Astaroth duduk di singgasananya, dia tampak malas, tak bersemangat. Belasan iblis tingkat tinggi bawahannya tampak duduk kebingungan memandangi tingkah laku aneh Ratu mereka.
Seorang iblis berkulit merah bertanduk api memberanikan diri bertanya, "Yang Mulia, ada apa gerangan Anda tampak tidak bersemangat hari ini?"
Astaroth melirik malas, bibirnya membentuk kerucut. "Aku hanya merasa bosan."
"Begitu, maaf atas kelancangan hamba," kata Iblis itu membungkuk rendah.
Astaroth melambaikan tangannya.
"Tidak apa, apa pasukanmu siapa menghadapi mata badai yang sebentar lagi tiba?"
"Lima ribu legiun pimpinan hamba, siap menghadapi apa saja yang datang Paduka Ratu!"
"Jawaban yang template, kalau kusebut namanya saja mungkin legiunmu tak ubahnya debu kotor yang menempel di kerah bajunya"
"Apa maksud Anda? Siapa yang kami lawan? Dan, siapa mata badai ini?"
Astaroth menyesap minumannya, ia menjawab dengan nada malas, "Sang Raja Neraka sejati sebentar lagi terbebas dan 3 raja iblis akan kembali berada di bawah kakinya."
Bisik-bisik memenuhi istana Astaroth, kabar terbebasnya Raja Neraka dari batu yang membelenggu dirinya selama ribuan tahun akan membuat gejolak kekuasaan di dunia bawah kembali terjadi, dan kemungkinan besar akan mempengaruhi umat manusia.
"The Four Horsemen Apocalypse akan kembali membanjiri dunia dengan darah manusia" kata Astaroth lagi. "3 raja iblis, 7 dosa besar, para malaikat jatuh, dan mungkin kebangkitan Satan sendiri, yah kita semua mungkin akan kembali melakukan rencana menjatuhkan surga."
Pintu istana terbuka, iblis kecil pembawa pesan masuk dan bersimpuh di depan Astaroth.
"Mohon ampun Yang Mulia Ratu, kami tidak bisa menghentikan beliau untuk memasuki tempat ini akibat perbedaan kekuatan yang terlampau jauh," lapor iblis kecil itu.
"Jadi Pangeran Neraka sudah sampai di sini?" gerutu Astaroth matanya menyipit tajam.
Pembawa pesan itu belum sempat menjawab, ketika seorang pria berambut hitam panjang, mengenakan zirah besi semerah darah, kulitnya pucat dan wajahnya luar biasa tampan.
"Halo, Ratuku... Sepertinya aku tidak mendapat sopan santun di istanamu.."
Astaroth menegakan diri, matanya menyipit tajam. "Lucifer..." gerutunya, nada suaranya menandakkan ketidaksukaan mendalam.
Lucifer membungkuk menghormat, senyum licik merekah di wajahnya yang tampan. "Ya, Ratuku... Kau tetap cantik seperti biasanya,"
Sementara itu jauh di atas sana, di dunia yang indah tempat tinggal umat manusia.
Gray Aldric sedang melakukan latihan di aula tempat berlatih exorcist, Letnan Nagisa menjadi lawan beradu pedang dengannya.
Nagisa menusukkan pedangnya, namun Gray melompat ke samping menghalau serangan Letnan wanita itu.
Semakin lama berlatih, serangan demi serangan keduanya semakin terlihat cepat dan buas, seakan-akan bukan berada dalam latihan, melainkan pertarungan sebenarnya.
Nagisa melompat ke belakang, dadanya terengah naik turun, rambut hitamnya dikuncir kuda ke belakang. Matanya menatap tajam Gray.
"Apa gadis yang selalu bersamamu itu, pacarmu?" katanya tiba-tiba.
Gray mengerutkan kening mendengar lontaran pertanyaan dari bibir Nagisa.
"Apa urusanmu?" jawab Gray ketus.
Nagisa memasang kuda-kudanya lagi, tanpa aba-aba dia menerjang maju ke depan, menghantam, membelah, maupun menusukan bilah pedangnya kepada Gray yang bereaksi sama cepatnya. Keduanya bertempur hebat, sampai-sampai beberapa exorcist yang berlatih bersama mereka menghentikan latihan dan menonton pertunjukkan kedua exorcist senior itu.
Gray dan Nagisa sendiri bertemu beberapa tahun lalu, ketika itu Gray datang bersama seorang exorcist hebat yang sekarang menjadi Master Tertinggi. Gray dilatih secara pribadi olehnya sebab akademi exorcist tidak menerima anak dari iblis, namun Master Tertinggi melihat potensinya yang besar dan ia tahu Gray mewarisi hati ibunya, seorang manusia biasa yang penuh cinta dan kasih sayang. Nagisa saat itu masih kecil, dan Gray karena mewarisi darah terkutuk ayahnya, dia hampir tak terlihat berbeda dari dulu sampai sekarang.
"Kau ini memang tidak peka soal perasaanku dari dulu," tukas Nagisa tak sabar.
"Apa?"
"Apa? Kau tak tahu? Kalau ada seorang gadis yang mencintai dirimu!"
"Aku sudah pernah bilang, kalau aku tak mungkin bersatu dengan gadis manusia sepertimu, kau sendiri tahu aku ini siapa!"
Nagisa tampak emosi sampai terlihat ingin menangis, dia membuang pedangnya ke tanah, dan berjalan cepat menghampiri Gray. "Aku tak peduli siapa dirimu," gumamnya.
Gray hanya berdiri mematung, ketika Nagisa dengan berlinang air mata berdiri menatap langsung ke arah matanya.
"Nagisa, kenapa kau menangis?" Gray bertanya hati-hati.
Mendadak Nagisa mencium bibir Gray, kedua tangannya memegang lembut pipi pemuda itu. Keduanya berciuman dalam jangka waktu lumayan lama, sampai akhirnya Nagisa menarik bibirnya, pergi tanpa berkata apapun.
Gray berdiri tak tahu harus berbuat apa, dia masih syok atas kejadian cepat barusan. "Nagisa..."
Seluruh orang di aula yang melihat kejadian ini pun tak percaya apa yang dilihat mereka, bisik-bisik memenuhi aula, Gray pun menyarungkan pedangnya, dan berjalan ke sisi aula.
"Perempuan benar-benar susah dimengerti," gumamnya, sedikit kesal.
Seorang anak kecil berambut pirang berlari menyeberangi aula menghampiri Gray yang sedang duduk mengelap keringat.
"Ya, Kendrick?" Gray mendongakkan wajahnya.
"Master Tertinggi menyuruhmu datang menemui dirinya di gedung utara, lantai 11 ruangan paling ujung, satu jam lagi," kata anak kecil itu cepat-cepat.
Gray hanya memberi isyarat mengerti dengan mimik wajah. Ia merogoh sakunya dan memberikan beberapa permen kepada Kendrick yang disambut antusias anak kecil itu.
Setelah cukup istirahat, Gray meregangkan sebentar badannya, lalu berjalan menuju gedung utara.
Markas pusat Exorcist terletak di tanah yang cukup luas, terdapat beberapa gedung pertemuan, asrama tempat tinggal, dan kelas untuk mengajari calon-calon exorcist muda. Terdapat juga dua aula besar digunakan untuk berlatih, lalu ada juga danau kecil, sungai yang jernih mengalir membelah markas, dan markas pusat dikelilingi oleh tembok besar yang dijaga ketat, serta hanya ada satu pintu gerbang. Exorcist yang berada di markas jumlahnya ada sekitar 2 ribuan, lainnya tersebar ke seluruh penjuru dunia.
Master tertinggi duduk di kursi kayu dengan meja kecil bundar ketika Gray masuk ke dalam ruangan. Dia adalah seorang pria berwajah tajam, berambut hitam dengan beberapa helainya yang memutih, berkumis dan berjenggot rapi. Badannya lumayan tegap dan berotot untuk pria paruh baya seperti dirinya.
"Apa kabarmu, Nak Gray?" sapa Master Tertinggi ramah, mempersilakan Gray duduk di depannya.
"Baik-baik saja, Master Arthur" balas Gray singkat.
"Mungkin kau bertanya-tanya kenapa aku menyuruhmu kemari" kata Master Arthur menyesap minumannya.
"Sama sekali tidak," kata Gray polos.
Mendengar jawaban Gray yang tidak terlalu antusias membuat Master Arthur tersedak.
"Kau memang tidak berubah" ungkapnya sembari membersihkan cairan di mulutnya.
"Apa yang Anda ingin bicarakan denganku?" Gray langsung ke intinya, karena ia merasa tidak ada gunanya untuk berlama-lama bersama orang ini.
"Apa kau mengencani Nagisa?" tanya Master Arthur raut wajahnya menandakan ingin tahu dan waspada secara bersamaan.
"Tidak, Anda sudah tahu sendiri aku tidak bisa bersama anak itu, akibat aku memiliki darah malaikat kotor yang mengalir di setiap nadiku, aku tidak mungkin memberikan harapan kepada gadis yang tidak sesuai dengan takdirku," ungkap Gray memberi alasan panjang lebar.
Master Arthur mengangguk paham, "Aku mengerti kesulitan mu..."
"Tidak, Anda tidak akan pernah mengerti Master..."
Keduanya diam beberapa saat. Sampai akhirnya Gray berbicara lagi.
"Aku tak mengerti kenapa perasaan mereka berubah-ubah, kadang merasa ingin didekati kadang kala seakan menjauh, Anda tahu Master? Ketika cowok dekat dengan seorang cewek, mereka seakan tak peduli dengan kita, namun ketika kita menjauh mereka berkata kalau memikirkan kita, aneh bukan?" keluh Gray mengungkapkan perasaannya.
"Kau hanya kurang mengerti, Nak Gray, laki-laki harus bersabar menyikapi perasaan perempuan, apalagi jika dia menaruh hati kepadanya," tukas Master Arthur.
"Yah, itu tetap saja menyebalkan, dan aku benci jika mereka bersikap tsundere padahal perasaan mereka juga sama, merasa sayang dan cinta"
"Mungkin memang kaum laki-laki diciptakan untuk memahami sulitnya wanita bersikap, aku mengerti perasaanmu"
"Tidak, Anda tidak paham. Mungkin, karena aku bukan manusia normal"
Master Arthur hanya tersenyum mendengar kata-kata dari Gray.
"Baiklah aku tidak mengerti, hanya saja ada satu pesanku untukmu, Nak..."
Gray diam, dia menunggu perkataan dari Master Arthur.
"Ingatlah Gray, kau ini manusia dan tetap manusia, kau dilahirkan untuk memenuhi takdirmu, dan kebaikan selalu ada dalam hatimu," pesan Master Arthur bijak.
"Aku mengerti," balas Gray pendek.
"Terakhir ada misi yang aku ingin kau lakukan, Gray"
"Berapa Master?"
"Berapa? Oh Ya aku lupa, kau sekarang exorcist bayaran, mungkin aku akan memberimu 1 juta dollar" ujar Master Arthur mengelus dagunya yang brewoknya tercukur rapi.
"Tidak buruk aku menerimanya, jadi apa misinya?" tanya Gray tanpa berpikir panjang.
"Ada sebuah kota terpencil namanya Kota Garen, konon kota ini menyimpan misteri, setiap hari jumat tanggal 4 selalu ada kejadian mengerikan, seseorang pasti terbunuh secara sadis diikuti kerasukan masal beberapa warga yang akan mengubur mayat korban, detailnya akan diberitahu nanti. Kau, Nagisa, dan beberapa exorcist lainnya akan berangkat malam ketiga dari sekarang..."
"Apakah harus bersama Nagisa?"
"Tentu, kau juga boleh membawa teman-temanmu itu jika mau, semua fasilitas akan disediakan oleh kami, Gray," kata Master Arthur.
"Baiklah, aku akan membawanya asal dia tidak malah mengganggu, sampai jumpa Master Arthur" kata Gray membungkuk sopan, lantas pergi meninggalkan Master Arthur.
Master Arthur kembali menyesap minumannya, pandangan matanya memperhatikan langit di luar jendela.
Ketika hari keberangkatan tiba, Gray, Nagisa, dan beberapa exorcist sudah bersiap, nampak juga Bu Yola sang succubus dan Helena di sana, serta Djin si kucing yang asyik menggaruk kupingnya. Robert tak bisa ikut, sebab ia harus menghadiri peringatan kematian leluhurnya ketika perang salib beratus tahun lampau.
Nagisa masih mengacuhkan Gray sejak kejadian tempo lalu, tapi pipinya merah karena malu ketika matanya tak sengaja bertatapan dengan Gray. Letnan Exorcist itu menatap penuh emosi kepada Helena, seolah gadis itu adalah lawan yang harus dihadapinya.
"Dasar cewek," keluh Gray mengembuskan napas. "Ayo kita berangkat, dan selesaikan secepatnya"
-----
💫💫💫
💬💬💬
------