Dua suster dan dokter tersebut segera memegangi Tiana yang mulai berontak dan tampak depresi sambil berteriak histeris dan juga menangis.
"Siapkan suntikan penenang dosis sedang. Sepertinya dia sedang depresi karena mengalami sesuatu hal yang membuatnya seperti ini," perintah sang dokter.
Setelah suntikan berisi cairan obat penenang dosis sedang siap, sang dokter segera menyuntikkannya ke selang infus. Perlahan pun Tiana pun kembali tenang karena tubuhnya terasa melemah.
"Tenang, Tiana. Sekarang kamu istirahat," ujar dokter yang menanganinya.
"Dia jahat!" teriak Tiana lemah.
Dokter yang kini menangani Tiana memberikan kode pada kedua suster yang ikut masuk bersamanya untuk keluar. Dokter tersebut juga ternyata pernah mempelajari ilmu psikologi dan kejiwaan manusia.
"Hi, Tiana. Perkenalkan saya Dokter Tian. Nama kita hampir mirip. Bedanya nama panjang saya adalah Kristian dan biasa dipanggil Tian. Saya dokter yang menanganimu sejak kamu masuk ke ruang IGD. Sepertinya kamu sedang butuh teman untuk berbagi masalah. Kalau kamu tidak keberatan, saya siap jadi pendengarmu," ujar laki-laki yang mengaku bernama Dokter Tian itu.
Tiana masih menatap kosong ke arah depan sambil terisak pelan. Matanya terasa mengantuk akibat suntikan obat penenang dosis sedang. Meski sudah tampak tenang, namun mata Tiana memancarkan kesedihan dan kehilangan yang mendalam.
"Dia jahat!"
Tiana kembali mengulang dua kata yang sama sambil terisak.
"Kalau boleh tahu, dia yang kamu maksud itu siapa? Kamu bisa percaya padaku. Selama ini aku selalu menjadi pendengar yang baik untuk para pasienku,"
Tiana menggelengkan kepalanya karena memang tidak tahu nama dari laki-laki yang sudah dua kali menggagahinya itu. Air matanya mengalir perlahan membasahi wajahnya yang putih pucat.
"Dia … Dia …," suaranya makin tercekat di tenggorokan.
"Sudah, Tiana. Tidak usah dipaksakan kalau kamu belum siap untuk bicara," bujuk Dokter Tian.
"Ibu!"
"Kamu mau ibumu ada di sini?" Tiana mengangguk cepat.
Dokter Tian tampak beranjak berdiri lalu berjalan menuju pintu ruang perawatan dan memanggil Rahma yang sedang menunggu cemas di kursi tunggu.
Rahma langsung masuk. Dia begitu bahagia melihat putri kesayangannya sudah bangun. Keduanya saling berpelukan dan bertangisan. Rahma menangis karena terharu melihat putrinya sudah sadar. Berbeda dengan Tiana yang menangis karena menumpahkan jutaan kesakitan dan kekecewaannya akan nasib buruk yang telah menimpanya.
Dokter Tian yang melihat hal itu ikut terharu, namun juga menyimpan banyak pertanyaan untuk Tiana karena melihat bahasa wajah Tiana yang jelas-jelas tertekan dan menyimpan rahasia besar yang membuatnya depresi.
'Dia? Seseorang yang dipanggil 'dia' ini pasti yang menjadi alasan Tiana depresi. Apakah dia ini adalah kekasihnya? Tapi tidak mungkin. Bukankah kekasihnya selalu datang untuk menggantikan Bu Rahma saat siang hari selama beberapa jam,' batin Tian.
"Ibu!" suara Tiana terdengar berat.
Dokter Tian sedikit tersentak dari lamunannya lalu menoleh ke arah Tiana yang memanggil Rahma.
"Iya, Sayang. Ibu ada di sini,"
"Ibu … Aku … Aku su-sudah tidak su-su-suci lagi!" tangis Tiana meledak seketika dalam pelukan sang ibu yang kini mematung dengan wajah yang sangat terkejut.
Bukan hanya Rahma yang terkejut. Dokter Tian pun tak kalah terkejut namun masih bisa menguasai diri. Segala bentuk pertanyaan dalam hatinya kini terjawab sudah. Dia yang dimaksud Tiana adalah laki-laki yang telah merenggut kehormatannya.
"Biadab!" gumam Dokter Tian tanpa sadar.
Ingatannya melayang pada masa lalunya. Ketika dirinya masih usia sepuluh tahun. Kerasnya kehidupan dan kemiskinan membuat mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Ibunya sudah tiada, tinggal sang ayah yang selalu pulang dalam keadaan mabuk.
Hingga suatu hari saat dia baru pulang sekolah, dia mendengar isak tangis memohon ampun dan pertolongan dari dalam rumah kumuh yang letaknya berjauhan dari tetangganya.
Ternyata sang kakak yang usianya terpaut lima tahun dengannya tengah digagahi oleh ayah kandung mereka. Tian berlari ke dapur dan mengambil sebilah pisau. Demi menyelamatkan sang kakak, Tian menusukan pisau itu ke punggung sang ayah hingga berkali-kali.
Sang ayah meninggal dan sang kakak depresi hingga sekarang. Karena Tian membela kakaknya dan masih dibawah umur. Tian dikenakan sangsi hukum diversi karena masih berusia sepuluh tahun dan dalam posisi membela sang kakak.
Di saat terpuruk tanpa keluarga yang mendampingi, beruntung ada pasangan yang merasa simpati dan bersedia mengangkat Tian menjadi anak angkat mereka hingga sekarang Tian bisa menjadi seorang dokter.
Tian kembali terhenyak saat mendengar suara tangisan selain suara tangisan Tiana. Bu Rahma yang mulai sadar dari rasa terkejutnya kini ikut menangisi nasib putrinya.
"Yang sabar,"
Hanya kalimat sederhana itu yang bisa Tian ucapkan. Tian ingin membantu Tiana memulihkan kondisi kejiwaan karena bisa saja nasib serupa dengan kakak Tian akan menimpa Tiana bila tidak segera diberikan pertolongan.
***
Empat hari telah berlalu.
Sebuah mobil sport Chevrolet Camaro tipe ZL1 tampak terparkir di bahu jalan sebuah jalanan komplek. Sang pengemudi sudah dua hari diam di sana mengawasi lalu lalang orang-orang yang lewat di jalanan itu.
"Pegel banget gue nungguin terus di sini. Tuh cewek gak lewat-lewat juga. Gue belum mau nyari dia ke kampusnya. Entar dia teriakin gue terus banyak mahasiswa yang datang dan ngemasa gue. Mampus lah gue. Balik ke rumah juga gue belum berani," keluh Arsen.
Sudah dua hari ini dia memperhatikan orang-orang yang lewat di jalan komplek di mana beberapa malam yang lalu dia sempat menculik seorang gadis yang baru dia ketahui bernama Tiana di jalanan komplek itu.
Entah kenapa Arsen rela menghabiskan waktunya di sana hanya untuk mencari Tiana. Bahkan Arsen sendiri tidak tahu kenapa dia bisa berbuat seperti yang saat ini dia kerjakan. Mungkin karena perasaan bersalah yang menggelayut dalam benaknya. Karena sebajingan apapun seorang Arsen. Dia baru pertama kali melakukan tindakan pemaksaan dan pelecehan pada seorang gadis. Selama ini Arsen hanya melakukan one night stand dengan wanita atas dasar suka sama suka dan saling memuaskan saja.
Merasa yang dicari tak juga muncul, Arsen pun memutuskan untuk meninggalkan jalanan itu. Kamar hotel tempat dirinya menginap sebelumnya menjadi tujuannya. Kamar yang sama dengan kamar yang dipakai Arsen untuk menggagahi Tiana. Arsen memperpanjang masa tinggalnya di kamar itu. Pihak pengelola hotel tidak bisa menolak karena mereka tahu Arsen merupakan anak kedua dari pemilik hotel.
Ting …
Ponsel Arsen berbunyi yang menandakan ada notifikasi chatting yang masuk. Ponsel yang tergeletak di dashboard mobil itu segera diraih Arsen.
"Mami? Tumben kirim pesan chatting," gumam Arsen.
Arsen segera menempelkan headset bluetooth pada telinga lalu menghubungi Eva.
"Yes, Mom. Ada apa?"
" … "
"Apa? Memangnya kenapa sampai ngamuk gitu. Biasanya juga dia kalem," Arsen heran saat mendengar cerita maminya tentang adik bungsunya.
" … "
"Oke. Aku pulang,"
Arsen memutar balik mobilnya menuju Mansion Kingsley.
"Penasaran gue. Kenapa tuh bocah sampai ngamuk gak jelas gitu,"
Hi my readers kesayangan. Arsen baru tayang lagi nih. Author-nya lagi stuck ide.
Mulai minggu besok, Arsen bakal up 3 bab dalam seminggu karena masih dalam masa screnning.
Jangan lupa masukin cerita ini ke rak kalian ya dan tinggalkan jejak ulasan bintang lima nya ya