“Lydia,” Bu Nia memanggil dengan suara cemas.
“Ya, Bu?” Lydia mendekat ke meja manajernya itu sebagai bentuk sopan santun.
Bu Nia dan Supervisor punya meja sendiri dan itu membuat Lydia perlu berjalan ke sudut ruangan yang disekat dengan kaca.
“Perhitungan pajak untuk bulan lalu sudah selesai?” Tanya Bu Nia dengan hembusan napas lelah.
“Udah sih, Bu.”
“Kalau gitu bawa ke Pak Reino sekarang juga.”
“Eh?”
“Bawa ke Pak Reino sekarang juga, Lydia,” ulang Bu Nia masih terdengar lelah.
“Oh, baik Bu. Nanti saya kirimkan lewat email,” jawab Lydia masih bingung.
“Dibawakan Lydia,” geram Bu Nia mulai kesal harus mengulang sampai 3 kali.
“Pak Reino mau hardcopy. Dan bawa saja jangan banyak tanya,” hardik Bu Nia terlihat tidak sabar.
Karena tidak bisa melawan lagi, Lydia hanya mengiyakan dengan raut bingung. Bahkan Kiara dan Revan pun menatapnya dengan heran. Jelas ada yang tidak benar di sini. Bagaimana bisa seorang karyawan biasa sepertinya, malah diminta untuk mengantar laporan pada Reino?
Tapi setelah dipikir-pikir lagi, pasti laporan itu hanya dititip ke sekretaris kecentilan itu. Ya. Setidaknya itu yang diyakini Lydia.
“Sorry, gimana?” tanya Lydia pada sekretaris Reino yang menyebalkan dan sok banget itu.
“Pak Reino suruh kamu langsung masuk sendiri buat pertanggung jawabkan laporan kamu,” hardiknya dengan mata melotot.
“Masa gitu aja gak ngerti sih? Heran kok bisa kerja di sini, jangan-jangan pakai orang dalam lagi.”
Gerutuan yang tidak ditutupi itu membuat Lydia menggeram dalam diam. Hanya itu yang bisa dia lakukan karena dia tidak bisa mengkonfrontasi perempuan kecentilan di depannya itu. Beruang Kutub itu pasti akan tahu dan bisa-bisa membuat Lydia yang dipecat. Secara Si Centil itu kan ‘guling’ kesayangan bos.
“Masuk.”
Suara bariton yang terdengar serak itu menyentak Lydia dari lamunannya. Atau lebih tepatnya dari kegiatannya mengumpat Si Centil Menyebalkan dalam hati.
“Permisi, Pak. Bagian keuangan su...”
“Suruh dia masuk dan kamu keluar,” Reino segera memotong kalimat sekretarisnya yang kecentilan itu.
Mendengar itu, sekretaris Reino mengeraskan rahang dan melirik Lydia dengan tatapan tidak suka. Dia tidak suka jika bosnya itu berduaan saja dengan wanita di dalam ruangan.
“Apa kamu tidak mendengarku, Thalita?” tanya Reino tanpa menatap sekretarisnya itu, tapi dia jelas marah.
Dari nada bicaranya saja Lydia bisa merasa kalau Reino sedang marah, begitu pula dengan Thalita. Membuat wanita berpakaian minim itu segera keluar dengan wajah cemberut, sementara Lydia sudah merasa was-was. Dia tidak tahu apa salahnya, tapi keadaan ini tidak menguntungkan baginya.
“Permisi, Pak. Ini laporannya.”
Dengan takut-takut, Lydia menaruh laporannya di atas meja. Setelahnya dia berdiri agak jauh dari meja kerja Reino, menunggu laporannya dilihat. Atau mungkin harus dibacakan. Sementara Pak CEO masih sibuk dengan berkasnya.
Well sebenarnya penandatanganan beberapa dokumen dan perjanjian sudah serba digital. Tapi ada beberapa orang yang masih senang menggunakan cara lama, terutama para orang tua.
“Kalau Bapak masih sibuk, saya mungkin bisa kembali nanti.” Cukup lama tidak mendapat respon dari Reino, Lydia berniat untuk pamit saja.
“Siapa yang mengizinkanmu pergi?” tanya Reino tanpa mengalihkan tatapan dari dokumen yang harus ditandatanganinya, tepat sebelum Lydia membuka pintu.
“Maaf, Pak. Saya pikir anda sibuk.”
“Aku sibuk, jadi kau harus berdiri menunggu sampai aku selesai.” Reino lagi-lagi berbicara tanpa melihat Lydia sedikit pun.
Mau tidak mau, Lydia kembali ke posisinya yang semula. Dan kerena tidak ada kerjaan, dia jadinya menatap Reino yang sedang bekerja. Itu adalah salah satu hal menyenangkan bagi Lydia.
Tak bisa dipungkiri, lelaki yang masih terlihat jangkung walau sedang duduk itu, memang sangat tampan. Perpaduan wajah Eropa dan Asia di wajahnya terasa sangat pas.
Rahang Reino yang tegas makin membuatnya terlihat maskulin. Dan yang paling Lydia sukai adalah warna matanya, biru jernih yang sangat cantik. Ditambah dengan bulu mata yang lentik, membuat Lydia menobatkan mata Reino secara keseluruhan sebagai mata terindah yang pernah dilihatnya.
Tapi ada satu masalah. Walau betah menatapi wajah angkuh nun tampan Reino Andersen, tidak berarti dia sanggup berdiri selama ini. Sudah hampir satu jam dan Polar Bear sialan itu belum melihat laporannya sama sekali. Padahal sepertinya tidak ada lagi berkas yang harus dia tanda tangani.
“Maaf, Pak. Apakah saya sudah boleh kembali? Kebetulan pekerjaan saya belum selesai,” Lydia memberanikan diri untuk bertanya.
“Oh. Kau masih di sini?” Reino membalas dengan pertannyaan lain dengan wajah tak bersalahnya. Dan itu membuat Lydia membuka mulutnya.
“Excuse me? Kamu menyuruhku menunggu dan melupakanku begitu saja? Kamu pikir berdiri pakai high heels itu gak capek?” geram Lydia dalam hati.
Ya. Hanya dalam hati saja. Lydia belum cukup berani untuk menggertak atasannya sendiri. Dia masih mencintai pekerjaannya. Atau lebih tepatnya membutuhkan pekerjaan. Apalagi karena Reino sudah mengambil laporannya.
“Ya, sudah. Tinggal saja dulu ini di sini. Nanti akan kulihat lagi, kau bisa kembali ke tempatmu.”
Lydia membulatkan mata ketika mendengar itu. Setelah dilihat hanya pada dua halaman pertama, dia sudah diusir? Lalu kenapa tadi disuruh menunggu?
“Baik, Pak.” Lydia tidak bisa melakukan apapun selain tersenyum dengan amat sangat terpaksa, kemudian keluar dari ruangan itu.
Begitu pintu tertutup, Lydia segera memejamkan mata untuk mengatur napas dan emosinya yang labil. Tapi setelah dia membuka mata, Lydia malah disambut dengan tatapan menusuk dari Thalita si Sekretaris Centil nun menyebalkan.
“Ada masalah dengan matamu?” tanya Lydia dengan ketus sembari berjalan dengan sedikit tertatih. Terlalu lama berdiri tanpa bergerak membuat kakinya sedikit kram.
“Ada apa denganmu? Kenapa lama sekali?” tanya Bu Nia langsung bangkit berdiri dari kursinya ketika melihat Lydia datang dengan wajah lesu.
“Biarkan aku duduk dulu, Bu. Kakiku pegal.”
“Kakimu pegal? Apa yang kamu lakukan sampai kakimu pegal?” tanya Kiara dengan mata membulat.
“Tolong jangan berpikir yang aneh-aneh.” Lydia mengangkat tangannya ke arah Kiara.
“Aku hanya disuruh berdiri selama sejam di sana, tanpa melakukan apa-apa,” lanjut Lydia dengan penuh penekanan. Dia tidak ingin ada orang yang salah paham.
“Berdiri saja?” tanya Revan sedikit sangsi.
“Ya. Dia sibuk dan memintaku menunggu, tapi rupanya Pak Reino melupakanku saking sibuknya. Atau mungkin aku terlalu kurus sampai dia tidak melihatku berdiri di depan mejanya,” jelas Lydia lebih detil lagi.
Lydia tidak tahu apa maksud Polar Bear sialan itu, tapi gara-gara dia beberapa orang sudah berpikiran yang tidak-tidak. Apalagi karena reputasi pria itu memang sangat jelek.
“Sekali lagi kutekankan. Aku hanya berdiri tanpa bergerak dengan heels 7 senti,” Lydia kembali menekankan sebelum ada yang bertanya dan sepertinya mereka tidak berpikiran aneh lagi.
Yah, walau orang lain akan berpikiran aneh, tapi setidaknya rekan seruangannya tidak. Dan itu sudah cukup untuknya.
Lydia baru kembali dari mengisi tumbler gradiasi miliknya, ketika ponselnya bergetar dan menampilkan layar pop up. Ada seseorang tak dikenal mengirimnya pesan.
[+628xxxxxxxx: Terima tawaranku dan kau tidak akan perlu berdiri berjam-jam seperti tadi.]
***To Be Continued***