dan sembuh. Kau sudah berjanji akan menikahiku." Setetes airmara jatuh menyusuri wajah cantik Elena. Dia memandang lekat wajah Diego. Wajah pria yang sangat dia cintai dan sayangi.

"Sudah waktunya kami membawa pasien ke ruang operasi, nona," ucap seorang perawat di belakang Elena. Elena menghapus airmatanya dan bangkit berdiri. Dia mengecup kening Diego lama.

"Berjuang dan bertahanlah demi diriku. Karena aku sangat mencintaimu." Setelah itu Elena mundur dan membiarkan perawat menangani Diego.

....

Waktu berjalan begitu lama bagi Elena. Proses operasi berjalan sangat lama dengan segala macam prosedur yang ada. Karena operasi yang dijalani oleh Diego memang sangat sulit dan rentan. Elena bahkan tak tau sudah jam berapa saat ini. Dia tidak beranjak dari kursi tunggu di depan ruang operasi selama berjam-jam.

Gadis itu bahkan tak tau jika hari telah berubah menjadi malam. Dia melupakan perkataan dan janjinya yang akan kembali ke apartemen Brian sore ini sesuai dengan kesepakan mereka.

Sedangkan di lain tempat, yaitu apartemen Brian. Pria itu tengah duduk di ruang tamu dengan aura gelap. Tangannya terkepal erat hingga menonjolkan urat-urat di lengannya. Rahangnya menegang kaku menahan amarah.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam, tapi sampai saat ini tak ada sedikitpun tanda-tanda akan kedatangan Elena. Bahkan Brian tak bisa menghubungi Elena. Nomor wanita itu tak aktif sejak sore. Brian semakin mengepalkan tangannya hingga buku kukunya memutih, mengingat ucapan dan janji yang Elena katakan tadi pagi.

'Kau tenang saja, aku tidak akan kabur. Sore nanti aku akan kembali kemari dan membawa beberapa pakaianku.'

Elena berjanji akan kembali sore, tapi sampai malam dia tak bisa dihubungi. Semua itu bullshit! Omong kosong!

Brian semakin geram. Tangannya sangat gatal ingin meninju seseorang saat ini.

Bagaimana dia bisa percaya dengan ucapan Elena? Wanita matre mata duitan seperti Elena tak mungkin menepati janjinya. Tak ada untungnya bagi wanita itu untuk kembali dan menepati janjinya. Elena sudah mendapatkan bayarannya dan dia bisa kabur kapanpun dia inginkan.

'Kau tak perlu cemas tuan Fernandez, Elise punya nomor ponselku.'

Brian kembali teringat ucapan Elena.

"Shit!" Dengan amarah yang menggunung Brian meraih asbak di atas meja dan melemparkannya dengan sangat keras ke dinding.

Suara asbak yang menghantam dinding memecah kesunyian aparteman itu. Asbak yang terbuat dari keramik pecah menjadi kepingan kecil.

Brian sama sekali tak perduli dengan kekacauan yang baru saja dia lakukan. Dia tak perduli lantai apartemennya penuh dengan pecahan keramik. Saat ini hanya satu yang dia inginkan membuat perhitungan dengan wanita bernama Elena.

Brian marah, sangat marah. Bukan karena uang lima ratus juta yang dibawa kabur oleh Elena. Brian marah karena Elena memberikan harapan semu untuk Elise. Dia tak ingin Elise kecewa, jika tau saudara kembarnya tak datang dan mengingkari janjinya. Dia tak ingin melihat Elise menangis. Siapapun yang membuat Elise menangis harus berurusan dengan Brian dan pria itu berjanji siapapun orang itu hidupnya tak akan pernah bahagia.

Brian ingat bagaimana wajah ceria istrinya saat mengatakan ide gilanya ini pertama kali. Bagaimana sedihnya Elise dengan kekurangannya yang kesulitan hamil. Dan hanya Elena yang Elise anggap bisa membantu mereka.

Jika sampai besok Elena tak datang, Brian akan menyuruh anak buahnya mencari Elena. Wanita itu tak akan bisa bersembunyi darinya. Akan Brian cari walau ke ujung dunia sekalipun. Tak akan ada tempat bagi gadis itu bersembunyi. Dan saat dia sudah menangkap Elena, Brian akan memberikan balasan yang setimpal pada wanita itu.

....

Elena masih duduk dengan tegap menatap pintu ruang operasi Diego. Gadis itu benar-benar memusatkan semua perhatiannya pada operasi Diego. Dia bahkan melewatkan waktu makan dan terus menunggu di sana.

Hingga akhirnya pintu ruang operasi terbuka dan seorang dokter keluar. Elena dengan secepat kilat berdiri dan menghampiri dokter itu.

"Bagaimana dok?"

"Selamat, operasi berjalan dengan normal. Dan kondisi Diego kembali stabil. Saat ini perawat masih akan mengurus Diego. Dan besok Diego sudah di pindah ke ruang rawatnya."

Dokter itu mengusap pundak Elena pelan seakan memberikan dukungan untuk Elena agar gadis itu selalu kuat dan terus berdoa demi kesembuhan Diego. Lalu pergi meninggalkan Elena sendiri.

Saat itu helaan napas panjang terhembus dari Elena, seakan beban baret baru saja hilang di pundak Elena. Dan sedetik kemudian Elena kehilangan kekuatan kakinya. Kalinya bergetar dan dia jatuh terduduk di lantai lorong rumah sakit.

Rasa lelah, lapar dan haus langsung menyerangnya begitu dahsyat. Elena mengusap perutnya yang kosong dan perih. Cacing-cacing diperutnya mungkin hampir mati saat ini karena sejak siang tak diisi makanan oleh Elena.

Elena bangkit dengan sisa-sisa tenaganya. Dia mendekati jendela ruang operasi. Dari kaca jendela Elena bisa melihat perawat yang masih mengecek kondisi dan impus Diego.

Elena mengusap kaca jendela, seakan dia sedang menyentuh Diego.

"Kak, kumohon cepatlah sadar dan sembuh kembali. Aku membutuhkanmu." setelah puas menatap wajah Diego dalam waktu yang cukup lama, Elena berjalan pergi. Dia ingin mencari makanan untuk mengisi perutnya yang kosong saat ini.

Elena berjalan menyusuri lorong rumah sakit sambil sesekali mengusap perutnya. Perutnya sangat perih saat ini, delapan jam lebih Elena tak makan. Dia seakan berpuasa saja.

Saat Elena melewati ruangan bayi. Wajahnya tersenyum lebar menatap beberapa bayi mungil yang bari saja lahir. Bayi yang sangat cantik. Saat itulah Elena kembali teringat dengan Elise dan kesepakatan yang mereka buat tadi pagi. Dengan panik Elena berjalan cepat. Sudah jam berapa saat ini. Elena mengeluarkan ponsel yang sejak tadi berada di dalam tas nya.

"Shit." Elena mengumpat saat mengetahui ponselnya mati karena lowbet.

Elena membulatkan matanya saat melihat suasana gelap yang ada di luar. Dia tak menyangka jika hari sudah malam.

Sial. Elena benar-benar lupa dan terfokus hanya pada operasi Diego. Dia tak ingat untuk menghubungi Elise jika dia terlambat datang.

Elena semakin membulatkan matanya saat melihat jam dinding rumah sakit yang menunjukkan pukul sepuluh malam.

Bagaimana ini? Elena sudah berjanji akan kembali ke apartemen itu sore hari tapi dia tak datang bahkan kini sudah jam sepuluh malam. Elise pasti akan marah padanya. Apalagi pria yang bernama Brian itu. Mengingat wajah tajam milik pria itu membuat Elena bergidik. Dengan sekali lihat saja Elena sudah bisa menebak jika Brian bukanlah orang yang mudah diajak bicara baik-baik. Dan lebih baik mematuhi ucapan pria itu dari pada berurusan dengan amarahnya.

Elena kini berdiri di pinggir jalan. Malam sudah larut tak ada lagi kendaraan umum seperti angkot atau bus. Elena harus mencari taxi. Dan taxi juga pasti sangat sulit untuk di dapankan di jam sepuluh malam seperti ini.