webnovel

Ruangan Baru

Lydia berdiri di depan gedung kantornya, menatap nanar bangunan lima lantai itu. Gedung kantornya sendiri tidak terlalu besar, tapi pabrik makanan di belakangnya cukup luas.

PT. Linder, Tbk, memang merupakan pabrik makanan kemasan paling terkenal. Pabriknya ada di mana-mana dan tempat Lydia bekerja merupakan pusatnya.

Gedung lima lantai itu bisa dikatakan tempat perusahaan itu pertama berdiri, karenanya keluarga Reino enggan memindahkannya. Begitu pula dengan pabrik roti di belakangnya.

Lokasinya bisa dibilang berada di kota, tapi mereka mengoperasikan pabriknya dengan baik. Tidak ada keluhan perihal limbah dari penduduk sekitar, maupun dari pemerintah.

Masalahnya sekarang adalah, Lydia mencurigai pemilik sekaligus CEO perusahaan ini. Dia mencurigai orang-orang yang datang ke rumahnya kemarin adalah ulah Reino Andersen. Walau tak ada bukti, Lydia mencurigainya.

Lydia merasa lelaki itu melakukannya agar dia mau menerima penawaran aneh itu. Bisa saja kan Reino tahu soal utangnya dan mendesak pihak rentenir untuk menekan keluarganya.

“Tidak mungkin aku bertanya padanya kan” gumam Lydia seraya melangkah masuk ke dalam kantor.

Sepanjang jalan menuju ke ruangannya di lantai tiga, Lydia terus memikirkan cara untuk meyudutkan Reino. Terutama untuk mendapat bukti soal para rentenir itu.

“Lydia,” Kiara langsung berteriak begitu pintu ruangan divisi keuangan terbuka.

“Apa kamu sudah dengar beritanya?” tanya Kiara terlihat antusias.

“Kalau dia sudah dengar berita, tidak mungkin Lydia masih datang ke ruangan kita Ra,” Revan yang menjawab pertanyaan Kiara.

“Berita apaan sih?” tanya Lydia sangat bingung.

Tapi belum juga ada yang sempat menjawab, Bu Nia selaku manajer dan barus aja tiba di ruangan mencuri perhatian. Wanita gempal yang terlihat habis berlari itu segera menunjuki Lydia.

“Kamu.” Bu Nia maju ke arah Lydia.

“Kenapa, Bu? Saya bikin salah?” tanya Lydia takut-takut.

“Kamu ngapain sih sampai Pak Reino membajakmu jadi asisten pribadinya?” teriak Bu Nia frustasi.

“Hah?”

***

Lydia terbengong-bengong di depan meja manajer HRD mereka. Garis bawahi, manajer HRD.

Padahal biasanya mutasi, sangat jarang ditangani oleh Bu Manajer. Tapi karena katanya ini permintaan langsung dari bos besar, beliau jadinya turun tangan langsung.

“Jadi Lydia udah ngerti ya, nanti tugasnya nanti apa?”

“Saya bisa dibilang sekretarisnya Pak Reino, tapi juga mengurus semua keperluan pribadinya. Bagian administrasi Thalita yang urus, sementara yang berhubungan langsung dengan Pak Reino saya yang urus."

Bagai robot Lydia mengulangi, atau lebih tepatnya meringkas apa yang dikatakan Bu Manajer di depannya ini. Dan beliau langsung mengangguk puas.

“Nah, ini kontraknya. Jadi mulai sekarang kamu sudah pegawai tetap dan gajinya juga sudah disesuaikan. Baca dulu sebelum ditanda tangan.”

Lydia menerima map yang berisi surat perjanjian kerja. Banyak hal yang ditulis di sana, tapi Lydia hanya fokus pada poin penting saja.

Pertama, gajinya naik cukup besar. Ada juga poin soal asuransi yang diberikan hanya untuk pegawai tetap, kemudian ada pasal soal tunjangan dan bonus juga.

Dan yang paling penting, Lydia meneliti soal job desknya nanti. Dia tidak ingin kecolongan dan berakhir melakukan hal-hal aneh nantinya.

“Sebelum saya tanda tangan, boleh saya bertanya Bu?” tanya Lydia ragu-ragu.

Jujur saja, tawaran ini sangat bagus. Karena selain gajinya yang melambung, dia juga dapat banyak fasilitas kantor. Tapi tetap saja Lydia merasa ada yang aneh. Apalagi gajinya langsung naik dua kali lipat.

Bayangkan saja, gajinya yang hanya sedikit di atas UMR, tiba-tiba saja langsung jadi 2 digit. Itu terlalu aneh bukan? Apalagi Lydia bisa dibilang karyawan yang baru bergabung setahun lalu. Lydia jadi makin curiga dengan Reino.

“Kalau kamu mau bertanya kenapa tiba-tiba dipindahkan, langsung bertanya pada Pak Reino saja ya.”

Bahkan sebelum Lydia bertanya, dia sudah dijawab. Karena tidak ada hal lagi yang mencurigakan dari perjanjian kerja yang ada di tangannya, Lydia menandatangani berkas itu.

“Nah, sekarang kamu sudah bisa langsung ke ruangan baru kamu di lantai lima.”

“Hah? Saya pindah sekarang juga, Bu?”

“Tentu saja Lydia. Sekarang kemasi barang-barangmu di divisi keuangan dan pergilah ke ruangan barumu.”

Dengan berbekal perintah dari HRD dan bantuan Revan, maka di sinilah Lydia. Berada di hadapan Thalita yang terlihat sangat kesal. Jelas sekali dia tidak suka karena posisinya tergeser.

“Pakai susuk atau pelet sih? Review dukunnya dong,” ejek Thalita terang-terangan.

“Situ kali yang pakai pelet. Cuma menang bodi bagus, tapi wajah dan kelakuan minus.” Revan yang membalas.

“Eh, kamu bilang apa?” Thalita langsung menantang Revan.

“Tolong berhenti bertengkar dan tunjukkan di mana mejaku,” pinta Lydia masih cukup sopan.

“Cih, cari saja sendiri ruanganmu.” Thalita enggan memberitahu Lydia dan hanya bersedekap dada.

“Kalau dari segi kedudukan, harusnya aku yang jadi bosmu karena kamu bertanggung jawab langsung padaku,” seru Lydia terlihat santai saja.

“Me... memangnya kenapa? Aku kan senior dari kamu,” balas Thalita enggan kalah, walau sudah sedikit gentar.

“Fine. Aku akan bertanya sendiri pada Pak Reino.”

Lydia meletakkan kotak berisi perlengkapannya yang di bawanya ke atas meja Thalita. Setelahnya dia langsung berbalik dan berjalan ke arah ruangan Reino yang hanya berjarak kurang dari 10 langkah, kemudian mengetuknya.

“Eh, kamu mau ngapain?” Thalita yang panik, langsung berdiri dari tempatnya duduk.

“Permisi, Pak. Saya Lydia yang akan bertugas sebagai personal assitant Pak Reino mulai sekarang.” Lydia sudah membuka pintu ruangan Reino dan melangkah masuk.

“Oh, kau sudah datang? Bagus.” Reino mengangguk puas dengan kelakuannya.

“Masalahnya saya tidak diberitahu tempat saya di mana,” balas Lydia tepat ketika Thalita membuka pintu tanpa mengetuk.

“Maaf, Pak. Saya tadi ke toilet jadi...”

“Kami sudah berbincang sebentar, tapi saya tidak kunjung diberitahu apapun. Saya punya saksi untuk itu,” Lydia memotong kalimat Thalita.

Sebenarnya Lydia agak takut-takut untuk bicara seperti ini pada Reino, tapi dia tidak sudi diperlakukan seperti itu oleh Thalita. Terutama karena Thalita selalu menuduhkan hal yang tidak-tidak.

Reino memandang dua orang wanita yang berdiri di depannya itu. Dia tahu kemungkinan besar Lydia yang jujur dan Thalita yang berbohong, tapi sebagai pimpinan dia tentu tidak boleh asal menghukum orang kan?

“Aku akan mengecek itu nanti dari cctv. Sekarang duduklah di tempatmu.” Reino menunjuk ke satu arah dengan dagunya.

Dengan tatapan bingung, Lydia menoleh ke arah yang dituju Reino. Tidak jauh dari tempatnya berdiri, tepatnya di sebelah kirinya sudah ada meja dan kursi kosong.

Lydia mengangkat sebelah alisnya. Seingatnya dulu tidak ada kursi dan meja selain milik Reino dan itu membuat perasaan Lydia jadi tidak enak.

“Ehm, maaf Pak. Apa maksudnya saya akan seruangan dengan Pak Reino?” tanya Lydia sedikit gugup.

“Duduk di sana?” Lydia menambahkan sambil menunjuk meja yang dimaksud.

“Tentu saja. Memangnya untuk apa aku susah-susah menaruh meja itu di sana? Untuk ditempati hantu?” tanya Reino dengan nada ketusnya.

***To Be Continued***

UMR mengacu pada UMR Jakarta ya bestie.