Tiana kembali menarik kunci tersebut lalu mengintip dari sela lubang kunci. Dia lubang kunci tersebut tak terlihat sebab tertutup kunci dari dalam.
"Ini baru jam 13:20. Apa ibu sudah pulang kerja? Biasanya 'kan ibu pulang kerja jam 17:00," gumam Tiana.
Tok ... Tok ... Tok …
Perlahan pintu depan rumah minimalis itu terbuka dari arah dalam dan muncul sosok wanita berusia empat puluh tahunan lebih dengan wajahnya yang cantik namun terlihat tak tenang.
"Assalamu'alaikum, Bu. Kok ibu udah ada di rumah jam segini?" Tiana segera meraih punggung tangan kanan Rahma lalu menciumnya.
"Wa alaykumussalam, Nak. Dari selepas dzuhur tadi ibu nungguin kamu pulang,"
Tiana segera masuk sambil menutup pintu depan. Mereka berjalan ke arah ruang keluarga.
"Memangnya ada apa, Bu?" tanya Tiana setelah duduk di atas karpet tebal yang sengaja digelar di ruang keluarga.
"Sebenarnya gak ada apa-apa sih. Cuma entah kenapa perasaan ibu gak enak banget. Hari ini perasaan ibu gak enak banget dan kepikiran kamu. Jadi ibu putuskan untuk pulang saja," jelas Rahma sambil membelai rambut panjang lurus putri satu-satunya.
Tiana mematung sesaat. Dia ingat kejadian di atap gedung fakultas hukum saat dirinya tahu kalau kini sudah ada benih yang sedang tumbuh dalam rahimnya. Kejadian saat dirinya hendak lompat dari atas gedung itu sepertinya yang jadi sumber kegelisahan sang ibu.
"Maafkan Tiana karena udah bikin ibu khawatir," Tiana langsung menangis di pangkuan Rahma.
"Kok perasaan ibu makin gak karuan gini lihat kamu nangis kayak gini? Kamu kenapa, Tiana? Sepertinya ada sesuatu yang ingin kamu sampaikan ke ibu," tanya Bu Rahma.
Tiana semakin menenggelamkan kepalanya di pangkuan ibunya. Tangisnya semakin memilukan dan semakin menjadi. Rahma belum berani bertanya lagi. Dia membiarkan putrinya melepaskan sesak di hatinya meski lewat tangisan.
"Menangislah, Nak. Ibu gak akan maksa kamu buat cerita kalau kamu belum siap," Rahma merasa harus menyiapkan hatinya seandainya kekhawatirannya benar terjadi.
Perlahan tangis Tiana tak terdengar lagi. Dia segera bangkit lalu duduk di samping ibunya. Dia tampak sedang menguatkan hatinya. Dia menoleh ke arah ibunya yang masih saja menampakkan senyumnya meskipun hatinya terluka.
"Bu, Tiana hamil!"
Rahma seketika memejamkan kedua matanya. Dia sudah menduga akan hal ini terutama saat Tiana mengatakan kalau sudah empat hari dirinya telat datang bulan.
Tiana terlihat kembali membaringkan kepalanya di pangkuan Bu Rahma. Air matanya kembali menetes.
"Yang tabah, Nak. Ini ujian buat kamu," Rahma mengusap punggung putri semata wayangnya itu.
"Tapi ujian ini terlalu berat untukku, Bu. Aku gak sanggup menjalaninya. Aku gak menginginkan janin ini tumbuh lebih lama lagi dalam rahimku,"
"Istighfar, Nak. Jangan pernah berpikir untuk menggugurkan kandunganmu, Nak. Janin dalam rahimmu tidak bersalah,"
"Tapi, Bu–"
"Gak, Nak. Ibu memikirkan efek buruknya juga buat kamu yang bisa saja akan mengancam nyawamu, Nak," ujar Bu Rahma menjelaskan sekaligus menguatkan putri bungsunya.
"Tapi ini aib, Bu. Lambat laun perut Tiana akan membesar. Belum lagi aku gak pernah tahu di mana keberadaan bajingan yang sudah merenggut kehormatanku. Apa harus aku mengandung dan melahirkan anak tanpa status yang jelas? Belum lagi gimana nantinya dengan tanggapan Kak Darren. Aku baru aja baikan lagi sama dia dan dia udah mau berbesar hati dengan menerima kondisi aku yang udah gak gadis lagi, Bu," ujar Tiana mengemukakan isi hatinya dengan tangis yang makin menjadi.
"Ibu paham dengan yang sedang kamu pikirkan sekarang. Tapi ibu tetap gak setuju kalau kamu mau menggugurkan kandunganmu. Resikonya terlalu berbahaya, Nak. Hidup di dunia ini memang berpasangan. Ada hitam dan ada putih. Ada suka dan ada duka. Ada mendapatkan, ada juga kehilangan. Semua harus dijalani dengan penuh keikhlasan dan lapang dada, Sayang," ujar Bu Rahma.
Tiana bangkit dan langsung berdiri. "Ibu paham gak sih mau aku? Mungkin Kak Darren bisa nerima kondisi aku yang udah kehilangan mahkotanya, tapi belum tentu dia bisa nerima anak dalam kandunganku, Bu. Tolong pahami juga kalau Kak Darren itu sumber kebahagiaan Tiana. Aku seperti mau mati saat sebelumnya memilih untuk menjauhinya,"
"Tapi, Tiana–"
"Udah deh. Ibu beneran gak ngerti sama mau aku. Tiana pamit tidur,"
Tanpa menunggu ibunya memberi jawaban, Tiana sudah berbalik badan dan pergi meninggalkan ibunya di ruang tamu sendirian menuju kamarnya lalu mengunci pintunya dari dalam.
Rahma segera berdiri dan mengejar Tiana, namun Tiana sudah terlanjur mengunci pintu hingga Rahma hanya bisa mengetuk-ngetuk pintu tersebut.
"Perbanyak istighfar, Nak. Pikirkan semua dengan kepala dingin. Emosi sesaat itu hanya akan berujung penyesalan. Allah tidak akan menguji hambanya melebihi batas kemampuannya kecuali akan ada pelangi setelah badai. Renungkan ucapan ibu ya, Nak. Ibu kembali ke kamar ibu. Jangan lupa sholat dan jangan lupa makan siang,"
Dengan berat hati Rahma pergi dari depan pintu kamar Tiana menuju kamarnya. Dia hanya bisa berdoa pada Allah untuk melembutkan hati putrinya.
***
Sebuah mobil sedan hitam terlihat terparkir di halaman Mansion Kingsley. Seorang laki-laki berwajah tampan dengan kornea matanya yang hijau terlihat turun dari dalam mobil. Dia melangkah menuju pintu utama Mansion Kingsley.
Seorang asisten rumah tangga terlihat membukakan pintu untuk laki-laki berwajah tampan tersebut.
"Alo, Om," pekik seorang gadis kecil berusia tiga tahun sambil berlari dengan kedua tangannya yang membentang.
"Hallo Sheryl, Sayang. Lagi ngapain sendirian di sini? Mama atau pengasuh kamu mana?" laki-laki yang dipanggil Om yang tak lain adalah Arsen Itu segera jongkok sambil membalas pelukan keponakannya.
"Aku balu banun bobo, Om. Nali mama tapi da ada," anak kecil itu mulai terisak.
(Aku baru bangun bobo, Om. Nyari mama tapi gak ada)
"Sheryl sama Om aja yuk. Kita ke taman belakang," ajak Arsen pada keponakannya.
Setelah mendapat anggukan dari gadis kecil itu, Arsen pun segera menggendongnya dan membawanya ke halaman belakang.
Sesampainya di taman belakang, Arsen berjalan menuju area halaman yang cukup luas.
"Pokoknya kita main lari-larian aja di sini ya. Gak boleh ke area kolam renang ya!" Arsen mencoba mencoba memperingati keponakannya itu.
"Iya, Om,"
"Bagus. Tos dulu dong," keduanya saling melesatkan telapak tangan kanan masing-masing dan akhir beradu hingga menimbulkan suara seperti ditampar.
Sudah sejak dia pulang dari Inggris, Arsen belum sempat menginjakan kaki lagi di halaman belakang yang penuh kenangan itu. Arsen berlarian dengan Sheryl seolah sedang saling kejar.
'Aduh … Kok badanku gak enak gini ya,' batin Arsen sambil menghentikan larinya.
Pandangan matanya mendadak kabur dan terasa memanjang. Perlahan tubuhnya mulai menggigil. Refleks tangan Arsen memeluk tubuhnya sendiri dengan kedua tangannya. Dia bahkan meringkuk di atas rumput.
'Gue butuh obat itu,' batin Arsen yang merasa kesal sebab tubuhnya menginginkan obat yang membuatnya candu disaat tidak tepat.
Kepulangannya ke Mansion Kingsley memang bertujuan untuk merilekskan tubuhnya dengan sejumput bubuk putih yang dia simpan di lemari pakaiannya.
Di antara sadar dan tidak, Arsen masih bisa melihat kalau keponakannya masih berlari-lari, namun bahayanya anak itu berlari ke arah kolam renang.
Arsen masih berusaha mempertahankan sedikit kewarasannya. Meski tubuhnya kini sudah semakin menggigil bahkan ada rasa sakit yang tak tertahankan, Arsen berusaha untuk bangun dan berdiri. Dia ingin berlari ke arah Sheryl dan berteriak agar anak itu berhenti berlari, namun suaranya seperti tercekat di tenggorokan.
Meski langkah larinya terseok-seok, namun Arsen terus berusaha sambil berusaha melawan rasa sakit yang mulai mendera tubuhnya.
BYUURR …
"Sheryil!"
Hi my readers. Author mohon maaf karena baru bisa hari ini kisah Arsen publish lagi ya.
Selamat Membaca